Chereads / CEO Playboy / Chapter 12 - Part 12

Chapter 12 - Part 12

Kanza berjalan setengah berlari, mencoba menghindari Gio yang terus mengejar di belakangnya.

"Kanza...! Kanza...! Tunggu...!" Teriak Gio. Cowok itu belum menyerah, dan akhirnya berhasil menarik lengan Kanza untuk menghentikan langkahnya.

"Mau apa lagi sih, lo?" Sergah Kanza kesal, ia terpaksa berbalik menghadap Gio.

Gio menatap Kanza dalam. "Gue sayang sama Lo, Kanza." ucapnya, menghambur hendak memeluk Kanza, mamun dengan cepat gadis itu menahannya. Ia mencoba mendorong tubuh Gio untuk menjauh, tapi akhirnya cowok itu malah berhasil mendekap tubuhnya dengan erat.

"Gio, ini enggak bener, lo tahu, gue cuma nganggep lo sebagai sahabat. Dan gue enggak suka cara lo mainin perasaan temen-temen gue, Putri dan Fira." Kemarahan Kanza meluap, ia mencoba melepaskan diri, tapi tubuhnya sulit berkutik.

"Ya... Harusnya kalo lo enggak mau gue mainin mereka, lo harusnya terima gue. Gue itu udah nunggu lo dari lama banget, bahkan dari lo sama Dean. Dan asal lo tahu, gue yang bujukin Dean buat selingkuh."

"Apa??!" Mata Kanza sontak melebar, ia tak bisa menyembunyikan rasa keterkejutannya. Di saat yang yang bersamaan, ia mendorong tubuh Gio lagi agar menjauh. Dan kali ini berhasil. "Gue enggak nyangka lo kayak gini, lo itu egois tahu enggak, lo itu sakit." Umpat Kanza dengan tatapan penuh amarah.

"Terserah lo mau ngomong apa, tapi gue enggak rela aja lo deket sama cowok lain. Lo lagi deket sama yang namanya Rega, kan?" Ucap Gio yang lebih terdengar seperti ancaman.

"Lo mau apa? Lo jangan macem-macem." Kanza balik mengancam.

Gio tersenyum sinis. "Kalo lo mau gue enggak macem-macem. Kali ini lo harus turutin kemauan gue." Gio menarik tangan Kanza sekali lagi dan mendekatkan tubuh gadis itu ke arahnya.

Kanza membeku di tempat. Wajahnya berubah bingung dan ketakutan. Gio tak tinggal diam, seolah tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, Gio mendekap tubuh gadis itu sekali lagi. "Gue sayang sama lo Kanza." Bisiknya lembut di telinga Kanza. Sementara tangannya membelai rambut panjang gadis itu dengan sama lembutnya.

Di saat yang bersamaan, dari jarak yang tak terlalu jauh, dua pasang mata tampak menyaksikan pemandangan itu dari balik kaca mobil. Putri menatap tak percaya. Membekap mulutnya sendiri dan menggeleng pelan, seolah ingin mengingkari jika yang di lihatnya bukanlah kenyataan. Hatinya seperti tersayat, sakit tapi tak berdarah, menyaksikan teman yang sangat di percayainya tega melakukan ini semua padanya. Sungguh itu tidak pernah terlintas sedikitpun di benaknya. Seorang Kanza yang polos mampu menusuknya dari belakang.

"Pak... Sebaiknya kita pulang sekarang aja." Kata Putri penuh kekecewaan.

"Tapi--"

"Pak... Tolong, saya pingin pulang sekarang juga!" Potong Putri sambil menatap Rega dengan wajah marah sekaligus sedih.

Rega mengangguk setuju. "Oke..." Ia juga seperti tak punya pilihan lain. Perlahan mulai menyalakan mesin mobilnya kembali dan melesat pergi dari sana.

Rega juga merasa terkejut dengan apa yang baru di saksikannya, tapi ia masih mampu mengendalikan dirinya dan tak seemosional Putri.

Kanza mendorong tubuh Gio sekuat tenaga. "Gue benci sama Lo. Lo sakit." Ucapnya seraya mengusap air matanya. Setelahnya berlari ke seberang jalan.

***

Cahaya matahari menerobos melalui celah pepohonan yang rindang. Kejadian semalam masih menyisakan tandan tanya besar juga luka yang terlanjur menganga di hati Putri.

Putri sedang mencuci gelas di wastafel dengan wajah cemberut saat Kanza menyapanya pagi ini.

"Hei... Pagi."

Tapi gadis itu hanya diam tak menyahut, ia berjalan melewati Kanza begitu saja, seolah tidak ada siapa-siapa di sana.

Kanza menaikkan kedua alisnya bingung, apa mungkin Putri tidak mendengar sapaannya tadi? Pikirnya. Detik berikutnya, Kanza mengikuti langkah Putri sampai ke meja makan.

"Put... Lo lagi kenapa, sih? Gue nyapa di cuekin aja. Lagi PMS lo, ya?" Seloroh Kanza yang merasa aneh dengan perubahan sikap Putri.

Putri tetap memlilih diam. Menarik kursi, duduk dan mulai mengolesi roti dengan margarin.

Kanza menarik nafas berat, mulai tidak sabar. "Put, kalo ada masalah ngomong dong, jangan diem kayak gini?"

Putri menghentikan aktivitasnya. Lalu menatap Kanza dengan sorot mata tajam. "Gue itu males aja, ngomong sama orang munafik kayak lo." Sergahnya kesal. Lalu kembali membuang muka.

"Maksud Lo apa ngomong kayak gitu? Siapa yang munafik?" Emosi Kanza jadi ikut tersulut.

"Oh... Jadi gue perlu jelasin juga? Iya? Lo sadar enggak sih, lo itu serakah, gue enggak nyangka aja. Semua cowok mau lo embat. Parah." Sahut Putri sinis.

Kanza menggeleng tak mengerti. "Put... Pasti lo lagi salah paham. Gue beneran enggak ngerti maksud lo apa."

"Udah deh, enggak usah pura-pura polos. Gue semalem liat dengan mata kepala gue sendiri Lo peluk-pelukan sama Gio. Itu namanya apa kalo bukan serakah? Lo kan tahu gue suka Gio, dan lo juga lagi deket sama pak Rega. Tapi Lo malah kayak gitu di belakang gue. Temen macam apa lo?!" Putri mulai kalap. Ia tak bisa lagi membendung rasa kesalnya yang sudah ia pendam sejak semalam.

"Put... Lo salah paham, okey ... gue bisa jelasin. Gue--"

" Stop! Enggak usah kebanyakan ngeles. Gue juga denger kok waktu Gio bilang sayang sama lo. Tapi caranya enggak gini juga kali. Lo bohongin gue, lo ketemuan diem-diem sama Gio. Lo udah bikin gue kelihatan kayak orang bego tahu enggak?!" Kini mata Putri bahkan sudah mulai berkaca-kaca.

"Sumpah Put... Gue enggak ada maksud kayak gitu." Ucap Kanza penuh penyesalan.

"Cukup Kanz, gue enggak mau denger apa-apa dulu dari lo. Gue mau sendiri dulu." Putri buru-buru berlari ke arah kamarnya. Ia tidak jadi melanjutkan sarapannya.

Putri mulai terisak di balik pintu kamarnya, ia masih tidak menyangka dengan kejadian semalam yang membuat hatinya luka. Kanza menyusul. Ia belum ingin menyerah, di ketuknya pintu kamar Putri berulang kali, berharap gadis itu masih mau mendengar penjelasannya.

"Put... Pliese dengerin penjelasan gue dulu. Lo salah paham sama gue." Teriak Kanza yang mulai frustasi, karena Putri masih mengabaikannya.

"Udah kanz, tinggalin gue sendiri!!" Perintahnya dari balik pintu.

"Put...."

***

Kanza dan Rega membuat janji untuk bertemu di kantor Rega saat jam makan siang. Sekarang mereka sedang berbincang di atap gedung, berdiri bersebelahan menatap ke hamparan luas kota Jakarta yang ada di bawah sana. Cuaca kebetulan sedikit mendung siang itu, jadi mereka tidak perlu merasakan teriknya cahaya matahari.

"Maaf ya, seharian kemarin saya tiba-tiba enggak ada kabar dan enggak angkat telepon maupun bales pesan kamu." Kata Kanza. Ia menatap ke arah Rega dengan tatapan bersalah.

Rega tersenyum. "Iya... Enggak apa-apa, santai aja." Kanza merasa lega dan tersenyum mendengarnya. "Dari tadi kamu kok kelihatan murung gitu. Ada masalah apa? Cerita aja sama aku, siapa tahu aku bisa bantu." Tawar Rega.

Kanza menggeleng pelan. "Sebenernya, saya orang yang enggak suka cerita masalah pribadi saya ke orang lain. Tapi--" Kanza menjeda kalimatnya, menarik napas sejenak. "Tapi... Saya cuma bingung aja sekarang, tiba-tiba Putri marah sama saya dan enggak mau dengerin penjelasan saya."

"Oh... Jadi itu masalahnya, pasti gara-gara semalem." Tebak Rega.

Kanza menatap Rega heran. "Kok kamu tahu?"

"Ya... Karena semalem Putri maksa minta pergi sama aku buat cari kamu, dan dia liat kamu lagi pelukan sama seorang cowok. Dia langsung kelihatan sedih gitu, terus nagajak pulang." Jelas Rega dan kini Kanza paham masalahnya apa.

"Ya... Putri salah paham, aku enggak ada hubungan apa-apa sama Gio. Perasaan aku ke Gio pure cuma sahabatan, enggak lebih."

"Tapi cowok itu suka sama kamu, kan? Terus kamu enggak tega ngomongnya ke Putri. Jelas Putri marah karena kamu udah enggak jujur sama dia. Dimana-mana namanya persahabatan itu harus saling terbuka. Enggak boleh ada yang di tutup-tutupi. Tapi aku percaya sih, Putri lambat laun juga pasti akan paham dan maafin kamu, dia akan tahu kenapa kamu terpaksa negelakuin itu. Sekarang dia cuma lagi sedih aja dan butuh waktu sendiri. Jadi kamu juga harus pahami dia dan enggak harus maksa dia buat dengerin penjelasan kamu. Sabar aja. Serahin semuanya sama waktu. Nanti semuanya juga bakal baik-baik aja kok." Jelas Rega bijaksana.

Kanza menarik sudut bibirnya tersenyum, merasa terkesan. "Ternyata kamu orangnya bijaksana juga, yach?"

Rega turut tersenyum. "Maksudnya apa, nih? Sebelumnya kamu ngira aku orangnya gimana?"

Kanza tak langsung menjawab dan malah terkekeh sendiri. "Enggak... Bukan apa-apa, lupain aja."

"Tuh kan... Kamu orangnya emang suka main rahasia-rahasiaan." Turut terkekeh. "Enggak apa-apa... Bilang aja, menurut kamu aku ini orangnya gimana?" Meski belum menghentikan kekehannya, tapi pertanyaannya terdengar serius.

"Beneran nih enggak apa-apa? Nanti kamu marah lagi." Kanza menatap Rega ragu.

Rega menggeleng tanda tak keberatan.

"Oke... Menurut aku kamu itu orangnya baik, manis, sopan, romantis, tapi--" Kanza sengaja menjeda kalimatnya agar Rega makin penasaran.

"Tapi apa?" Menatap Kanza penuh harap.

"Tapi boong..." Kanza kembali terkekeh geli sendiri.

"Huh... Dasar. Bisa juga ya kamu becanda." Mengacak pucuk kepala Kanza gemas. Mata mereka bertemu dan saling tatap cukup lama, wajah Rega perlahan mendekat, tapi tiba-tiba gerimis turun.

Kanza langsung menengadahkan tangannya ke atas merasakan tetesan-tetesan langit yang berubah semakin besar.

"Hujan..."

Rega sigap melepas jas-nya dan mulai menutupi kepalanya dan kepala Kanza dengan jas tersebut, mereka segera berlari ke arah gazebo yang tak jauh dari sana untuk berteduh.

Bersambung