Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

KAPAN KITA MENIKAH?

LangitBiru127
--
chs / week
--
NOT RATINGS
11.1k
Views
Synopsis
"Kapan kita menikah?" Tiga kalimat sederhana yang sering ditanyakan oleh Nisya, perempuan berparas manis, yang ambis dan easy going. Pertanyaan yang tidak pernah bisa dijawab oleh sang kekasih, Rivano Meghantara, si duda tampan yang hobby ghosting perasaan orang. Pacaran sudah bertahun-tahun. Cocok sudah pasti. Tapi duda tampan itu, tidak pernah memberikan kejelasan mengenai hubungan mereka. Bahkan, Nisya sudah begitu akrab dengan 'anak' Rivano. Tapi— hubungan mereka belum juga ada kejelasan. Hingga suatu hari, munculah seorang pria lain yang tak tampan bernama Marvin Axelle Sadewa. Yang terang-terangan mengaku, kalau suka pada Nisya. "Sampai kapan kita seperti ini terus? Apa aku harus selingkuh dulu sampai kamu mau menikahiku?" — Nisya "Bukannya aku tidak mau kita segera menikah, tapi—" Rivano "Selama janur kuning belum melengkung. Berarti ada banyak kesempatan untuk menikung." — Marvin
VIEW MORE

Chapter 1 - AWAL SEMUA TRAGEDI

Jika kau bertanya, kapan hari paling buruk untuk seorang Cheryl Lesham Rosaline. Maka jawabannya adalah hari ini. Atau lebih tepatnya malam ini.

Gadis bertubuh ramping berkulit seputih susu itu sendiri masih tidak mempercayai, jika hal 'itu' akan menimpa dirinya, dan juga seluruh anggota keluarganya. Bahkan dalam mimpi pun, dia sama sekali tidak pernah membayangkan hal ini akan terjadi kepadanya.

Malam itu, 23 Oktober. Tepat pukul satu dinihari, ia tiba-tiba terbangun dari tidurnya karena terusik oleh suara gaduh dari lantai bawah. Dengan wajah bingung dan penasaran, pemudi 17 tahun yang beberapa bulan lagi akan menyelesaikan masa sekolahnya ini, turun dari ranjang menuju ke sumber suara tadi datang.

Gelap. Ruangan di lantai dasar rumahnya ini hampir tak dapat dia amati, jika saja tidak ada sinar bulan purnama yang melusup masuk melalui jendela kaca. Dengan kedua bola matanya yang senada dengan langit malam, dia dapat melihat begitu kacaunya ruangan di lantai bawah. Banyak barang berjatuhan, perabotan yang berserakan, bahkan ia hampir menginjak pecahan guci koleksi sang ayah ketika sampai di bawah.

"Ayah! Ibu!" Dengan nada khawatir, ia mencoba memanggil kedua orang tuanya. Langkah kakinya yang sedikit gemetar ia ayunkan menuju kamar milik ayah dan ibunya. "Ayah... Ib—"

PRAANG

Ceryl yang hendak mengetuk pintu mahoni di depannya, langsung berjengit. Terlalu kaget dengan suara benda terjatuh di dalam kamar orang tuanya. "Ayah! Ibu! Ada apa?!" tanyanya, dengan nada yang terdengar panik.

"Pergi! Pergi dari sini Ceryl! Cepat tinggalkan rumah ini bersama kakakmu!"

Gadis berpiyama biru muda itu makin bingung dengan kondisi kedua orang tuanya. Apalagi perintah sang ayah yang menyuruhnya segera pergi, membuatnya khawatir sekaligus takut.

Tangan putihnya terangkat, hendak menyentuh gagang pintu di depannya, sebelum suara tembakan disusul jeritan pilu sang ibu menggema di telinganya. Mata gadis berpupil gelap itu, tiba-tiba terasa panas, tenggorokannya juga menjadi kering. Ia ingin sekali masuk ke dalam dan melihat apa yang sedang terjadi di dalam, tapi kedua kakinya seolah membatu saat ini. Begitu sulit untuk bergerak barang seinci pun.

DOR

Suara tembakan lain kembali terdengar, bersamaan dengan jeritan kesakitan sang ibu yang tak lama kemudian menjadi keheningan. Yah, hening. Suasana di dalam kamar itu mendadak menjadi begitu sunyi.

"Ayah... Ibu..." Airmatanya tumpah seketika, menyadari jika kini ia telah menjadi yatim piatu, bahkan tanpa harus memastikannya lebih dahulu. Karena tak perlu otak jenius ataupun intuisi sebagai peramal, untuk menebak apa yang telah terjadi di dalam sana.

Ceryl hampir terjatuh karena terlalu terkejut dengan peristiwa yang menimpanya beberapa menit yang lalu. Namun dada bidang sang kakak dengan sigap menopang berat badannya.

"Ka-kak..." Perempuan berparas cantik itu menatap sendu ke arah saudara lelakinya, seolah ingin menyampaikan segala kesedihan yang ia rasakan lewat kedua mata hitamnya.

Sang Kakak, Matteo Meghantara balik memandangnya dengan wajah yang sama, namun sedikit lebih tegar. Yah, pemuda berambut hitam itu sadar betul, jika sekarang bukan saatnya untuk menangis. Mereka berdua harus melarikan diri.

"Tenangkan dirimu Ceryl! Karena kita harus pergi dari si—" Belum selesai Matteo menyelesaikan kalimatnya, ia merasakan punggungnya dihantam oleh sesuatu yang cukup keras hingga membuatnya tersungkur.

"KAKAK!!" Kedua bola mata Ceryl membola sempurna, saat melihat kakaknya jatuh ke lantai dengan wajah kesakitan. Gadis berwajah rupawan tersebut baru saja ingin menolong saudara kandungnya itu ketika dengan tiba-tiba, lengan kanannya ditahan oleh seseorang.

Dia memalingkan wajahnya, menatap murka dan penuh amarah pada sosok pria bertubuh tinggi dengan wajah sangar di depannya. Bahkan Ceryl harus mendongak untuk melihat wajah pria bermata gelap tersebut.

"Lepaskan aku!" desis Ceryl penuh ancaman. Dia berusaha untuk tidak gentar dihadapan para pembunuh orang tuanya. "Lepaskan aku, brengsek!!" ulangnya lebih keras, walaupun rontaan dan teriakannya justru ditertawakan oleh para penjahat itu.

"Jangan sakiti dia! Bi-biarkan adikku per—ugghh..." Matteo yang masih terkapar di lantai harus kembali merasakan sakit, saat perutnya ditendang dan diinjak oleh dua pria lain yang berbadan tinggi. Bahkan pemuda itu sampai terbatuk darah saat para penjahat tersebut menghajar area perut dan juga dadanya.

"Kakak!!" Lagi-lagi, tak tega melihat kondisi sang kakak, Ceryl kembali berusaha melepaskan tangannya dari cengkraman pria bermata tajam itu. Namun berulang kali pula, usaha yang dilakukannya sia-sia.

"Ceryl!" Dengan napas terputus, sulung di keluarga Meghantara itu mencoba memanggil sang adik. "Tetaplah hidup— Ce- Ceryl! Jangan— sampai kau... kau kalah..." ucapnya lemah, pandangannya makin memburam dan sekujur tubuhnya sakit, karena terus dihantam oleh tendangan yang kini juga ditambah tinjuan. Pria tampan yang kini babak belur itu merasa, malaikat pencabut nyawa sudah ada di pelupuk matanya saat ini.

"Kakak—" Airmata gadis berpiyama biru itu kembali jatuh, tidak tega melihat sang kakak meregang nyawa di depan mata kepalanya sendiri. Dan sialnya, ia bahkan tidak mampu berbuat apa-apa melihat kakaknya dianiaya sampai sekarat.

"Jangan tinggalkan aku, Kak! Aku tidak ingin sendiri! Kumohon kuatkan dirimu!"

"Maaf Ceryl... Maafkan kakak yang tidak dapat melindungimu." Kedua bola mata itu perlahan mulai terpejam. Memberi isyarat jika nyawanya kini benar telah terpisah dari raga.

Melihat hal tersebut, Ceryl tentu saja langsung berteriak histeris. Meraung sambil memanggil nama kakak lelakinya. Berharap pemuda itu bangun dan membuka matanya.

"Kakak bangun! Kakak... Tidaaaak..."

***

"TIDAAAAAKKK!!!"

Perempuan cantik itu terhentak sadar dengan nafas yang memburu, rekaman kejadian tentang kematian kakak lelakinya, membuat Ceryl dibanjiri ketakutan. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya.

'Maaf Ceryl— Maafkan kakak yang tidak dapat melindungimu...'

Airmatanya mendadak meleleh keluar tanpa komando, saat suara tercekat Matteo yang tengah meminta maaf kembali teringat olehnya. Hati gadis bermata gelap itu, hancur saat ini juga, mengingat statusnya yang kini sebatang kara.

Cukup lama dia menangis seperti itu, merutukki nasib buruk yang memimpa keluarganya. Namun saat ia hendak menghapus airmata di pipinya, ia dibuat tersentak kaget saat menyadari, jika kedua tangannya sedang diikat dengan solid menggunakan borgol, yang terhubung dengan rantai panjang yang terpasang di kanan dan kiri kaki ranjang.

'Ya Tuhan, aku baru sadar jika aku masih berada di tangan para penjahat keparat itu.'

Crinng Crinng

Bunyi berisik dari rantai yang membelenggunya, mengusik sosok pria bermata tajam dengan kulit gelap yang berada tidak jauh dari tempat Ceryl berada. Salah satu penjahat yang memiliki postur tubuh tinggi besar, dan sorot mata menusuk.

"Hoi!! Ternyata kau sudah bangun ya?"

Dengan was-was, Ceryl mengamati sosok pelaku pembunu keluarganya, yang baru saja beranjak dari sofa biru yang ia tempati. Gadis cantik itu memasang wajah segarang mungkin untuk menakutinya. Namun kekehan pria itu membuat Ceryl sadar, jika bocah sepertinya, takkan mungkin membuatnya gentar.

"Lepaskan aku, brengsek?? Sebenarnya apa mau kalian? Kenapa kalian membunuh keluargaku?" Akhirnya gadis itu memberanikan diri untuk bertanya demikian. Dia butuh alasan mengapa mereka tega menghabisi nyawa anggota keluarganya. Setidaknya, dia bisa mati dengan tenang jika nanti mereka membunuhku juga.

"Entahlah, kami hanya diperintah."

***