Chereads / CEO Playboy / Chapter 18 - Part 18

Chapter 18 - Part 18

Kanza dan Fira janjian bertemu di sebuah cafe. Saat itu cuaca sedikit mendung dengan rintik gerimis yang mulai turun. Kanza berlari-lari kecil menghindari gerimis dan segera memasuki cafe yang sudah ada depannya. Tampak Fira sudah menunggunya di salah satu meja.

"Lo yakin mau udahan sama proyek ini?" Ucap Fira setelah Kanza meneguk mocca latte pesanannya. Minumannya sedikit dingin karena Fira telah memesankan untuknya dari beberapa menit yang lalu sebelum ia tiba.

Kanza mengangguk mantap. "Lagian deadline-nya kemarin, dan lo liat kan gue gagal." Kanza tertawa hambar. Ia bahkan tidak mengerti apa yang di inginkan sahabatnya ini.

Fira menatap Kanza penuh arti. Memperhatikan raut gadis itu yang seolah sedang menyembunyikan sesuatu. Firasat sesama perempuan pasti lebih peka. "Lo beneran suka ya sama Rega?" Tanya Fira hati-hati dan itu membuat Kanza terkejut.

"Kok lo ngomongnya gitu?"

"Ya... Gue pingin tau aja. Siapa tau kan--"

Kanza buru-buru memotong kalimat Fira. "Tenang aja kok, gue enggak ada perasaan apa-apa sama Rega. Jadi lo enggak perlu merasa bersalah atau sungkan kalo lo emang mau balikan sama Rega. Gue dukung kok." Memaksa tersenyum, agar Fira mengira dirinya baik-baik saja.

"Lo emang temen yang paling baik Kanza. Lo pengertian. Jujur ternyata gue masih sayang sama Rega, apa lagi, belakangan dia udah mulai berubah, dia enggak ngeladenin cewek-cewek lain lagi." Jelas Fira antusias.

Kanza kembali memaksa menarik sudut-sudut bibirnya untuk tersenyum. "Ya... Baguslah." Menyentuh tangan Fira. Seolah ingin meyakinkan bahwa semuanya baik-baik saja, meski ada sebagian hatinya terasa nyeri dan tidak bisa di jelaskan dengan kata-kata.

***

Baru saja Kanza menginjakkan kakinya di halaman Kos-an. Ia sudah kembali di kejutkan dengan sosok lain yang paling tidak ingin di temuinya lagi.

"Buat apa kamu nyariin saya lagi?"

"Emang enggak boleh, ya? Kalo aku pingin ketemu sama kamu?" Pria itu malah menunjukkan wajah protes. Sikap dominannya tidak pernah berubah.

Kanza menghela napas berat, sekuat apapun ia berusaha mengingkari hatinya, sepertinya itu tidak akan pernah berhasil, tetap saja, ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri jika sebenarnya ia merindukan cowok di hadapannya ini.

"Aku cuma mau ngajak kamu ke bukit waktu itu. Kalo kamu emang enggak mau ketemu aku lagi enggak apa-apa. Tapi tolong, sekali ini aja izinin aku buat ngajak kamu ke sana. Anggap aja ini permintaan aku yang terakhir kalinya. Plies." Rega menangkupkan kedua tangan di depan dada, memohon.

Kanza masih terdiam tak menanggapi, tapi raut wajahnya tampak berpikir. Kenapa cowok ini selalu saja memaksakan kehendak?

***

Mungkin malam ini akan menjadi malam yang sangat panjang. Udara dingin yang menusuk perlahan menembus kulit Kanza yang tak mengenakan sweter. Kini Kanza dan Rega sudah ada di atas bukit dan udaranya terasa lebih dingin dari biasanya. Langit juga tampak mendung, awan hitam samar-samar menghalangi cahaya bulan.

"Sekarang kita lihat yach, love warna apa yang bakalan kita lihat pertama kali." Rega tersenyum antusias. Berdiri tepat di sisi Kanza dengan wajah menghadap gedung yang ada di hadapan mereka.

Kanza menoleh ke arah Rega bingung. "Emangnya penting, yach?" Lalu ikut memandang ke arah gedung dengan tatapan sendu.

"Coba lihat deh, warna yang menyala merah, kamu tahun kan itu artinya apa? Bearti kita emang di takdirin buat saling mencintai." Rega tak menggubris perkataan Kanza, ia malah kembali antusias saat melihat lampu gedung membentuk hati memantulkan warna merah. Ini sungguh di luar dugaannya. Tapi ia bersyukur karena semua berjalan sesuai harapannya.

Sebaliknya, Kanza justru menatap Rega dengan sorot marah. "Ini konyol tahu enggak, apa gini cara kamu buat dapetin hati cewek-cewek, terus udahannya kamu sakitin?" Sergahnya kesal.

Rega kebingungan melihat reaksi Kanza. "Hei... Kamu ngomong apa?"

"Kamu enggak boleh terus-terusan kayak gini, mainin perasaan cewek, kalo kamu udah komit sama satu cewek, ya kamu harus jaga dia, kamu harus setia sama dia, kamu harus sayangin dia setulus hati kamu, jangan kayak gini. Saya enggak mau lihat kamu nyakitin Fira lagi." Kanza menjadi emosional dan menangis.

Melihat itu, Rega segera menarik tubuh Kanza ke dekapannya, "tapi aku sayang kamu Kanza."

Kanza mencoba berontak. "Lepas, lepasin saya." Memukuli dada Rega, tapi sekuat apapun ia berusaha, cowok itu justru msemakin mengeratkan pelukannya. Seolah-olah tidak ingin melepaskannya selamanya, ini gila! "Kamu enggak boleh kayak gini, kamu harus setia sama Fira. Kamu harus lupain saya!" Sekali Kanza mencoba melepaskan diri dan kali ini berhasil, entah apa yang membuat Rega mau melemahkan dekapannya, sehingga ia bisa dengan mudah meloloskan diri. Apa ini semua karena ucapannya?

Rega menatap Kanza lekat-lekat dengan tatapan tak percaya. "Sekarang ngomong jujur sama aku, kamu sayang sama aku enggak?" Ia hanya ingin memastikan perasaan gadis itu terhadapnya.

Kanza terdiam, bingung menjawab.

"Kamu sayang sama aku juga, kan?" Desak Rega sekali lagi.

Kanza tetap diam tak menjawab, bayangan Fira tiba-tiba muncul di benaknya, ia juga teringat akan percakapannya dengan Fira tadi siang. Gadis itu mengatakan jika dirinya masih menyayangi Rega.

Kanza memberanikan diri balik menatap Rega. "Enggak... Saya enggak pernah cinta sama kamu. Ngerti." Ia tahu itu bukanlah perkataan yang benar-benar keluar dari dalam hatinya. Tapi dia harus melakukannya. Meski ini pahit, tapi menurutnya ini adalah yang terbaik. Ia tidak ingin di hantui rasa bersalah dan tidak ingin persahabatannya dengan Fira hancur begitu saja.

Rega kembali menatap tak percaya. "Kamu pasti bohong, kan?" Suaranya lirih, bibirnya bergetar. Tapi ia tak bisa berbuat banyak.

"Selama ini aku belum pernah nemuin sosok perempuan yang bisa bikin aku merasa bahwa sosok inilah orang yang tepat. Kamu unik, kamu berbeda, meski kenyataannya semua itu mungkin cuma pura-pura. Kamu cuma pingin dapetin hati aku, setelahnya kamu hempaskan. Begitu, kan? Aku udah tau semuanya sejak awal." Rega tersenyum kecut di antara kedua matanya yang terlihat sendu. "Selamat... Kamu berhasil."

Kanza mendongak, ekspresinya jelas terkejut, tapi detik berikutnya kembali menundukkan wajahnya dalam. Darimana cowok ini tahu semuanya? Benaknya bertanya, tapi ia memilih diam.

***

Kanza dan Rega sudah ada di dalam mobil yang melaju menuju pulang. Hening, keduanya seolah larut dalam pikiran masing-masing.

Wajah Rega terlihat datar menatap lurus ke depan jalanan.

Sedangkan Kanza menatap pemandangan luar dengan pikiran menerawang.

"Enggak, itu enggak sepenuhnya bener. Mungkin awalnya aku memang pura-pura. Tapi kenyataannya hati aku juga mulai jatuh ke kamu. Tapi aku enggak mungkin menghancurkan hati sahabat aku demi memenuhi ego aku buat milikin kamu sepenuhnya. Jadi... lebih baik seperti ini, kamu enggak perlu tahu apa-apa tentang perasaan aku ke kamu yang sebenernya." Gumam Kanza dalam hati.

***

Kanza duduk di salah satu cafe pinggir jalan. Di temani secangkir kopi dan laptop yang terbuka, ia sedang menscroll sosial medianya di benda tersebut.

Ia mendapati foto Fira dan Rega yang tampak tersenyum bahagia. Tertera tanggalnya baru di posting seminggu yang lalu. Kanza menarik nafas seraya memaksa tersenyum. Tak lama terdengar ponselnya bergetar.

Derrtt... Derrtt... Derrtt...

Perhatiannya pun seketika teralih pada benda pipih berukuran tak lebih dari 7cm yang tergeletak di sebelah laptop.

Terpampang nama Fira di layar sedang melakukan panggilan video call. Perlahan kanza menggeser tombol hijau. Dan wajah gadis itu langsung muncul di layar.

"Kanza, gimana kabar Lo di Jogja? Baik, kan?" Sapa Fira dengan ceria.

Kanza mengangguk seraya tersenyum. "Baik... baik, kok. Lo sendiri gimana kabarnya?"

"Gue juga baik, Rega juga baik." Jelas Fira antusias.

"Syukurlah..." Menarik sudut bibirnya tersenyum.

"Minggu depan gue ada rencana meeting sama client di Jogja, kita ketemuan, yuk?"

"Boleh... Boleh... Gue kangen sama lo."

"Sama, gue juga kangen banget sama lo, nanti kita sekalian jalan-jalan sambil temenin gue nyari sofenir buat acara tunangan gue nanti. Di Jogja kan bagus-bagus tuh, mau yach?

"Oke..." Kanza mengacungkan satu jempolnya ke layar tanda setuju.

"Yaudah... Sampai ketemu disana minggu depan Yach?... Bye...."

"Bye...."

Percakapan selesai. Kanza menghembuskan napas berat, setelah satu tahun berlalu, ia pikir semua akan baik-baik saja, tapi nyatanya, perasaannya masih sama, Nyeri. Ia kemudian memegang sebelah dadanya untuk meredakan gejolak hatinya yang tidak bisa di tahan, ia sedang ada di tempat umum dan ia tidak ingin menangis sekarang.

"Baguslah, akhirnya mereka udah mau tunangan sekarang." Gumamnya pada diri sendiri sembari membuang napas kuat-kuat, kemudian memaksa tersenyum, dan itu terlihat menyedihkan.

Bersambung