Ketika Lestari memilih untuk pergi menjauh bukan hanya dari mata tapi dari hati dan seluruh jiwa seakan di bawa pergi dan hanya punggungnya kulihat ketika iya berjalan pulang sambil menatapku seakan tak mampu melepaskan.
Semalam iya berkirim surat dari seorang kawannya yang menantiku di terminal Mojoagung saat siang bergulir di atas kepala. Kala itu di ujung terminal sisi paling timur di sebatas pinggiran aspal jalur pantura di tepian trotoar pas di samping asongan kopi Bu Ijah begitulah kami menyapanya.
Secarik kertas telah di ambil dari tas samping Fitria gadis pengantar surat teman Lestari. Mengulurkannya pada ku sambil berbicara panjang lebar tentang kisah Lestari dan Mas lelaki yang di inginkan sang keluarga berpangkat Polri.
Dan apalah daya aku yang hanya anak tukang rombeng dan berandal jalur jalanan. Berseragam pun musuh dari lelaki berseragam Polri jua.
Ku buka satu lipatan per lipatan kertas merah jambu bergaris-garis biru dilipat berbentuk origami. Burung kolibri atau buruh gereja atau burung apalah itu. Di salah satu sisinya tertulis
"untukmu kekasih selamanya Mas Bagus Effendik yang kupanggil Mas Pendik kekasihku yang paling resek dan jail."
Ku baca perlahan bait per bait isi dan per paragraf narasi yang di tulis tangan rapi oleh Lestari.
Dear Mas Pen,
Aku menulis dengan air mata yang semakin jatuh berlinang
Tak ku bendung biar mengalir sebagai bukti aku adalah separuh hatimu
Bukankah begitu katamu sore kala itu di perempatan jalan besar utara sekolahmu
Mas Pen aku tetap akan menjadi bidadari yang turun dari angkutan
Milikmu seperti dulu hingga nanti bahkan sampai menutup usia
Tak akan kuberikan semaian bunga cinta yang pernah kau sirami.
Raga ini kelak memang meninggalkanmu sejak pagi di pelataran pasar sapi
Namun hati yang telah terpaut tak kan terganti
Namamu terukir rapi di dalam sini tak mampu ku hapus
Bahagialah Mas Pen walau tanpa bidadari tatapan kosong seperti Lestari
Aku pamit dari hatimu
Aku pamit karena tak mampu untuk durhaka pada bapak dan ibu
Lupakan aku tapi aku tak akan melupakan kisah kita di setiap sore kala terminal sedang hening sesaat
Ketika kita berdua seakan menjadi ratu dan raja di sana.
Pintaku pergilah dari jalan itu kembalilah ke rumah
Berhentilah untuk mengadu nyali di basis terminalmu
Pras adalah kawanmu dan Pras adalah kawanku
Tanah pusarannya belum jua kering jangan menambah Pras yang lain terkapar di sana
Mas Pen aku Lestarimu
Aku bidadari angkutan kota H2 milikmu
Aku gadis bertatapan kosong yang pernah kau cintai
Maaf,
Lestari Larasati
***
Ku lipat kembali kertas merah jambu ku ulurkan kembali pada Fitria dan menyuruhnya kembali pulang seraya berkata padanya mungkin hari ini akan ada korban kembali selain Pras. Entah musuhku atau rivalku atau bahkan aku.
"Fitria bilang pada Lestari kalau aku tak menyusul Pras malam ini berarti aku berada di balik jeruji besi karena membalaskan rasa dendam," Sempat Fitria mencegahku demi Lestari tapi aku kadung berjalan menatap sepuluh pentolan jalur jalanan seragam basis terminal. Mereka terbentuk aku yang membuat dan hanya aku yang menggawangi sebagai sang panglima jalur basis terminal.
Ku acungkan ke atas dengan kepalan selayaknya tiga bulan yang lalu. Hargo menunjukkannya padaku dengan teriakan keras bersama sepuluh pelajar SMK kusuma Negara.
"Basis terminal Mojoagung, kitalah juaranya kita sang pemenang," lalu tubuhku menghilang di sela-sela belakang pasar terminal meninggalkan Fitria yang terpaku mematung seakan tak tahu lagi harus berkata apa pada Lestari tentang yang kukatakan.
***
Di rumah Lestari,
Fitria tampak berbicara dengan Lestari di teras rumahnya menyampaikan apa yang ku sampaikan di terminal. Bahwa hari ini akan ada tawuran besar-besaran di belakang terminal. Tampak Lestari seakan ingin pergi dari wajahnya tersirat tak ingin kehilangan.
Tapi apa daya sang Mas lelaki bertitel Polri ada di sana.
Tapi apa daya sang bapak dan ibu Lestari ada di sana. Dan tangan kekar berseragam tentara memegangnya menahannya agar tidak pergi. Begitu pun bapak dan ibunya menghalangi dengan sorot mata tajam mengisyaratkan tak pergi.
Lestari hanya mampu mengalirkan air matanya sambil menatap Fitria yang seakan menatap Lestari mengisyaratkan untuk pergi. Tetapi galengan kepala Lestari Larasati menandakan bahwa ia tak mampu melangkah untuk memberontak dari kata durhaka kepada orang tua.
"Maaf Fitria, Maaf aku tak mampu melawan larangan orang tuaku," tangisan Fitria menjadi dan berlari pergi menuju kamarnya.
Brak..., pintunya terbanting dari dalam dan menangis di atas kasur busa sejadi-jadinya. Dan Fitria dengan rasa kecewa kembali pulang dengan wajah tertunduk lesu.
***
Di belakang terminal Mojoagung
"Woi sang panglima jalur terminal, kali ini kau akan mati di sini seperti pendahulumu sang pemimpin kalian dahulu. Di atas rumput ini pas kepalanya ada di bawah kakiku dan merengek untuk tidak aku tebas pas kepalanya seperti banci," teriak Darmono sang pemimpin SMK kota Jombang menantang.
Dan aku hanya diam menatapnya seakan aku adalah sang haus darah. Hanya menebas dalam pikiranku, hanya menghunus adalah tujuanku. Hanya balas dendam, rasa dendam dan aroma dendam kematian sahabat adalah tujuan.
Serang...,
Pekikan dalam gerimis seperti biasa mempertemukan kami dalam baku hantam belakang terminal di sebelah parit besar, di atas rerumputan sebelah jembatan penghubung antara terminal, dan pemakaman.
Aku berjalan seakan aku tak bisa mati, aku berlari menebas seakan aku kebal belati, aku berteriak membabi buta hingga mata mereka menatap ngeri berlari kocar-kacir.
Sore itu hingga menjelang malam pukul sembilan betapa lama kami beradu nyali. Betapa kami mencari sebuah arti untuk jati diri. Dan aku akhirnya terkapar sendirian di atas rumput benar dengan sobek di atas lutut hingga ujung paha.
Aku lelah seakan mataku berkunang dingin menjalari tubuhku ada bayangan putih seperti Pras. Aku berteriak, "Pras jangan pergi aku ikut, aku ikut," tetapi ia hanya bergeleng mengisyaratkan ku jangan mengikuti.
Lalu tangannya menuntunku untuk bangkit dengan tersenyum. Dan aku kembali tersadar saat kepalaku terinjak sebuah sepatu dan ayunan kapak hampir saja menancap pas di ubun-ubun kepalaku sepersekian detik saja aku telah lewat namun entah dari mana kekuatan itu ada.
Entah dari mana aku mampu membalik semua luka dan keadaan kekalahan di jalanan. Setiap aku akan mati entah kenapa seakan ada cahaya yang selalu memegang tanganku untuk kembali berdiri.
Dan pas pukul sepuluh malam kami pastikan kamilah juaranya. Kamilah sang juara di jalur basis terminal. Dengan teriakan keras, aaa..! ku acungkan kepalan tangan ke atas langit.
Menatap langit dan berkata, "Aku tahu Pras kau di atas sana kemenangan ini untukmu Pras untukmu kawan dan aku telah membalaskan dendammu kawan si pembunuh itu sudah tertancap parang di kepalanya. Entah lewat atau hidup aku tak tahu yang penting aku puas membalaskan dendammu."
Lalu sepuluh temanku berkerumun memapahku berjalan. Ku sulut sebatang rokok yang kubeli di warung Mbok Jamik depan sekolah kami. Dengan kaki berlumur darah aku tertatih, dengan kening berlumur darah aku tertatih, dengan hati berlubang-lubang aku lampiaskan semua luka.
Saat pas di pertigaan sebelum pos polisi jalan pintas seperti biasa saat kami pulang bertarung di sana ada Fitria menunggu bersama Lestari tapi ada satu lagi di samping Lestari seorang kakak-kakakan, seorang gadis berambut panjang bila hari ini kami telah kelas 2 SMK.
Dia Linda Kristiani telah duduk di kelas tiga SMK, sebuah SMK yang disebut SMEA atau sekolah kejuruan khusus untuk para gadis.
Lestari tampak ingin memelukku kala itu namun tangannya di hempaskan Kak Linda. Dia Linda adalah yang selalu menjadi tumpahan curhat ketika masalah semua tertumpu pada ku dia Linda adalah kakak yang telah kuanggap kakak walau bukan asli sedarah atau kandung.
Dia Linda Kristiani yang selalu memperhatikanku dan mencurahkan seluruh perhatian kepadaku. Dan sebelum perang aku sempat mengirimi dia sms panjang dan lebar sebab itu dia datang dia tahu pasti aku lewat gang depan kosan yang ia tempati.
Sebab ketika aku dalam kepayahan dan berlumur darah setelah baku hantam pasti aku menginap di kosan kak Linda. Dia yang merawatku membersihkan luka di sekujur tubuhku.
Malam ini tangan Lestari tertepis oleh tangan kak Linda sambil berkata, "Kau sudah mantan dan Pendik milikku sekarang,"