Chereads / Pesan Cinta Effendik / Chapter 7 - Dek Novita

Chapter 7 - Dek Novita

Pedal sepeda roda dua bernama pideral terus terkayuh penuh semangat menyusuri jalanan utama desa Mojokembang yang masih belum tersentuh aspal masih berupa tanah bercampur batu dan pasir.

Ku kayuh dengan laju agak cepat penuh keriangan dengan di balut seragam atasan putih dengan celana pendek biru. Hari ini aku telah menginjak bangku kelas dua SMP sudah. Dengan tas ransel yang menempel lekat diam membisu di punggungku. Tak lupa topi biru dan dasi biru terpasang rapi di atas kepala dan leherku.

"Ayo Brow kita balapan!" ajak seorang kawan bernama Khotib yah dia jua bersekolah di sekolahan yang sama denganku apa lagi kita teman satu kelas di kelas 2c di sekolah menengah pertama negeri 1 Mojowarno atau sering disebut dengan singkatan SMP N 1 Mojowarno.

"Ok siap ayo!" kulayangkan kesanggupan menyahut tantangan Khotib dengan menambah laju sepeda warna hitam oleh-oleh bapak dari kecamatan Pujon, kabupaten Malang tentu membeli dari orang-orang disana saat mencari rongsokan.

Kami berlomba dengan riang di temani kicau burung pipit yang ikut riang menari serta menyanyi di ujung-ujung tanaman padi yang ada sepanjang jalanan yang kita lalui. Seakan sejalan dengan rasa keriangan masa kecil kami sang surya ikut tertawa dengan memberi kami cahaya sinarnya yang tak begitu panas sedikit redup terasa hangat tak begitu dingin menyapa kulit ari kami.

Duor...,

"Oalah Tib, Khotib duluan saja sana, banku meletus ini untung tidak jatuh aku," teriak ku sambil melambaikan tangan pada Khotib yang telah jauh di depan ku.

"Oi, aku duluan ya Pen," berteriaklah Khotib sambil terus melajukan sepedanya.

"Yoi," ku angkat tangan tanda mengiyakan.

"Alah kenapa juga pakai meletus ban ini mana sudah setengah tujuh lagi," aku terus menuntut sepeda menuju arah sekolah dan berharap ada tukang tambal ban paling dekat aku jumpai.

Selayang pandang seorang kupu-kupu cantik bila di ibaratkan seperti itu. Bak bunga yang baru mekar-mekarnya di taman satu kota dan bunga itu palinglah wangi.

Seorang gadis seusiaku melintas tampak ayu dengan geraian rambut hitam nan panjangnya tergerai basah pula. Mengayuh sepeda roda dua bergaya jengki atau disebut sepeda wanita. Pas berhenti di sampingku menuntun si pideral tersenyum cantik dengan pita ungu terselip di kening sebagai pembatas belahan rambut yang menyamping.

"Eh Dek Novita, mau bareng ke sekolahkah?" bosa-basiku bergaya cowok badboy yang sok keren dan sok tampan padahal sedang menuntun sepeda dimana ban sedang meletus.

"Hehe, mas Pendik ini lucu kan mas lagi menuntun itu si pideral mana bisa bareng yang ada Adek yang ngajak Mas buat bonceng sama Adek buat bareng ke sekolah Mas," Novita bertutur kata membalikkan dan mematahkan pernyataanku.

"Aduh Dek jangan tersenyum begitu nanti Mas tak jadi sekolah karena demam terus memikirkan senyumanmu. Ini si pideral kenapa lagi meletus bukannya membantu usaha aku mengejar cita-cita malah menghambat ya Dek," dengan pipi agak berwarna jambu monyet serasa malu menatap Dek Novita yang teramat manis dimataku aku mencoba mengeluarkan jurus-jurus lelaki merayu.

"Halah Mas Pendik ini loh selalu jago buat Adek tersenyum, ada saja candaan yang di lontarkan dari bibirmu itu Mas, sudah ayo Adek bonceng nanti telat lagi kan sudah setengah tujuh ini tak sampai nanti Mas menuntun sepeda pideral itu sampai sekolah bisa-bisa di tutup pintu gerbangnya," ujar Novita dengan senyum cantik andalannya.

"Ok siap," dengan gaya lompatan katak sepeda ku sandarkan pada sebuah warung yang memang sudah aku kenal penjualnya lalu melompat ke boncengan belakang sepeda Novita.

"Eh itu sepeda Mas bagaimana?" tanya Novita menunjuk sepeda ku yang tergolek begitu saja.

"Ah biarlah, Paklek Topo nitip si pideral ku ya?" teriak ku pada Paklek Topo yang sedang menyuguhkan kopi pada pembeli.

"Tenang Nak Pendik biar saja di situ nanti Paklek bawa ke dalam ini Paklek masih bikinkan kopi pelanggan," sahut Paklek Topo di dalam warung.

Lalu kami bercanda bersama di sepanjang jalan di bonceng Dek Novita melaju bersama menuju sekolah kami tercinta. Dek Novita adalah tetangga sebelah rumah putri dari bapak Hajar dan ibu Wiwik. Tepatnya sebelah depan rumahku agak ke selatan menghadap timur pas itulah letak rumahnya.

Dek Novita masih kelas satu smp sedang aku sudah satu tingkat di atasnya kelas 2 smp. Terkadang aku selali teramat sering menggodanya walau hanya untuk melontarkan rayuan pohon kelapa atau gombalan bak wayang Arjuna. Dan iya selalu tersenyum ayu sambil berkata kalau rayuanku adalah lelucon yang selalu membuatnya bahagia.

Dek Novita adalah gadis pertama yang aku kagumi setelah sebelum dan seusai Shalat magrib tiba di Mushola gang paling timur RT 08, selalu suka aku berjalan beriringan dengan dia menjelang kumandang panggilan terindah dari yang terindah berawal takbir dan seruan untuk Shalat di mulaikan sebagai pengganti hari terang menuju gelap.

Dia Dek Novita gadis kecil mungil nan lucu membawa sajadah berbalut mukena. Aduhai aku jatuh mata dan pandangan ini di ujung manik-manik dan renda ujung mukena yang terus terkibas seiring gerak langkah kakimu yang menawan dan menambat hati kecil ini.

Dek Novita adalah gadis kecil semerbak wangi mawar yang selalu menyapaku dan tak bosan serta tak hentinya aku memandang jauh hingga ia tak terlihat lagi melewatiku walau hanya terlihat gerai hitamnya rambut panjangmu jatuh tergerai terkibas angin seiring ayunan sepeda yang kau ciptakan menuju sekolah.

Aduhai kupu-kupu kecil ini teramat cantik untuk dihayati Dek Novita teramat indah bila di sandingkan melati setaman terlalu wangi bagai minyak kesturi dari arab yang di bawa Bu haji setelah melaksanakan ibadah Umroh atau Haji mabrur.

Dan pagi ini kau yang menawarkan pergi bersama dengan kau memboncengku dan aku duduk di boncengan sepedamu di belakang. Kau tahu hati ini berdebar selalu tak kala dekat harum badanmu apa lagi terkibas rambutmu.

Tapi sayang di sayang kau dan aku masihlah bocah SMP berseragam putih dan biru belum boleh lebih merasakan rasa kasih dan sayang selayaknya yang di sebut dewasa. Walau hati lita terpaut walau mata kita selalu beradu pandang dengan getaran jiwa melayang-layang.

Tetapi kita masih pelajar belum tepat rasa untuk melayangkan suka. Hanya sekedar mengagumi hanya sekedar rasa suka tak berani mengambil lebih jangankan untuk memetik sekuntum mawar seperti Novita aku hanya memandang masa depan dengan bertumpuk buku waktu itu. Walau selalu bersama hanya sekedar nama tetangga bukan cinta atau kekasih bersua.

Kisah masa Novita ini adalah kisah rasa suka bukan cinta. Rasa suka pertama yang mulai tumbuh menyemai hati di kala masa putih dan biru saat melaju bersama dalam ayunan pedal sepeda. Dan ayunan pagi nyanyian perdu padi di sepanjang pematang dan setapak jalan.