Cheryl menatap ketiga lelaki bertubuh gempal itu dengan pongah. "Kenapa kau bertanya begitu? Sudah kubilangkan jika— argghh..." Perempuan cantik itu merintih kesakitan saat pria berambut pomade di depannya makin memperdalam pisau yang tertancap di perutnya. Hingga darah mengalir semakin deras hingga tubuh gadis cantik itu makin melemas.
"Itu maumu 'kan? Rasakan itu bodoh!" Pria bersurai gelap itu merasa puas melihat sang Rosaline sekarat di depannya. Namun si pemilik pisau menghentikannya dan mengajak kedua rekannya pergi.
"Hentikan itu!"
"Kenapa? Aku masih ingin menghabisi gadis ini?"
"Bairkan saja dia di sini. Toh sebentar lagi dia juga akan tewas."
Meski pria yang pertama, merasa belum puas karena korban terakhir masih mampu bernafas, mau tak mau dia mengikuti perintah teman-temannya. Meninggalkan Cheryl yang tengah meregang nyawa di atas ranjang miliknya.
*
*
*
*
Malam semakin larut, udara dingin makin menusuk pori-pori kulit. Bulan purnama masih bersinar indah di atas langit tanpa bintang. Dan bahkan, sinar keemasannya mampu menembus kamar tidur seorang gadis yang tergolek tak berdaya di atas ranjangnya yang penuh noda darah.
Cheryl Lesham Rosaline. Remaja 17 tahun itu masih bertahan ditempat yang sama sejak para pembunuh keluarganya pergi. Nafasnya semakin melemah, kondisi fisiknya begitu menyedihkan. Lebam menghiasi beberapa anggota tubuhnya, bibirnya bengkak dan sedikit mengeluarkan darah.
"Ayah... Ibu... Kakak..." Dalam kondisi setengah sadar, gadis yang nyaris telanjang itu memanggil seluruh anggota keluarganya. Matanya yang terpejam masih sempat meneteskan air mata.
"Tunggu aku! Jangan tinggalkan aku sendirian..." Tangan kurusnya terangkat perlahan, seakan ingin meraih keluarga kecilnya yang perlahan menjauh dari hadapannya.
"Bawa.. Bawa aku bersama kalian!" ucapnya nyaris seperti bisikan. "Jangan tinggalkan aku sendirian..."
Grep
Antara sadar dan tidak, lagi-lagi remaja bersurai raven itu merasa, jika seseorang tengah meraih tangannya dan menggenggamnya dengan erat namun penuh kelembutan.
"Hey, kau kenapa? Apa yang terjadi padamu?"
Cheryl ingin sekali menggerakan lidahnya yang mendadak kelu, hanya untuk menjawab pertanyaan orang itu. Tapi, jangankan untuk berbicara membuka mata saja sudah sangat membuatnya lelah.
"Hey, sadarlah! Hey..."
Suara serak seorang pria yang Cheryl dengar, kini perlahan mulai menghilang. Kesadaran sosok cantik bertubuh langsing itu pun kian menipis, hingga akhirnya pingsan.
"Hey.. Bangunlah!! Aisshh..." Lelaki bermata safir berambut pirang itu menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Ia bingung harus melakukan apa dengan gadis sekarat di depannya ini.
Lelaki bertubuh atletis dengan jubah hitam di belakang tubuhnya itu, merutuki insting alaminya, yang membuatnya berada di sini karena mencium wangi darah manusia yang begitu menggoda. Tapi sisi lain dihatinya merasa tak tega melihat gadis secantik ini, sedang meregang nyawa di depan matanya, dengan wajah berurai air mata pula.
"Sial! Aku harus apa?" Ia memukul-mukul kepalanya dengan panik. Ia seorang vampire. Vampire yang sejati harusnya merasa senang melihat mangsa tak berdaya berada di depan matanya. Dia tinggal mendekat dan meminum darahnya hingga mempermudah lelaki itu dalam menjemput ajalnya. Tapi—
"Akh....Sudahlah, toh dia tidak akan bertahan lebih lama." Vampire tampan itu menarik piyama Cheryl dan membawanya dalam pelukannya. Aroma anyir darah sang Risaline, justru membuat jantungnya berdegup aneh, padahal dia tidak memiliki jantung.
Dia memejamkan mata, menghirup aroma darah yang makin membuatnya lapar. Dan ketika kedua kelopak matanya terbuka, iris safirnya yang indah sudah berganti menjadi semerah darah, lengkap dengan dua gigi taring yang siap menembus urat leher Cheryl yang terekpos di depannya. Wangi aroma tubuh gadis berkulit seputih susu ini, sukses membuat lelaki yang tak jelas asalnya itu semakin kelaparan.
Dan
Kreesshh
Bersamaan dengan menancapnya dua taring miliknya, terdengarlah pekikan nyaring yang seolah memecahkan keheningan malam.
Yah, pria itu telah berhasil mengoyak perpotongan leher sang Meghantara terakhir, dan mulai menghisap darah milik Cheryl teguk demi teguk.
"A— apa yang kau lakukan?"
Tristhan— nama si lelaki pirang itu menyeringai dibalik perpotongan leher Cheryl, dia senang karena gadis manis yang nyaris mati itu, akhirnya sadar dan mulai bicara.
"Menolongmu, memang apalagi?" Dengan kedua kepingan rubinya yang perlahan kembali menjadi safir, Tristhan memandang Cheryl yang sedang mencengkram lehernya, tepat di mana vampire pirang itu menancapkan taringnya.
"Kau— Vampire?" gumam gadis itu lemah. Mata hitamnya mengamati sosok di depannya dengan perasaan tak percaya. "Bagaimana mungkin?"
Tristhan hanya tersenyum, dia sedikit lega karena dia bisa menyelamatkan nyawa satu orang yang hampir mati di depannya. Tapi dia juga sedikit menyesal karena telah merubah gadis berkulit pucat itu menjadi seorang Hybrida.
Yah, Hybrida vampire level D yang hanya akan hidup bergantung pada tuannya. Vampire yang telah memberikan gigitan dan merubah seorang Hybrida sebagai vampire.
Vampire blonde itu tersenyum kecut, agak menyesal mengapa dia telah membuat wanita ini menjadi vampire level D yang jelas-jelas akan merepotkannya. Tapi, Yah... Dia tidak mau ambil pusing.
"Hey, namamu siapa?" Tristhan menatap ke arah Cheryl yang tiba-tiba merasa gelisah, padahal beberapa detik yang laku setelah dia merubahnya menjadi Hybrida, bungsu Meghantara ini nampak baik-baik saja.
Cheryl meremas bahunya, perih dan panas seakan mengalir bersamaan dengan aliran darahnya. Tubuhnya mendadak sangat aneh, lemas dan letih. "A-ada apa denganku?" desisnya lirih.
Tristhan menarik sudut bibirnya, "Sepertinya, efeknya mulai terjadi," bisik vampire tampan itu saat melihat Cheryl mulai menggeliat liar di atas ranjangnya yang berlumuran darah. Nafas Cheryl terdengar memburu, dengan kedua tangan kurusnya terus menggosok sekujur tubuhnya, seakan ingin menghapus rasa panas yang membuatnya gerah.
"Tu--tubuhku kenapa? Haahh..." Iris hitamnya menatap ke arah Tristhan, meminta penjelasan. Dia sangat tersiksa dengan gejolak aneh pada dirinya.
"Itu reaksi normal seorang Hybrida, dan untuk menghilangkannya, kau harus menghisap darahku." Pria tampan itu mendekati Cheryl sambil meraih pipi tembem perempuan di depannya. Bola matanya yang sejernih langit biru menatap lekat-lekat iris obsidian wanita yang nampak bergerak ke sana ke mari dengan tidak fokus.
"Kenapa, kau— merubahku menjadi sepertimu? Kenapa kau tidak menghabisiku saja?" Cheryl meremas bagian depan pakaian vampire berambut pirang tersebut dengan erat, meski setengah mendesah, ada banyak rasa kesal dari nada bicara pemudi yang nyaris menjadi korban perkosaan itu.
Tristhan menyingkirkan anak rambut yang menutupi paras manis gadis 17 tahun itu, sementara bibirnya masih terus menyunggingkan seringai yang terlihat misterius. "Mana bisa aku membiarkanmu mati, aku orangnya tidak tegaan lho," balasnya setengah bercanda, membuat perempuan yang kini menjadi sebatang kara itu, semakin kesal saja.
"Bre--brengsek... Ughh--akh..." Cheryl menjauhkan tubuhnya dari vampire blonde berwajah tampan nan karismatik itu. Dia merangkak turun dari ranjangnya dengan susah payah, karena rasa sakit dan panas di sekujur tubuhnya membuatnya tersiksa. Dia harus pergi, hanya itulah yang ingin Cheryl lakukan saat ini.
"Kau mau ke mana?" tanya Tristhan saat melihat sang Rosaline yang berjalan dengan sempoyongan itu hendak menuju ke arah pintu. "Kau merasa haus dan tersiksa bukan Sini! Mendekatlah! Minum darahku agar kau akan merasa lebih baik!"