Chereads / Pesan Cinta Effendik / Chapter 6 - Saat SMP

Chapter 6 - Saat SMP

Hai penikmat kenangan yang selalu hidup pada acuan masa lalu kalian bersama ku. Menikmati segelas atau secangkir kopi lalu membaca arti mendalam dari bekas ampas yang menempel pada gelas bahwa banyak kisah terbaca berjalan dikala dahulu bahkan teramat lalu dan sayang untuk dibuang.

Hai penikmat rindu masa lampau yang selalu berdiri dan terkadang menoleh ke belakang untuk melihat jejak yang ditinggalkan. Hanya sekedar menyapanya sebentar lalu kembali berjalan agar di masa depan mungkin kenangan pahit bisa kita hindari atau jadi rumus acuan agar tak mengulangi.

Mari kita sejenak menghening, sejenak menutup mata lalu melantunkan kisah-kisah yang sudah lewat hanya untuk sekedar berpikir aku pernah melaluinya. Aku pernah disana entah senang atau sedih perjalanan setapak demi setapak atau bisa jadi sejengkal demi sejengkal kisah yang pernah ada.

Mungkin kita mengingatnya dengan sebatang rokok lalu tersenyum saat hembuskan kelegaan dalam penggambaran asap rokok dengan berucap Wassyukurlah.

Atau mungkin kita tersenyum kecil agak kecut dengan bibir mungkin sudah menghitam atau keriput di masa kini.

Menatap kembali sembari menikmati sore di bawah naungan joglo depan rumah atau teras apalah itu sebutannya. Lalu berjanji dalam hati menancapkan bendera semangat di ujung nadi dan berucap aku bisa melaluinya dahulu dan aku merasa aku mampu menjalani masa kini sedikit mata menatap miris dengan kebekuan benci masa lalu namun masih terlihat walau luka masih belum sembuh menganga tak terobati.

Mari sejenak bersamaku meninggalkan masa lalu dalam lembar album kenangan masa kecil dengan segala anehnya perwujudan anugerah Sang Kuasa. Mungkin akan kita buka kembali di lain hari saat anak cucu kita berkata, Kakek tolong dongengkan sebuah kisah masa lalu, atau Nenek tolong ceritakan kisah dimana kita berjuang meraih bintang atau pucuk tangga di mana angin kencang di setiap undakan selalu datang dahsyat bak badai topan.

Ijin kan dari sisa pemikiran yang sebatas titik di luasnya maya pada atau alam semesta ini. Membuka satu halaman lagi meninggalkan halaman sebelumnya dari kisah pagi si kecil menuju remajanya dan kisah bunga-bunga cinta kala beranjak dewasa.

Hari ini Rabu, 7 Juli 2021, dengan sepi malam buta hampir pagi tepat pada pukul, 02.41, WIB. Menuturkan sebuah kisah lika-liku cerita anak abg yang baru menginjak bangku smp dan baru mengenal sebuah istilah cinta monyet belaka.

Dengan segelas kopi dan sebungkus rokok warna biru berlabel gembok dan kunci. Mari membuka canda, tawa, sedih, tangis dan panjangnya kisah cinta masa muda di kala pencarian jati diri mulai dirasakan dan arah mana dari tujuan hidup dilabuhkan.

***

Cinta Masa Smp,

Tahun 2005 awal kisah ku di mulai dari rentetan panjang semua drama dan kisah asmara mungkin lembaran kertas kisah ini begitu panjang tak pernah usai hingga nanti aku telah menutupnya untuk mengaturkan cinta semesta pada Sang Maha Cinta.

Pagi itu aku sedang duduk santai menatap riang pagi di depan teras rumah. Sambil menyapa para tetangga yang tengah memikul bermacam-macam tanggung jawab dari nafkah anak dan istrinya untuk rengek anak pertama yang menangis sebab sepatu sekolah telah berlubang dan harus membeli baru.

Dari tangis bayi mereka dan keluh sang istri dan berkata, "Pak susu anakmu telah habis, pak harga cabai merah mahal, pak harga ini dan itu naik. Bahkan dari kantong baju yang tak pernah terisi lembaran uang kertas bernama rupiah.

Aku menyapa satu tetangga belakang rumah yang menenteng cangkul dan sabit, berpeci bundar agak lebar dengan bentuk mengerucut segitiga ke atas. Begitulah rupa topi pak tani berasal dari anyaman bambu yang dianyam sedemikian rupa menjadi satu kesatuan sebuah topi.

"Pak mau ke sawah ya?" ringan bibir kecilku memuntahkan pertanyaan dengan enteng dan masih belum menanggung beban. Bebanku hanya pekerjaan rumah dari bapak dan ibu guru yang selalu tak mengukur kemampuan siswanya memberi kami tumpukan soal untuk di nilai esok hari.

Sejenak ku pandang sepatu hitam yang di belikan bapak setahun yang lalu ah sudah rusak dan pudar warna. Kulirik sekilas ke arah dua keranjang bapak yang biasanya menempel di jok belakang motor tua warna merah keluaran tahun 80 produksi negara matahari terbit, hari ini hari Jumat seperti biasanya bapak libur tak bekerja setiap hari Jumat.

Waktunya mepet katanya belum baju dan celana yang kotor saat membawa barang bekas yang di beli dari pintu demi pintu yang beliau ketuk. Yah bapakku bernama Kasturi dan ibuku bernama Amanah. Dan bapak bekerja sebagai tukang rombeng pembeli barang bekas.

Dan dari profesi bapak ada keuntungan bagiku. Setiap sepatuku telah terlihat usang entah itu bolong atau rusak selalu ada sepatu bekas namun masih layak dipakai tersedia di samping dua keranjang bapak. Entah sengaja atau tidak yang jelas penting aku tak susah-susah membeli sepatu baru.

Saat ku lirik dua keranjang ternyata benar ada sepasang sepatu yang telah di cuci bersih oleh ibu dan di jemur di atas atap rumah.

"Aha, sepatu ganti lagi, wau modelnya kekinian hehe," ku raih sepasang sepatu dengan susah payah di atas atap yang agak tinggi.

Kuraih tas dan memakai sepasang sepatu segera mengikat talinya. Lalu sejurus mengambil sepeda roda dua bergaya lelaki yang di sebut dengan nama pideral.

Tak lupa aku menghampiri ibu yang sedang sibuk berkutik dengan berbagai macam bumbu dapur dan bahan masakan untuk di satukan menjadi sebuah hidangan yang selalu aku suka apa pun itu jenisnya asalkan ibu yang memasak pasti selalu terasa enak.

"Ibu aku berangkat sekolah, Assalamualaikum," kuraih tangan ibu menciumnya di punggung telapak tangan dan berlari keluar.

"Waalaikumsalam, hati-hati Ndik, jangan lari-lari sana pamit bapak dulu sebelum berangkat, dasi dan topi sudah kau bawakah Pen?" selalu Ibu yang penuh teliti dan ingatan yang tajam terus mengingatkanku tentang dasi dan topi setiap pagi.

Lari ku perlambat ku belokkan arah kaki ke sisi rumah sebelah barat disana bapak selalu mengotak-atik motor tuanya. Entah apa saja yang ia benahi selalu ada saja yang rusak maklumlah motor tua.

"Pak aku berangkat ya, Assalamualaikum," bukan tanpa sebab aku pamit kepada bapak sembari mencium punggung telapak tangannya.

Setelahnya ritual wajib selalu menjadi kebiasaan. Tanganku kubalik menjadi telapak tangan di atas sambil berkata, "Pak uang saku," dan bapak selalu memberi uang saku lebih kepada ku.

Pernah aku bertanya padanya kenapa bapak selalu memberi uang saku lebih kepadaku yakni sejumlah 1500 rupiah lebih 500 rupiah dari anak seusiaku saat smp bila di beri uang saku orang tuanya.

Dan jawaban beliau selalu simpel dan mendasar, "Bapak tidak ingin anak Bapak merasa tidak sama dengan anak lainya," entahlah apa maksudnya dari jawaban bapak yang jelas aku selalu semangat sekolah gara-gara uang saku lebih 500 rupiah.

"Bismilahhirahmanirahim, berangkat...?" teriakan pagi khas yang selalu aku pekikkan untuk menyemangati hati bahwa pentingnya sekolah untuk masa depan kami.

Pedal pideral telah terkayuh rodanya telah berputar searah rantai melingkar terus berputar. Hari ini pagi seragam putih dan biru melalui jalanan desa terus meluncur menuju gedung sekolah menengah pertama bernama SMP Negeri 1 Mojowarno.

"Selamat Pagi dunia," pekikku dalam hati dengan lantang dan tetap semangat.