Tidak. Itu bukanlah suara pria bermata tajam itu, melainkan rekannya yang lain, yang baru saja masuk ke dalam kamar milik Ceryl. Yah, setelah diamati ternyata perempuan cantik berusia 17 tahun tersebut, sedang berada di dalam kamar miliknya sendiri. Tergeletak di atas ranjang dengan posisi tubuh tak aman.
"Kami bertiga hanya diperintah untuk membunuh semua anggota Meghantara," lanjut pria berambut pomade itu sambil menyeringai. Ceryl dapat melihat tatapan matanya tak pernah lepas dari tubuh perempuan cantik itu.
"Siapa? Siapa yang menyuruh kalian? Siapa dalang dari semua kejahatan kalian?" pekik Ceryl dengan emosinya. Darahnya seseketika mendidih saat mengetahui fakta yang sebenarnya.
Akan tetapi—
Perempuan itu nyaris lupa caranya bernafas, ketika seseorang berbisik di samping cuping telinganya, bahkan dengan jarak yang amat sangat dekat. "Samuel Meghantara. Dia yang memerintahkan kami?" jawab penjahat berwajah sangar lainnya.
Ceryl mengernyitkan kedua alisnya, mencoba mengingat-ingat siapa sosok Samuel yang mereka maksud. Tapi sentuhan tangan pria di di samping sang Rosaline, sukses membuat konsentrasi gadis bertubuh ramping itu, terbagi.
"A— apa yang kau lakukan?!" bentak Ceryl dengan suara nyaring yang cukup keras.
"Memangnya apalagi? Kami mau menikmati tubuhmu terlebih dahulu, sebelum mencabut nyawamu." Pria berambut pomade itu kini turut mendekati Ceryl. Mengapit bagian depan tubuh Ceryl sambil membelai-belai wajahnya.
Tentu saja Ceryl langsung mengelak dari sentuhannya, namun dia tak dapat berbuat banyak ketika pria kedua menarik rambut ikal Ceryl ke belakang dengan kasar, hingga membuatnya terdongak sambil menahan nyeri.
"Ughh.." Perempuan berkulit seputih susu itu meringis kesakitan, tapi lebih dari itu— dia merasakan hidung seseorang yang tengah mengendus lehernya. Itu menjijikan.
"Hentikan!" Perintah Ceryl dengan suara tercekat.
Jambakan dirambutnya semakin kuat. Sementara itu, dengan sudut matanya, gadis bernetra gelap tersebut dapat melihat jika, pria berambut pomade dengan kening lebar itu, mulai melucuti kancing piyama tidur adik kandung Matteo.
"Wow... Kau memiliki kulit yang halus. Ternyata selain wajahmu yang cantik, tubuhmu juga begitu menggoda..." Salah satu dari ketiga penjahat tadi, bersiul dihadapan Ceryl. Tatapan matanya seolah ingin segera memakan gadis cantik itu.
Ceryl menggeleng lemah, walau itu makin membuat kulit kepalanya sakit karena tarikan di rambutnya belum juga di bebaskan.
"Jangan! Kumohon jangan lakukan itu! Lebih baik cepat kalian bunuh saja aku!" Perempuan itu kembali menangis. Dia sadar hidupnya tinggal sebentar. Tapi— haruskah disisa usianya, dia mendapatkan perlakuan demikian?
'Tuhan... Belum cukupkah kau mengambil nyawa keluargaku? Kenapa kau juga harus mengambil satu-satunya 'harga diri' yang selalu aku jaga selama ini?'
"Sst... Berhentilah menangis bocah, dan nikmati saja malam pertamamu!" Pria berambut pomade tadi, menghempaskan Ceryl ke atas ranjang. Hingga gadis itu semakin pucat, ketika melihat tiga pria dewasa memandangnya dengan wajah lapar.
Pria kekar dengan kulit tan itu mulai mendekati Ceryl, mencoba mencium bibirnya. Namun dengan reflek Ceryl meludahinya. Dan itu justru membuat pria dewasa tersebut murka.
"Brengsek, walau dalam keadaan terdesak sekalipun, harga dirimu tinggi juga." Dia menatap Ceryl dengan bengis, namun gadis17 tahun itu sama sekali tak merasa gentar dengan tatapanya. Walau sejujurnya gadis cantik itu sudah sangat ketakutan.
"Haha, ternyata kau cukup sulit untuk ditaklukan. Kau membuatku semakin bersemangat untuk memperkosamu." pria dengan model rambut pomade di depan Ceryl tergelak sambil memegangi perutnya, menganggap perlawanan Ceryl ini sebagai hiburan untuknya. "Teman-teman, jika boleh, aku ingin menjadi orang pertama yang 'memasukinya'."
Dua orang yang diajak bicara, terlihat saling melempar pandang, sebelum menyetujui apa keinginan rekannya tersebut.
Ceryl hanya dapat beringsut mundur melihat pria pertama mulai merayap di atas tubuhnya. Airmatanya kembali pecah saat menyadari jika sebentar lagi, 'hartanya' yang paling berharga akan direnggut.
'Ayah.. Ibu...'
Gadis itu memejamkan matanya, sambil memanggil sosok kedua orang tuanya yang sudah meninggal. Tubuhnya bergetar, takut dan jijik disaat bersamaan. Terlebih saat jari besar pria itu mulai menelusuri tubuh bagian depannya.
'Kak Theo— tolong! Tolong aku Kak...'
Ceryl berjengit, ketika orang itu mulai menanggalkan pakaiannya, hingga tubuh dengan kulit sehalus porselen itu, terpampang sempurna. Gadis berkulit putih itu menggelengkan kepalanya, berharap agar orang itu berhenti. Tapi permohonannya justru dianggap sebagai nyanyian yang menghibur bagi para penjahat itu.
'Tuhan.. Selamatkan aku! Kumohon...'
Pria berambut pomade itu menyeringai nakal, dan dengan tatapan lapar, dia makin berani menjelajah tubuh Ceryl, bahkan dia kini mulai merambah kebagian bawah tubuh perempuan berparas cantik tersebut.
'Siapa saja, tolong aku... Bebaskan aku dari orang-orang jahat ini...'
Tangisnya semakin menjadi, menyadari jika dia akan menjadi 'santapan' tiga pria lapar di depannya.
"Tidak! Jangan lakukan ini!" pintanya lemah. Berharap mereka berubah pikiran saat itu juga. "Jangan! Kumohon berhenti!"
"Teruslah memohon bocah, aku justru semakin bergairah karenanya."
'Siapapun, tolong aku.. Manusia, Dewa, Iblis atau siapa saja... Kumohon selamatkan aku...'
"Selamat makan..." Lelaki bertubuh kekar itu mulai mengeluarkan miliknya. Siap merenggut keperawanan Ceryl saat ini juga.
"Tidak.. Jangan!! TIDAAAAKKK!!!"
CRAASSHH
Kedua mata Ceryl terbelalak lebar, mulutnya terbuka dengan nafas yang tercekat ditenggorokan. Pria berambut pomade itu apalagi, lelaki bertubuh tegap itu tidak dapat berkata-kata untuk merespon kejadian yang begitu cepat itu. Hanya ekpresi kaget yang kentara jelas di wajah garangnya, sama seperti dua rekan pria itu, yang berdiri tak jauh dari ranjang mereka.
"K-kau.. Apa yang kau lakukan?!" Pria itu memekik emosi, wajahnya mengeras dengan ekpresi tidak percaya. Kedua bola matanya memandang ke arah Ceryl yang nampak terengah dengan wajah pucat.
Raut kesakitan yang sempat terpartri di wajah sang Meghantara terakhir, berubah datar. Seringai tipis terukir di bibir pucatnya yang bergetar.
Pria berkulit gelap yang berdiri tak jauh dari sisi ranjang, meneriaki lelaki pertama agar menyingkir dari atas tubuh Ceryl. Dan lagi-lagi, ketiga penjahat itu harus menelan rasa kaget mereka, ketika melihat cairan pekat berbau anyir merembes tanpa perintah dari perut Ceryl. Yah, darah itu berasal dari tubuh perempuan yang sudah setengah telanjang itu, yang baru saja menusuk perutnya sendiri dengan dalam.
Melihat bentuk pisau yang tertancap di badan rampingnya, barulah penjahat yang tadinya mengungkung tubuh Ceryl dari belakang, menjadi sadar, jika benda itu adalah miliknya. Yang entah kapan berada di tangan gadis berambut raven. "Kau sejak kapan pisau itu ada di tanganmu?"
"Jangan terkejut begitu. Bukankah pada akhirnya, kalian akan membunuhku?" balas Ceryl, wajah tenangnya sangat kontras dengan hatinya yang begitu takut, saat menyadari jika kematian telah di depan matanya. Rasa nyeri di perutnya ini bukanlah tandingan dari luka hatinya saat melihat anggota keluarganya mati di depan mata kepalanya sendiri.
"Berterimakasihlah padaku, karena aku membuat tugas kalian menjadi lebih mudah." Nafas gadis itu semakin cepat terdengar, pandangan matanya mengabur karena airmata. Sementara telapak tangannya sudah basah karena darah yang mengucur dari perutnya.
"Dasar bocah bodoh!!" sergah penjahat yang lainnya. "Apa yang kau pikirkan?"
***