Aku mendapatkan telepon dari desa, aku pikir kedua orang tuaku merindukanku tapi siapa yang mengira jika mereka menelpon untuk menyampaikan kabar buruk.
"Halo, assalamualaikum ada apa ayah dan ibu? Kangen ya, dengan Aryna." Aku bicara terus sementara suara di seberang sana belum terdengar olehku.
"Halo, kok diam?" Aku bertanya pada kedua orang tuaku yang menelpon menggunakan ponsel Pak RT.
"Waalaikumsalam sayang." Suara itu bergetar dan seperti sedang menangis.
"Ibu kenapa menangis tolong ceritakan kepada Aryna." Aku tidak sabar ingin tahu apa yang terjadi sebenarnya sampai ibuku menangis apa ayah sakit lagi? Pikiranku semakin kacau ditambah Pak Cakra yang selalu chat teror tidak punya rasa malu.
"Rumah kita kebakaran sayang, tapi ibu dan ayah selamat." Ibu mengatakan hal yang paling membuat hatiku lega.
"Innalillahi wa inna ilaihi rojiun, sabar ya, Bu. Aryna turut sedih, tapi terpenting ibu dan bapak selamat."
"Iya, Nak. Tolong kamu kirimin alamat di Jakarta, Ibu mau ke sana sama bapak." Suara ibu masih terisak dia ingin kumpul bersamaku di Jakarta.
"Nanti Aryna kirim alamat dengan lengkap lewat chat, Bu. Sekarang Ibu istirahat dulu."
"Iya, Nak. Kamu juga selamat istirahat di sana."
Aku menutup pembicaraan dengan mengucapkan salam terlebih dulu.
Biarlah kami kehilangan rumah, asal kedua orang tuaku selamat aku sudah sangat bersyukur kepada Allah.
"Mbak turut berduka cita, tapi jika orang tua kamu ke Jakarta untuk tinggal di sini kita harus pindah kontrakan yang ada kamarnya," jelas Mbak Syakila.
"Iya, Mbak terima kasih banyak. Kita pindah ke mana?" tanyaku.
"Kamu tanya ke Abi coba, dia kan orang asli Jakarta pasti tahu kontrakan yang murah ada kabarnya," jelas Mbak Syakila.
"Oh, begitu ya. Aku tanya sekarang atau besok pagi," tanyaku.
"Terserah kamu," jawab Mbak Syakila.
"Kalau begitu sekarang saja, aku sudah tidak sabar mencari kontrakan baru untuk menyambut ayah dan ibu," timpalku.
Aku langsung menuju ke sebelah di mana kontrakan Mas Hari Abimanyu tinggal.
Aku mengetuk pintu kamarnya beberapa kali, seraya mengucapkan salam. Pacarku segera membuka pintu dan menjawab salamku dengan senyuman.
"Ada apa pacarku? Kamu rindu denganku?" tanyanya menggoda.
Tanpa banyak bicara aku tarik tangannya lalu duduk di bangku yang ada di depan kontrakan kami.
"Mas Hari Abimanyu tahu tidak kontrakan yang satu rumah tapi murah?" tanyaku.
Dia malah terkejut matanya mendelik.
"Kenapa terkejut? Pertanyaan aku tidak salah kan?" tanyaku.
"Kenapa kamu tanya begitu? Kamu mau menjauh dariku, apa kamu ingin kita pisah sayang?" ungkap Mas Hari Abimanyu merasa kecewa dan sedih. Dia terlihat salah sangka.
"Kamu kenapa Mas? Kok, wajahnya jadi sedih. Lagi pula siapa yang ingin berpisah," gumamku.
"Buktinya kamu mau pindah dan menjauh dari aku kan?" Mas Hari Abimanyu masih merasa jika aku ingin menjauh darinya padahal itu tidak benar.
Aku menarik hidung dia dengan lembut sambil tertawa kecil hehe ….
"Kenapa ketawa ada yang lucu kah?" ujarnya.
"Kamu lucu mas, belum tahu kebenarannya tapi sudah menduga-duga, aku mau pindah sebab kedua orang tuaku mau ke Jakarta," jelasku.
"Masa? Yang benar calon mertuaku akan ke Jakarta?" tanya Mas Hari Abimanyu dengan wajah sumringah. Kali ini dia tersenyum.
"Benar dong, mereka akan tinggal denganku selamanya," ujarku.
"Tidak kembali ke desa lagi?" tanya Mas Hari Abimanyu.
"Tidak Mas, soalnya aku barusan dapat kabar buruk jika rumah kami di desa habis dimakan jago merah," sahutku.
"Maksudnya kebakaran? Innalillahi aku turut berduka ya, semoga Allah menggantikan rezeki kalian dengan yang lebih baik," tutur Mas Hari Abimanyu.
Dia menunjukkan simpatinya dengan mengusap punggungku dengan lembut dia berbisik di daun telingaku, "Chagiya bagaimana jika kamu dan kedua orang tuamu tinggal di rumahku."
Aku langsung mendorong wajahnya dengan pelan, konyol!
"Mas Hari Abimanyu tidak lucu sama sekali bercandanya, kita kan belum menikah, sayang."
Aku tidak suka kali ini dengan gurauan sang pacar padahal aku sedang serius bertanya masalah kontrakan dan juga sedang mengalami musibah.
"Iya, maaf. Namun aku serius ada rumah yang tidak ditempat, kamu punya dua rumah," jelasnya tidak mau disalahkan.
"Terus 1 bulan aku harus bayar berapa?" tanyaku berharap Mas Hari benar-benar bisa memberikan solusi.
"Ya, betul. Kenapa kamu tanya bayaran untuk pacar tentu gratis," kata Mas Hari Abimanyu sambil nyengir.
"Tidak mau! Kenapa harus gratis? Wajib bayar namanya ngontrak," tukasku tidak terima jika harus gratis.
"Masa dengan pacar bayar, harus gratis dong," ujar Mas Hari Abimanyu.
"Ya Allah Mas jangan begitu, aku tidak mau. Kalau tidak mau dibayar maka aku akan cari kontrakan lain, simple!" Keputusanku bulat tidak terima tawaran gratis meskipun dari pacar sendiri.
"Iya, baiklah. Kamu boleh bayar, tapi aku tidak tahu harga kontrakan pada umumnya berapa dalam satu bulan," kata Mas Hari Abimanyu.
"Kalau satu rumah di daerah Jakarta biasanya mahal sih, tapi kalau murah juga tidak masalah. Maunya dibayar berapa?" tanyaku.
"Maunya gratis tidak perlu bayar, tapi karena kamu ngotot ingin membayar maka bayarlah semampunya," ungkap Mas Hari Abimanyu membuat hatiku tersentuh.
"Ok, baiklah. Jauh tidak rumah Mas dari tempat kerja kita?" tanyaku.
"Lumayan jauh sekitar 30 menit kurang lebih, tergantung macet atau tidaknya, kita bisa berangkat naik motor atau kendaraan umum kok," hardik Mas Hari Abimanyu.
"Sejujurnya aku lebih suka jalan kaki, tapi karena ini demi kedua orang tuaku, aku rela nabi motor, angkot, ojek, atau apapun," ungkapku.
"Bagus, anak Solehah cantik dan baik hati." Dipuji pacar seharusnya senang aku justru merasa malu dan geli.
"Aamiin. Mas tapi jangan terlalu berlebihan memujiku, malu tahu!"
Setelah solusi kontrakan 1 rumah sudah ditemukan aku izin masuk untuk istirahat malam pun semakin larut sudah waktunya bagi tubuhku untuk tidur.
"Selamat malam, selamat tidur pacarku, semoga mimpi indah."
Mas Hari Abimanyu mengatakan itu entah yang keberapa kali, dia tidak bosan mengulang kalimat yang sama di setiap harinya. Sikapnya selalu manis dan lembut, pengertian dan dewasa.
"Iya, pacarku kamu juga selamat malam dan selamat tidur ya. Sampai jumpa besok, jangan lupa berdoa kalau mau tidur," timpalku.
"Bagaimana apa kata Abi?" tanya Mbak Syakila begitu aku masuk.
"Katanya kita suruh pindah ke rumah dia yang tidak dihuni, tapi kita anggap saja sedang ngontrak dan bayar sewa," kataku.
"Oh, begitu. Berapa sebulan murah atau tidak? Atau mau digratisin tapi kamu tolak, ya?" tanya Mbak Syakila seolah tahu.
"Iya, aku tolak. Kok, Mbak Syakila tahu," tanyaku.
"Abi kan orang baik pasti dia gratisin, kamu sok gengsi menolak segala, bodoh!" Mbak Syakila menoyor kepalaku.
"Aku hanya tidak mau memanfaatkan pacar dan orang baik, Mbak."
"Tapi kan Abi pasti ikhlas."
"Iya, aku tahu tapi aku tidak nyaman jika tinggal di rumah orang lain dengan gratis," sahutku.