Kanza sedang duduk di depan tivi yang menyala. Mendengar siaran berita di salah satu salurannya.
"Akhirnya, dalang dari menghilangnya seorang wanita cantik beberapa hari yang lalu, telah berhasil di ringkus oleh polisi. Pria berinisia AN, 25 tahun berhasil di amankan di kediamannya saat hendak melarikan diri." Suara Pembawa berita di tv.
Di layar tivi tampak pelaku yang ternyata bukan Gio.
Putri datang menghampiri Kanza dan turut duduk di sofa. Gadis itu masih mengenakan pakaian santai.
"Kita nanti jadi jengukin, Gio, kan?"
"Jadi dong, lo ikut, kan?" Kanza menoleh ke arah Putri. "Lo tumben belum rapih, enggak ke kantor?" Lanjut bertanya.
Putri tersenyum. "Iya, gue ikut, gue juga mau liat keadaan dia." Tersenyum lembut, tapi sedetik kemudian wajahnya berubah murung. "Gue ... sengaja cuti hari ini, karena gue masih syok aja soal kejadian kemarin."
Kanza mengangguk-anggukan kepalanya. "Tapi lo enggak dendam kan sama Gio?" Ucap Kanza ragu.
Putri menggeleng seraya tersenyum. Kanza turut tersenyum dan mengelus pundak Putri pelan. "Btw... Gimana misi lo nahlukkin pak Rega? Lo enggak jatuh cinta beneran kan sama tuh orang?" Lanjutnya menyelidik. Mencoba mengalihkan topik pembicaraan.
Kanza menghela nafas pasrah. "Enggak lah, mana mungkin gue jatuh cinta beneran sama orang yang masih cinta sama orang lain..."
Putri menatap bingung. "Maksudnya?"
"Ya... Gue ngerasa aja kalo Rega sama Fira masih saling cinta. Jadi gue berencana setelah nanti sepulang jenguk Gio, gue mau ke kantor Fira, gue mau bilang ke dia, kalo gue nyerah, gue enggak mau terusin lagi projek ini. Dan hari ini deadline'nya. Gue rasa gue emang ... gagal." Kanza tersenyum kecut.
"Lo enggak mau perjuangin pak Rega ... gitu?"
Kanza terhenyak, kaget mendapati pertanyaan Putri. Kemudian pura-pura terkekeh. "Buat apa gue perjuangin cowok. Lo tahu sendiri kan, gue itu ego maniak, gue enggak mau cinta sama orang lain melebihi diri gue sendiri." Padahal dadanya terasa sesak saat mengatakannya. Hatinya sedih.
"Lo yakin?" Putri menatap penuh perhatian.
Kanza mengangguk kuat-kuat. Sekuat itu pula ia menahan air matanya agar tidak tumpah.
Putri tersenyum tipis. "Selama ini, lo udah terlalu keras sama diri lo sendiri, Kanza, sampai-sampai lo enggak peka, ada hati yang pingin singgah juga di hati lo. Bahkan, gue ngerasa iri, saat Gio segitu Ego-nya sayang sama lo mati-matian." Putri kembali tersenyum seolah mengejek dirinya sendiri.
Kanza menatap Putri dengan perasaan bersalah. "Gue...."
Putri memotong kalimat Kanza dengan menggeleng dan menyentuh tangan Kanza. "Tapi bukan itu intinya, ya... Mungkin sama Gio lo enggak ada rasa. Tapi gue bisa lihat, cara lo natap mata pak Rega, itu beda. Gue yakin lo ada rasa sama dia. Lo enggak boleh nahan perasaan lo sendiri buat jatuh cinta, Kanza." Menatap Kanza dengan seksama.
"Jadi menurut lo gue harus bertindak egois kayak Gio, yang nggak perlu mikirin perasaan orang lain dan hanya pingin menangin ego gue sendiri aja gitu?" Khanza mulai sedikit emosional.
"Ya... Ya... Enggak gitu juga... Tapi...." Kalimat Putri terhenti, seolah sulit menemukan kalimat yang tepat untuk menjelaskan maksud ucapannya.
"Udahlah Put, gue enggak mau memupuk harapan sama orang yang hatinya jelas-jelas bukan buat gue. Gue enggak mau main hati lagi, makanya gue mau berhenti dari proyek ini. Misi gue sekarang adalah, gimana caranya gue bisa bikin Rega balikan sama Fira. Walaupun itu bertentangan dengan Ego gue sendiri." Tenggorokan Kanza seolah tercekat setelah menyelesaikan kalimatnya, kalimat yang sebelumnya tidak pernah terlintas di benaknya.
Putri menatap Kanza, mengangguk-anggukkan kepalanya sendiri mencoba memahami, sekaligus bisa merasakan kesedihan yang coba Kanza tutupi darinya. "Sabar ya, Kanza." Putri menarik Kanza ke dalam pelukannya.
Mereka berdua berpelukan. Putri mengusap punggung Kanza menguatkan.
Beberapa kilasan kejadian membayang di kepala Kanza.
Kilasan kejadian saat di kantor Rega, pria itu masih memajang foto kebersamaannya bersama Fira.
Kemudian kilasan kejadian saat Rega panik ketika Fira menelponnya.
Terakhir kilasan kejadian saat di kantor Fira, wanita itu menjadikan fotonya bersama Rega wallpaper di layar laptopnya.
"Gue harus bisa bikin mereka bersatu kembali, harus." Ujar Kanza dalam hati. Seolah memberi keyakinan pada dirinya sendiri.
***
RUMAH SAKIT JIWA
Kanza dan Putri sedang ada di sebuah ruangan tunggu. Menunggu seseorang yang kini sedang berjalan ke arah mereka.
Andai saja dunia ini enggak ada Ego, pasti semua perasaan bisa di sampaikan dengan mudah tanpa kata tapi. Enggak ada yang perlu menahan perasaan mati-matian demi menjaga sebuah hati yang lainnya. Dan enggak perlu ada yang tersakiti juga susah payah menyembuhkan luka, ketika perasaan itu enggak terbalas. Kanza menghela napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Berharap semua akan kembali baik-baik saja seperti semula.
Gio melangkah dengan di tuntun petugas rumah sakit menuju ruang tunggu. Sesampainya di sana, ia berusaha mengulas senyum pada Kanza dan Putri.
Putri ingat dengan kejadian yang baru beberapa hari menimpanya. Tapi ia memutuskan untuk memaafkan Gio dan berusaha memakluminya.
Kemarin Putri selamat dari cengkraman Gio, dan kenapa Gio sekarang ada di rumah sakit jiwa dan bukan di kantor polisi?
Saat itu, beberapa polisi datang dan mendobrak pintu apartement Gio dengan paksa. Dan Putri berhasil di selamatkan. Namun ternyata keadaan Gio malah sedang pingsan. Putri sebelumnya sempat memukul kepala belakang Gio dengan spatula hingga membuatnya tak sadarkan diri.
Polisi menggeledah isi apartement Gio untuk mencari bukti lain. Karena Gio sempat di curigai sebagai dalang menghilangnya seorang wanita cantik beberapa hari yang lalu. Namun yang di temukan hanyalah potongan tangan yang ternyata hanya sebuah manekin.
Tak lama seorang wanita mengaku sebagai pskiater yang biasa menangani Gio datang. Lalu menjelaskan keadaan Gio pada polisi, Kanza, Putri dan Rega.
"Mas Gio adalah pasien saya beberapa tahun ini, dan beberapa bulan terakhir skinzofrenia yang di deritanya kembali parah." Kanza dan Putri sontak menutup mulut mereka sendiri dan mata mereka terlihat syok. "Dia jadi lebih sering mengalami halunasi bahkan delusi. Kadang dia tidak ingat apa yang baru saja dia lakukan, kondisinya seperti meningkat menjadi seperti kepribadian ganda. Tapi saya bisa jamin, dia belum pernah membunuh orang sekalipun. Meskipun kadang ia berlagak seperti pshycopat. Contohnya potongan tangan menekin ini." Sang psikiater mengangkat tinggi-tinggi benda tersebut.
"Ini hanya teman imajinasinya saja." Dia tersenyum. "Kalo bapak-bapak polisi masih belum percaya dengan alibi saya, boleh ke kantor saya, agar bisa melihat benda-benda lain yang biasa di gunakan oleh pasien saya untuk berimajinasi." Jelasnya sembari tersenyum tenang.
Putri merasa lega dengan kenyataan yang di ceritakan sang psikiater, dan itulah sebabnya ia memilih untuk tidak membenci Gio, justru sebaliknya, ia ingin jadi teman Gio dan bisa mengobati luka batinnya.
"Aku mau nelpon sebentar, ya. Kalian ngobrol aja." Kanza segera beranjak, sengaja menghindar untuk membiarkan putri dan Gio bicara empat mata. Suasana pun berubah canggung dan hening.
"Makasih yach, lo masih mau baik sama gue, masih mau peduli sama gue, padahal gue cuma cowok sakit jiwa." Ujar Gio memecah keheningan.
"Ssttt nggak boleh ngomong gitu. Gue masih mau kok temenan sama lo." Sahut Putri.
"Tapi gue kan udah buat salah sama lo. Dan--"
Putri buru-buru meraih tangan Gio di atas meja seraya menggeleng. "Gue udah lupain kok." Ujar Putri sembari tersenyum lembut. "Lagian gue udah tahu kondisi lo yang sebenernya, lo kadang bukan jadi diri lo sendiri. Dan gue, mau kok jadi temen lo, sampai lo bisa lewatin ini semua dan lo bisa normal lagi. Lo bisa percaya sama gue." Lanjut Putri penuh keyakinan. Ia ingin Gio benar-benar bisa merasakan ketulusannya.
Gio balas menatap Putri dalam. "Makasih, ya?"
"Yaudah... Sekarang lo makan, ya." Putri tersenyum dan mulai membuka kotak makan yang sudah di bawanya dari rumah. "Gue suapin." Lanjutnya menyendok nasi dan menyuapkannya. Gio menurut dan membuka mulutnya.
Dari kejauhan Kanza melihat pemandangan itu lalu tersenyum.
Bersambung