Pagi malas di atas kasur kamar ku, masih berkutat antara aku, bantal dan guling dan nikmat terlelap. Sedangkan ayam jago telah berkokok menandakan terangnya fajar pagi telah merekah indah. Dati sela-sela jendela kamar menelusur cahaya sang raja siang si mentari melambat perlahan menyapa wajahku.
Namun aku mencoba mengalahkannya menutupi wajah dengan secarik sarung dan masih mengantuk. Seperti biasa dan sudah menjadi rutinitas biasa aku selalu menyapa malam semalam suntuk hingga bertemu yang bernama lain yang menyegarkan yakni subuh dua rakaat.
Sebab kalau tak seperti itu aku tak dapat melampaui genap kewajiban lima waktu. Fardu akan perintah Allah Tuhanku yang diwajibkan oleh sang terang nabiku Nabi Muhammad ya Rasullah.
Hal ini termasuk dalam lingkup salah satu karma kesalahan masa lalu yang timbul di masa kini kala aku sudah berada jauh meninggalkan kenangan beserta seluruh album masa lalu yang kini tersimpan rapi di rak almari buku ada juga sebagian yang tersimpan di tatanan rak buku menempel di dinding kamarku.
Dahulu aku sering sekali bertemu subuh tapi aku bahkan aku tak terpikir selintas pun untuk bersua sujud dua rakaat. Jadi ada sebab ada akibat, dari sini aku telah mengerti apa itu akibat nama lain dari karma buruk. Jadi sebisa mungkin aku terus berusaha menyapa subuh walau masih jua belum mampu benar dengan sujudnya.
"Pendik...! Bangun ayo bantu bapakmu ke sawah. Untuk sulam sebab banyak kemarin benih jagung yang kita tanam tidak tumbuh Nak," teriak ibu sudah biasa jadi rutinitas biasa setiap pagi membangunkanku terkadang untuk membangunkan agar aku bekerja atau membantu bapak di sawah maklumlah aku terlelap melampaui batas kewajaran manusia selayaknya.
"Iya Bu," dengan mata masih berdaya lima watt dan badan masih ingin terlelap aku mencoba menyapa pagi dengan basuhan muka dari dinginnya air sumur. Beberapa roti bakar kecil yang selalu tersedia di meja yang selalu di sediakan Ibu dibelinya di tukang sayur yang selalu lewat depan rumah terlahap sudah.
Setelah badan agak lebih segar dan telah berbaju ganti kaos oblong serta bawahan celana pendek seadanya. Ku parkir motor bebek si hitam depan rumah sedikit menyela starter dengan gas agak kecil menyalalah iya.
Keluarlah Ibu dari arah dapur menenteng tas berisi tumpukan rantang penuh nasi dan lauk pauk untuk sarapan. Kami berniat sarapan di sawah bersama bapak yang sudah lebih dulu pergi bersua sawah sedari tadi pagi.
Laju si hitam perlahan melaju menuju selatan lewati tetangga desa. Sampai di perempatannya setang agak kubelokkan ke kanan terus lurus menuju pertigaan dimana di tengah pas depan pertigaan sebuah sekolah dasar negeri desa setempat berdiri. Kembali setang ku belokkan ke kanan lurus sampai menemui pertigaan belakang desa Nggerbo.
Ku parkir si hitam di pinggir sawah, ku pikir aman motor lama siapa yang mencuri. Ibu sudah cepat berjalan langkahnya sudah berada di tengah sawah bersama bapak yang duduk membuka tumpukan rantang berisi sarapan pagi.
"Astagfirullah, cepat sekali ibu berjalan. Baru saja aku tinggal parkirin si hitam sudah di tengah sawah saja. Memang Ibu adalah Super Emak, hehe," gerutuku terheran-heran akan langkah Ibu yang begitu cepat melalui pematang sawah yang hanya bisa dibuat melangkah satu orang. Itu pun harus berhati-hati sebab tanah yang di buat menjadi pematang selalu tidak rata maklumlah sawah.
Dengan langkah gontai agak malas di hari Jumat tanggal, 30 Juli 2021, kususuri pematang ikut duduk mengambil nasi dan lauk tempe sebuah lauk dari fermentasi kedelai. Dan sambal tomat telah berada di tengah-tengah nasi serta sayuran bunga turi merah yang di lembekkan dengan cara di kukus ikut menemani.
Terkadang aku bergumam dalam hati kapan aku bersua wanita seperti Ibu yang setia menemani bapak sesulit apa pun keadaan hidup yang dialami tak pernah mengeluh.
Setelah sarapan kami lekas turun ke sawah mencari beberapa titik bibit padi yang kami tanam beberapa hari yang lalu dengan cara melubangi tanahnya dan diisi dua atau tiga butir jagung yang tidak tumbuh.
"Eh iya jadi ke pikiran bagaimana ceritanya Bapak dan Ibu pacaran ya, hem jadi ingin tahu. Tanya bapak kali ya ingin dengar apa, apa bapak juga dahulu sepertiku punya banyak mantan, hehehe," gerutuku sambil menaruh abu yang sudah di ramu dengan bahan tambahan ke dalam lubang baru yang di buat bapak dan di masukkan dua biji benih jagung oleh Ibu.
"Pak Eh boleh bertanya?" ucapku mendekati Bapak yang terus melubangi tanah sealur teratur dari lubang-lubang sebelumnya berjarak rapi dari ujung ke ujung dengan tongkat dari kayu pohon pete yang di haluskan dan di bentuk panjang namun bulat.
"Tanya apa?" celetuk bapak membalikkan pertanyaan padaku.
"Bagaimana sih Bapak dulu pacarannya sama Ibu?" langsung saja tanpa bosa-basi menuju pada topik utama pembicaraan.
"Eh kenapa rupanya kau bertanya soal pacaran Bapak dan Ibu?" Bapak terus balik bertanya merasa ada gelagat yang mencurigakan dengan pertanyaanku.
"Enggak apa-apa Cuma ingin tahu saja," jawabku agak takut kalau bapak tersinggung dengan pertanyaanku dan ibu hanya tersenyum ayu dengan hijab birunya.
"Nah baiklah, kalau kau ingin dengar, dengarlah baik-baik ya. Tapi bukan perihal pacaran Bapak dan Ibu, kita mulai dari kisah Bapak semasa kecil. Dengarkan ya jangan membantah apa yang Bapak ucap oke," terang Bapak hendak menceritakan kisahnya.
"K.O, Pak siap mendengarkan," jawabku mengacungkan jempol tanda setuju.
"Nah kisah Bapak dimulai dari kelahiran Bapak yang ditinggal mati nenek kau saat melahirkan bapak. Waktu itu kakekmu pergi entah kemana tak tahu rimbanya dan Bapak menjadi seakan yatim piatu anak sebatang kara. Sebab Bapak tak memiliki keluarga lagi dan hanya Bapak seorang. Waktu Bapak kecil, Bapak sering berpindah-pindah tempat tinggal dari rumah-ke rumah tetangga yang mengasihani Bapak," tutur Bapak menjelaskan.
"Oh begitu terus Pak," ucapku sambil mengikuti ibu yang terus menaruh benih jagung di dalam lubang yang di buat Bapak.
"Nah lama bapak berpindah-pindah dan makan seadanya. Begitu juga sekolah sampai bapak hanya mampu tamat SMP. Itu sudah syukur alhamdulillah Bapak bisa sekolah. Biayanya dari mencari rumput lalu bapak kasih pada orang yang berternak sapi untuk mendapatkan upah. Bapak tabung untuk biaya sekolah," ucap Bapak bercerita tentang masa kecilnya yang ternyata penuh perjuangan untuk dapat hidup.
Tak dapat ku bayangkan betapa sengsaranya hidup bapak saat masih kecil dahulu. Dimana anak seusianya sedang asyik bermain ia harus mencari pakan ternak untuk dijual kembali pada peternak sapi di desanya. Aku jadi merasa bapak adalah tokoh super hero dalam kehidupan kami yang begitu kuat menantang dunia seakan tak pernah kalah dalam pertarungan dari kehidupan.
Sebab aku tahu adik perempuanku sekarang sudah sarjana setrata satu di sebuah universitas bergengsi di Surabaya malah sudah bekerja di bekas kampusnya. Dan aku anak lelakinya jua sudah mengenyam hingga bangku STM atau SMK. Bukan hal yang mudah tentunya bagi bapak yang selalu bekerja keras demi memenuhi kebutuhan kami saat sekolah dahulu dengan biaya sekolah yang terus melambung tinggi setiap tahunnya.
"Terus Pak, kelanjutannya bagaimana?" tanyaku kembali ingin segera mendengar cerita selanjutnya.
"Nah pas Bapak muda, Bapak pergi merantau ke Serang Banten di sanalah Bapak kenal dengan Ibumu Si Bunga desa kala itu," timpal Bapak sambil tersenyum melihat Ibu agak mengedipkan mata.
"Apa sih Pak, enggak malu sama anakmu itu," celetuk Ibu menggerutu tapi tetap tersenyum.
Mungkin Bapak dan Ibu teringat masa-masa indah. Saat pertama bersua di tanah merah para jawara kota serang.
"Begini ceritanya sebuah kisah cinta gadis desa dan pemuda kampung bertetangga desa di kota Jombang namun bertemu dan berjodoh di sebuah kota jauh di barat pulau Jawa yakni kota serang."