Chereads / Pesan Cinta Effendik / Chapter 9 - Masa SMK

Chapter 9 - Masa SMK

Lestari adalah bidadari kecil berseragam oranye berdasi kupu-kupu. Iya turun dari pintu sejenis angkutan antar kota dengan mata menatap kosong berpita oranye, menenteng tas oranye, sepatu dan kaos kaki oranye.

Angkutan antar kota Pak Padil yang sering kami panggil Len H2. Selalu ada duduk di belakang bersandar pada kaca menatap ke depan tanpa nada tak bersuara hanya melamun saja.

Entah apa yang di pikirkan aku tak tahu setiap pagi. Entah aku adalah salah satu dari puluhan kumbang yang bergumam atau sekedar menggerutu bahkan berdecik kagum.

Mengagumi keindahan Lestari sang bidadari tanpa sayap dan bulu-bulu beludru di belakang punggungnya. Lestari Larasati begitu kukenal iya dari plakat nama sebelah atas saku seragam sekolah warna oranye yang menempel mesra di hiasi Tutwuri Handayani.

Yang kami sebut sebagai pelajar disebut bet atau tanda pengenal para pelajar. Atau bisa dibilang atribut aksesoris yang melengkapi seragam kami.

Lestari berbeda tempat meniti ilmu denganku sebuah tempat untuk menempa masa depan tahap menengah kejuruan atau disingkat SMK. Iya agak jauh beberapa kilo dari tempatku bersenda gurau dengan siswa yang lain di depan gerbang.

Dan Lestari hanya dapat dikagumi di dalam angkutan antar kota. Berdiam duduk paling belakang bersandar kaca yang kadang menempel stiker poster wajah-wajah kampanye di sana.

Entah sejak kapan aku mulai mengagumi Lestari dan suka mencuri-curi pandang. Saat ia terdiam membisu bagaikan boneka India yang pernah viral di tahun 70.

Ingin rasanya setiap pagi datang dan selalu ku menempati angkutan yang sama dan memang seperti itu aku sengaja agar tetap dapat memandangnya. Seperti pagi ini mungkin pagi selanjutnya atau pagi yang akan datang kuharap tetap seperti itu.

Hanya diam membatu sepanjang 14 kilo meter dari pertigaan gang kantil Mojowarno hingga SMK Kusuma Negara Mojoagung. Lucunya aku hanya diam mencuri pandang tak bicara hanya mulut buka dan tutup seakan ingin menyapa tapi tak kuasa.

Yah aku duduk di depanmu dan selalu seperti itu menikmati ayu wajah dan kibasan rambut sebahu. Menikmati rok mini selutut dan halus kaki yang entah ku rasa berbulu sedikit. Menikmati warna pita bersemayam di poni depan yang terurai bak ratu madona.

Hingga suatu hari kami sekawan bertiga dari arah selatan menuju SMK Kusuma Negara. Berlomba untuk sekedar menyapa bertaruh demi sebungkus rokok surya dan secangkir gelas penuh seduhan kopi.

Tetapi lama kami berusaha tiada kami menang atau kalah. Karena menyapamu terlalu sulit kala itu. Yang kami peroleh hannyalah pandangan kosong antah berantah. Namun justru tatapan kosong itu yang membuat kami seakan terikat benang dan kawat yang terpaut selalu ingin menguji mental kami seakan seperti rasa uji nyali.

Tapi hari ini kami bertiga aku, Pras dan Hargo, sejalur denganku duduk di sebuah gang berplakat nama Kantil. Sebuah gang di sebelah utara pas pertigaan utama kecamatan Mojowarno.

Pagi ini kami menunggu dengan resah sebuah angkutan antar kota berwarna merah bertulis H2 di muka. Beberapa telah melalui kami saat bercanda tentang Lestari tapi saat kami menengok kedalamannya tiada Lestari duduk di tempat duduk belakang. Kami menanti kembali hingga pukul 08.00 WIB dan belum jua kami menemui sosok bidadari dalam angkutan perkotaan memandang kosong yang selalu kami nanti.

"Sudah lewat jamnya Brow, tak berangkat sekolah ini Lestari. Ah kecewa hatiku," teriak Hargo mengambil batu kerikil melontarkannya ke arah jalan raya sambil memaki hampa udara di sekitar.

"Sabar Brow mungkin besok Lestari masuk sekolah dan kita dapat berusaha untuk menyapanya lagi," ucapku menenangkan Hargo yang mulai kelihatan kecewa berat.

"Hahaha, kita juga sudah termasuk bolos sekolah ini, tentu gerbang sekolah sudah di tutup dari jam 07.15 tadi," celetuk Pras yang hanya duduk sambil memandang ke arah selatan jalan.

Lalu yang kami tunggu berhenti di depan kami. Sebuah angkutan perkotaan warna merah bertuliskan H2 di depannya milik Padil.

"Nah itu, itu Len Padil coba tengok?" teriak Hargo menunjuk ke arah Len H2 yang berhenti di depan kami.

Namun saat Padil si pemilik Len H2 sekaligus sebagai sopirnya. Melongok keluar dari arah pintu samping kanan, "Woi kalian bertiga ayo berangkat nunggu apa sudah telat jam berapa ini. Sudah Lestari sakit kata ibunya badannya panas enggak masuk tiga hari. Sudah ayo naik nunggu apa lagi?"

"Bagaimana kawan?" tatap mataku pada kedua teman-temanku mengisyaratkan persetujuan mereka apakah melanjutkan sekolah atau bolos saja.

"Hayuklah naik kita, nanti lewat belakang saja masuk sekolahnya. Disuruh pus up biar deh sama Pak Bahtiar," ujar Pras mulai menaiki Len H2 milik Padil diikuti kami dan aku satu per satu.

Wajah kami tampak murung tiada Lestari di depan kami. Lalu berunding untuk di lain hari mencoba bertanya pada Padil untuk berusaha menjenguknya dengan sekilo atau dua kilo buah hasil karya dari patungan uang saku kami bertiga mungkin dilain hari.

Tapi itu kisah sebulan yang lalu pada akhirnya kami mengurungkan niat kami menjenguk Lestari Larasati sang bidadari sebab salah satu dari kami telah berpulang ke rahmatullah. Sejak tragedi belakang terminal 2005 awal.

Pras teman kita yang paling pemberani tertebas celurit di pinggang kiri saat melawat pada rival abadi sekolah SMK belakang terminal lama. Dan hari ini kami menunggu agak lama di pusara terakhir Pras sang kawan sejati dalam suka dan duka.

Selamat jalan kawan kami persembahkan bunga dan doa untukmu sang pejuang berseragam di jalanan. Masih terkenang jelas akhir nafasmu tersengal di kaki para musuh kami. Dan aku hanya mampu menebas beberapa lawan tak mampu sampai pada dirimu yang akhirnya terkapar pada tanah rerumputan belakang pasar terminal.

Hari ini aku dan Hargo harus terpisah jua seakan kami tiga sahabat telah berakhir dari sejarah jalanan dan berjanji di hati satu sama lain tak kan kembali pada jalur baku hantam basis terminal.

Aku menatap punggung Hargo yang berpamitan ikut bapak dan ibunya pergi menuju kota hujan di depan pusaran Pras saat hujan mulai datang menghantami tanah dan membasahi rerumputan.

Sekilas Hargo menoleh dan tersenyum pada ku sambil berjalan seraya mengacungkan tangan ke atas langit dengan kepalan tinju bak sang pemenang iya berteriak, "Pendik kitalah juaranya, kitalah juaranya kenanglah hari ini di masa depanmu. Kenanglah kami sebagai tiga sekawan sejati. Ingatlah hari ini kita pernah berjuang bersama di jalur jalanan berseragam. Pendik basis Neraka jalanan yaitu basis terminal akan tetap hidup sampai kapan pun. Pendik kita juaranya kitalah sang pemenang,"

Dan aku hanya menatap kepalan tinju sang pemenang ke atas langit lalu menghilang di bawa Len H2.

Hari itu aku memang sang pemenang dan Lestari Larasati sedang di sampingku memegangi payung agar aku kekasihnya tak kebasahan. Tapi terlalu mahal harga kemenangan ku raih dari taruhan sebungkus rokok dan segelas kopi hitam pahit tiga bulan yang lalu.

Kini tiga sekawan telah berpisah jua dan hanya tinggallah aku yang meneruskan perjuangan tetap tinggal bersekolah di SMK Kusuma Negara. Dan terus pergi ke jalur mewarisi dua rekan sejawat kami.

Dan menciptakan tiga sekawan lainya dari generasi ke generasi namun kali ini kami bertujuan menjaga area basis terminal agar tak ada lagi yang bernasib seperti kawan kami Hargo harus terkapar bersimbah darah demi satu ego dan harga diri.

Tangan halus Lestari meraihku yang sedang tertunduk di atas tanah berlumpur pusara Pras mengajakku untuk pulang.

"Sayang mari kita pulang," begitulah bibir manis kekasihku saat kelas satu SMK ku sapa Lestari Larasati.

Kuraih genggaman tangan sang bidadari Len H2 berjalan berdua untuk pulang. Dan berjanji untuk kembali lagi bila malam Jumat datang. Untuk sekedar berdoa atau menabur bunga di pusara Pras yang masih kulakukan hingga saat ini di tahun 2021 namun bedanya tiada Larasati hari ini sore ini di tanggal, 8 Juli 2021. Aku hanya berdoa dan menabur bunga lalu pergi lagi sambil berkata sobat kita tiga sekawan dan kita lah sang juaranya.