Amanda mengantar Fabio sampai depan pintu kamar hotel. Sehari di kota itu berlalu dengan biasa saja. Justru membuat hatinya sedikit terusik. Baru beberapa jam mereka meninggalkan Yoona tapi Fabio sudah terlihat khawatir.
"Ini belum seberapa. Mungkin akan lebih lagi nanti," kata Amanda.
Amanda kembali masuk dan membersihkan dirinya. Dia akan sendiri hingga siang. Fabio meeting dengan kliennya hari ini.
"Haruskah aku keluar sendiri?" lirih Amanda.
Amanda memutuskan untuk bersiap pergi keluar tanpa Fabio.
Di sisi lain Fabio masih sibuk khawatir dengan istri pertamanya. Dia masih berusaha menelpon Yoona. Hingga akhirnya tersambung juga.
"Ah, akhirnya kau menjawab juga," kata Fabio.
"Kau menghubungiku? Aku menelpon tapi tak dijawab tadi," jawab Yoona.
"Bibi mengatakan kau mabuk semalam. Separah apa hingga Tommy mengantarmu pulang? Kau pergi ke suatu tempat dan bertemu Tommy?" cecar Fabio.
"Ah, bukan seperti itu. Aku hanya ... aku keluar untuk menghibur diri karena aku terlalu merindukanmu," dusta Yoona.
"Bukan berarti kau harus mabuk dengan pria lain bukan?" kata Fabio lagi.
"Aku tak mabuk separah itu," elak Yoona.
"Untung saja ada Tommy, bagaimana jika pria lain? Apa yang akan terjadi padamu?" omel Fabio lagi.
Yoona tersenyum menang. Dia merasa bisa membuat perhatian Fabio kembali tercurah padanya.
"Aku baik-baik saja, Sayang. Kau membuatku semakin rindu." Yoona melancarkan aksinya.
"Aku juga merindukanmu," balas Fabio.
Obrolan mereka begitu hangat layaknya suami istri yang saling merindu. Keduanya memang saling mencintai walau hati Fabio sudah terbagi. Hal inilah yang membuatnya sulit memilih antara Amanda dan Yoona.
"Aku akan meeting sekarang, jaga dirimu baik-baik. Aku akan segera pulang dan melepas rindu denganmu," pungkas Fabio.
Panggilan berakhir dan hati Yoona kembali teguh pada cintanya. Baru saja ia goyah dengan perhatian Louis semalam, tapi karena pagi ini Fabio memberinya banyak kata cinta Yoona bisa kembali teguh.
Yoona memeluk ponselnya dan senyum merekah di bibirnya. Membuat pembantu terheran saat itu.
"Apa Nyonya baik-baik saja?" tanya pembantu.
Yoona menghentikan senyuman itu dan mengarahkan pandangan pada pembantu itu.
"Kau pikir aku gila? Mengapa bertanya seperti itu?" cecar Yoona.
Tak ingin salah bicara pembantu itu segera keluar kamar majikannya itu.
"Aneh sekali, baru saja dia tersenyum bahagia. Sudah berubah menjadi galak lagi," umpat pembantu itu.
* * *
Amanda berjalan di tepian trotoar yang begitu ramai. Dia menikmati pemandangan gedung-gedung mewah yang dia lalui hingga akhirnya dia menemukan sebuah cafe outdoor yang menyuguhkan pemandangan kota yang menawan itu.
"Satu coklat panas dan satu chees cake," kata Amanda memesan hidangannya.
Dia membawa nampannya menuju meja yang sudah ia incar sedari tadi. Dengan anggun dia duduk dengan tenang sembari menikmati makanan yang ia pesan.
"Menyedihkan sekali hidupku, mengapa aku memilih jalan seperti ini? Apa aku bisa menjalani ini semua?" rutuk Amanda pada dirinya sendiri.
Hatinya terus saja gelisah dengan statusnya sekarang ini. Dia khawatir sekaligus takut dengan apa yang akan terjadi padanya setelah ini. Pikiran itu terus saja menganggunya.
"Haruskah aku segera ke dokter dan segera memulai program hamil itu? Apa ini keputusan yang tepat?" batinnya terus saja bergejolak.
Cintanya sudah tak diragukan lagi. Hanya saja dia tak bisa jika hidup dengan suaminya yang terus saja berbagi hati dengan Yoona. Lamunannya membuyar karena dering ponsel bututnya. Fabio menelpon istri keduanya karena tak menemukan Amanda di kamar hotelnya.
"Aku keluar karena merasa bosan. Kau sudah kembali?" tanya Amanda.
"Kau di mana? Biar aku yang menyusulmu," tanya Fabio.
"Aku di sebuah cafe tak jauh dari hotel," jawab Amanda.
Setelah panggilan berakhir, Fabio bergegas mencari keberadaan Amanda. Wajah Fabio begitu berseri. Dia tak berhenti tersenyum.
"Berjalan kearahnya selalu saja membuatku merasa bahagia," kata Fabio.
Setelah memarkir mobilnya Fabio berjalan ke arah istrinya yang sedang duduk di meja depan cafe itu. Kecupan singkat mendarat sempurna di kening Amanda.
"Maafkan aku, Sayang. Aku membuatmu kesepian," kata Fabio.
"Tidak juga, aku hanya merasa bosan saja dan ingin keluar," jawab Amanda.
"Meeting selesai dengan cepat sehingga aku bisa langsung menemuimu," jelas Fabio.
"Haruskah kita segera ke dokter untuk memulai pemeriksaan dan mengikuti program hamil?" tanya Amanda tiba-tiba.
"Tiba-tiba saja mengatakan hal itu? Kau terlihat banyak pikiran. Mengapa membuat dirimu tersiksa?" desak Fabio.
"Bukan tiba-tiba. Bukankah ini adalah inti dari pernikahan kita?" tanya Amanda.
"Aish, ayo ikut aku. Aku akan membawamu ke suatu tempat," ajak Fabio yang menarik tangan istrinya.
Amanda memandang lekat wajah suaminya itu. Dia semakin menyadari betapa dia juga sangat mencintai Fabio. Perasaannya menjadi semakin dalam dan sepertinya sulit untuk dilepaskan lagi.
Senyum manis Amanda terukir melihat Fabio begitu bersemangat. Keduanya menuju sebuah tempat yang begitu indah seperti rencana awal Fabio. Sebuah taman penuh dengan hamparan bunga yang indah merekah.
"Waktu yang tepat," lirih Fabio yang tengah berjalan sembari menggandeng tangan istrinya.
Amanda mengarahkan pandangan pada suaminya itu. Dia tak mengerti dengan ucapan Fabio.
"Apa maksudnya tepat waktu?" tanya Amanda.
"Ah, aku membawamu kemari saat bunga sedang bermekaran. Tempat ini adalah tempat terindah untukku hingga sekarang," jelas Fabio.
"Kau sering datang?" tanya Amanda.
Fabio mengangguk. Pikirannya melayang di saat dia dan Yoona beberapa kali menghabiskan waktu bersama menikmati bunga indah. Sesekali Yoona berlari di antara bunga itu dan melihat kebahagiaan terpancar jelas dari wajahnya saat seperti itu.
Sudut bibir Fabio terangkat oleh kenangan indah itu. Dia lupa jika saat ini dia sedang bersama Amanda.
"Yoona sangat bahagia saat aku memotretnya diantara bunga-bunga ini. Dia tak henti tersenyum dan tak bosan berlari diantara sela bunga ini," jelas Fabio.
Penjelasan Fabio membuat Amanda sedikit cemburu. Saat jauh pun, Fabio terus memikirkan istri pertamanya itu. Saat melihat raut wajah kecewa Amanda, Fabio segera menyadari jika tak seharusnya dia mengatakan hal itu.
"Boleh kita duduk saja? Aku mulai lelah," ajak Amanda dengan nada lelah.
Fabio menunjuk satu bangku di sisi kanan jalan setapak taman itu. Mereka menuju bangku itu dan Amanda segera duduk. Dia sengaja menghindari kontak mata dengan Fabio. Dia tak ingin cemburunya terbaca oleh suaminya itu.
"Aku menghargai kau mengajakku ke sini. Hanya saja aku bukan wanita yang mudah tersentuh dengan hal-hal manis seperti bunga dan yang lainnya. Jadi maaf jika aku menunjukan reaksi yang biasa saja," jelas Amanda.
"Ah, rupanya aku salah." Fabio sedikit menyesal.
"Aku menjalani hidup yang rumit dan keras, dan kau pasti mengerti jika hal semacam ini tak cocok untukku," jawab Amanda.
Fabio menarik dagu istrinya itu. Wajah keduanya sudah begitu dekat. Binar mata Amanda menggambarkan jika dia tengah tertekan. Banyak sekali hal yang berkecamuk di hatinya.
"Matamu tak pernah bisa berbohong," lirih Fabio.
* * *