Minggu, 08 Oktober 1989,
Pagi masih teramat buta di pelataran rumah Pak Kasnam. Masih teramat pagi fajar saja belum jua menampakkan batang hidungnya dan rembulan masih saja gagah berdiri walau siluet remang pagi sedikit sudah menyeruak perlahan di ujung barat.
Di depan gubuk reot sederhana Pak Budi dengan becak roda tigannya. Tengah membantu Amanah yang sedang kesakitan memegangi punggungnya.
"Pelan-pelan Ndok, hati-hati licin, awas jatuh," dengan penuh kehati-hatian Pak Budi membantu Amanah menaiki becak roda tiganya.
"Mas Kas ayo cepat! Aduh sakit," teriak Amanah merintih kesakitan.
"Ia, ia Dek sabar," tergesa-gesa membawa sarung dan kain sewek sejenis sarung untuk wanita lalu langsung naik ke atas becak di samping Amanah.
"Ayo Pak Budi lekas kita menuju rumah Ibu bidan," pinta Mas Kas agar Pak Budi lekas mengayuh pedal becak roda tiganya.
"Baik Nak Kas," sedikit membelokkan arah kepala becak Pak Budi perlahan mulai mengayuh pedal becak perlahan.
Gerimis pagi mulai menyapa mereka mengguyur perlahan dan semakin deras seiring kayuhan pedal becak oleh Pak Budi. Becak terus melaju pelan tapi pasti menuju utara desa ke arah rumah Ibu Bidan.
Entah kenapa seakan alam memberi sebuah pertanda akan adanya sesosok bayi yang akan dipilih menjadi seorang pejuang nantinya membela arah jalan lurus kebenaran dalam naungan panji hitam Rasullalah dan dalam sisi baik dari Sang Kiai besar telatah Surabaya yang terkasih oleh Sang Pencipta di kala caruk-maruk marabahaya akhir zaman.
"Mas Kas sakit, aduh, duh, aduh," teriak Amanah sekali lagi meratap sambil terus memegang perut dan punggungnya.
Hujan semakin deras dan angin mulai kencang berembus di sertai kilat dan petir yang terus menyambar-nyambar.
"Sabar ya Dek sebentar lagi sampek, Ya Allah lindungilah kami dan calon anak kami," doa tengadah kedua tangan Mas Kas tertetes air hujan dalam kepasrahan dan ketawadukan yang penuh pada Sang pembuat hujan.
Pak Budi terus mengayuh basah kuyup lah iya di tengah guyuran hujan lebat. Dengan sabar dan perlahan Pak Budi yang seusia 50 tahun tapi masih kekar dan kuat menopang becak yang di mana di dalamnya dua orang penumpang tengah duduk dan satu orang tengah berbadan dua dan akan melahirkan.
Mas Kas terus memegangi tangan Amanah dan terus memegangi kepala Amanah yang bersandar pada pundaknya. Teramat tak tega tampak dari raut wajahnya melihat kekasih harus menahan sakit yang teramat sakit.
Dalam hatinya kembali berucap dalam doa, "Ya Allah, Ya Rahman, Ya Rahim, Engkau adalah pemilik hidup kami, Engkau adalah pemilik keputusan takdir, dengan harapan yang sangat tinggi dari pertanda alam ini. Semoga kepak anakku menjadi anak yang berbakti kepada Engkau dan kepada kami kedua orang tuanya, Aamiin."
Kayuhan becak Pak Budi akhirnya sampai pada pelataran rumah agak besar rumah dari Ibu Bidan. Dimana beliau sudah menunggu di depan ruang bersalin pas di buat di depan rumahnya.
"Ayo-ayo cepat Mas Kas di bantu Dek Amanahnya, ayo di bawa masuk cepat," teriak Ibu Bidan ikut membantu Mas Kas menurunkan Amanah yang sudah lemas tak berdaya karena terlalu sakit yang di rasakan.
Setelah pintu kamar bersalin tertutup sudah dan Mas Kas tak boleh ikut masuk ke dalam. Ia begitu resah, risau dan gelisah di depan pintu. Sebentar-sebentar ia berjalan ke kanan dan ke kiri. Terkadang duduk lalu berdiri lagi terkadang ia menyulut sebatang rokok lalu mematikannya lagi.
Pak Budi hanya tersenyum melihat tingkah panik Mas Kas yang tengah menanti anak pertamanya. Seakan begitu panik maklumlah anak pertama dan pengalaman pertama baginya.
"Mas Kas tenang lah pasti Dek Amanah selamat dan anak pertama Mas Kas dan istri akan selamat juga," ucap Pak Budi mencoba menenangkan Mas Kas yang terus gelisah.
"Ia Pak Budi, ini pengalaman pertama ku Pak gugup sekali aku menjalaninya," kata Mas Kas ikut duduk di atas bangku dari kayu panjang di depan ruang bersalin Pas.
"Oh iya Nak Kas, aku pulang dahulu nanti kalau sudah lahir dan hendak pulang kabari saja ke rumah ya Nak," Pak Budi kembali pulang dengan kayuhan becaknya menjauh dari rumah Ibu Bidan meninggalkan Mas Kas yang terlalu panik di tepian bangku kayu panjang.
Beberapa waktu berselang suara-suara geraman kesakitan dari Amanah semakin membuat gusar hati Mas Kas. Ia begitu mencintai istrinya sehingga ia tak tega jangankan sakit membuatnya menangis saja tak sampai hati rasanya.
Dalam lelahnya iya mencoba menyandarkan lelah dengan terbaring sejenak sambil terus menghisab per batang rokok di tangannya, karena hanya per batang rokok yang dapat membuatnya tenang dan dapat berpikir jernih entah mengapa selalu begitu.
Hanya dua hal yang dapat menenangkan pikiran Mas Kas saat sedang kalut seperti pagi ini. Yakni segelas kopi dan per batang rokok namun kali ini hanya rokok yang tinggal sebatang sisa kemarin menemaninya menempel di bibirnya yang mulai menghitam.
Lalu seperti ada angin dingin dan bisikan halus menelusuk telinga merambat dari dinding terus masuk menuju gendang. Seakan angin dingin sepoy-sepoy menari bagai biduan dangdut panggung orkes melayu jalur pantura atau pantai utara Jawa. Menghipnotis kesadaran Mas Kas yang semula terjaga sangat begitu terjaga menanti kelahiran si buah hati anak pertama.
Tiba-tiba terlelap dalam kelelahan terbaring di bangku panjang dari kayu depan ruang bersalin. Sejurus dengan tiba-tiba terlelapnya Mas Kas di bangku panjang depan ruang bersalin. Di dalam ruangan bersalain Amanah yang tengah berjuang antara hidup dan mati demi lahirnya si buah hati, demi mengantarkan si buah hati untuk membuka matanya pertama kali melihat dunia.
Tiba-tiba ikut terlelap jua dalam usahanya seakan ada angin membisik di telinga. Lembut dan bersuara lirih namun dapat membius matanya meniupkan kantuk yang amat sangat tak terhindarkan.
Dan Amanah pun terlelap seketika, "Loh Nak Amanah, hey ciloko iki, jangan tidur Ndok bahaya nanti nyawamu bisa terancam dan bayimu bisa ikut terancam tak melihat dunia, Ndok Bangun Ndok," teriak Ibu Bidan dengan kepanikan takut jikalau gara-gara tidurnya Amanah malah terlanjur tertidur tak bangun selamanya.
Samar-samar telinga Mas Kas masih mendengar walau lirih kata-kata dari ibu bidan tentang terlelapnya Amanah dalam kontraksi bertaruh nyawa dalam usaha melahirkan buah hatinya dan itu bisa membahayakan nyawa sang istri dan si bayi.
Rasanya iya ingin bangun tapi seakan ada makhluk besar bercula dua hitam tinggi menindihnya dengan tongkat panjangnya berkata, "Anakmu tidak boleh lahir di dunia, kalau ia terlahir bisa terancam jiwa kami para makhluk gaib di kawasan sini," dengan suara menggelegar bak halilintar di awang-awang dengan gaya bahasa berat serta serak begitu menyeramkan.
Mas Kas ingin terbangun tapi tak bisa terbangun iya seakan tak bisa bergerak walau ingin terbangun lalu sebuah bayangan seorang kakek berjubah putih membawa tongkat putih dan bersorban putih datang menusukkan tongkatnya pas di tengah punggung bayangan.
Seketika Mas Kas terbangun melonjak bergegas masuk ke dalam ruang bersalin. Untuk membangunkan Amanah yang tengah tertidur.
"Dek, sayang, bangun Dek jangan tertidur Dek istigfar Dek ingat anak kita Dek Amanah Bangun, Dek...!!," teriak Mas Kas terus menggoyang-goyangkan tubuh istrinya.
"Aah, huuh..., Mas Kas," Amanah tersadar dengan hembuskan nafas panjang kembali.
Tiba-tiba si bayi dengan ajaib sudah keluar dari perut Amanah tanpa sepengetahuan Ibu Bidan yang terheran-heran dengan kejadian kelahiran anak dari Mas Kas dan Amanah.
"Aku baru kali ini membantu persalinan seseorang yang sangat aneh masak aku enggak tahu keluarnya ini bayi aneh," ucap Ibu Bidan menggendong bayi merah yang seakan tersenyum padanya lalu menangis begitu kerasnya.
Setelah bayi di bersihkan lalu di baringkan. Sebelumnya di balut kain agar tak kedinginan dan di baringkan di samping sang Ibu.
"Selamat Mas Kas anakmu laki-laki tampan lagi mirip bapaknya. Diberi nama siapa anak lelakimu ini Mas Kas dan sekarang sudah boleh loh Dek Amanah di panggil Bu Amanah," kata Ibu Bidan.
"Kami sudah merundingkan ini jauh-jauh hari Bu Bidan akan kami beri nama anak kami Bagus Effendik," ucap Mas Kas seraya mulai melantunkan kumandang azan di telinga kanan Bagus Effendik si bayi baru lahir di lanjutkan lantunan komat di telinga kirinya.