Fabio memandang penuh heran sepiring pasta itu, dia tak ingin mengecewakan satu diantara keduanya. Dengan cepat pasta itu dia lahap dan masuk perutnya. Rasa kenyang seketika membuat Fabio serasa ingin mati.
"Aish, aku tak akan bisa makan apapun lagi. Kau benar-benar pintar, Sayang," lirih Fabio dan bergegas keluar kamar.
Di ruang makan sudah menunggu Yoona yang siap melayani Fabio makan malam.
"Kau sudah makan pasta?" tanya Yoona.
"Hm," jawab Fabio tak ingin berdusta.
Yoona tersenyum manis. Dia menahan rasa kesal di hatinya, hanya saja dia tak ingin merusak malam ini dengan kecemburuan yang dia rasakan.
"Kau tak perlu makan lagi, Sayang. Duduklah, temani aku saja," kata Yoona tiba-tiba.
Fabio kaget dengan apa yang Yoona katakan. Dia berpikir Yoona akan marah dan membuatnya dalam posisi sulit lagi.
"Baiklah, aku akan menemanimu makan. Nikmati makan malammu, Sayang," lirih Fabio.
Wanita yang dulu sangat Fabio cintai itu kini terlihat sangat stres. Wajah yang biasanya sangat segar menjadi sedikit kusut.
"Ada sesuatu yang kau pikirkan?" tanya Fabio.
"Ah, tidak. Aku hanya sedang lelah saja." Yoona berdusta.
"Ayah menelpon tadi siang. Dia mengatakan kau memenangkan proyek besar dan membuat trobosan baru untuk perusahaan," kata Fabio.
"Hm, klien kita sangat senang dengan proposal yang kita ajukan. Sehingga mereka menyetujui proyek yang kita ajukan," jelas Yoona.
Fabio tersenyum bangga. Yoona telah berusaha keras untuk hidupnya dan perusahaan. Dia menjadi ingat benar saat Yoona datang membawa ijazah terbaiknya dahulu. Dia melamar kerja sebagai sekretaris Fabio saat itu.
Hingga benih cinta tumbuh diantara keduanya dan mereka menikah karena keinginan untuk saling membahagiakan.
"Kau selalu hebat sejak dulu, Sayang. Aku tak pernah ragu," kata Fabio.
"Hanya terlalu sayang saja, aku tak bisa memberimu keturunan." Yoona merutuki dirinya.
"Aish, apa yang kau katakan," jawab Fabio.
"Alasan ayahmu mempertahankan aku adalah karena aku mampu menghandel perusahaan, jika aku tak memiliki kemampuan itu mungkin aku sudah ditendang," kata Yoona.
"Tidak mungkin, Sayang. Aku mencintaimu. Sungguh aku mencintaimu," jawab Fabio.
Kata cinta itu keluar saat Amanda berjalan menuju laundry room yang terletak di sebelah ruang makan. Amanda mendengar dengan jelas suaminya itu mengatakan kata cinta pada istri pertamanya. Hatinya perih, tapi dia tak bisa berbuat apapun. Amanda menyadari jika itu adalah suatu hal yang wajar.
"Ayolah, Amanda. Yoona juga istri Fabio. Kau tak boleh berlebihan," batin Amanda.
Amanda memasukan semua pakaian kotor dalam mesin cuci dan mulai memproses semuanya. Dia duduk di atas mesin itu dan ingatan tentang beberapa hari yang lalu itu muncul. Saat Fabio menghujaninya dengan ciuman di ruang itu. Hidup Amanda sudah di penuhi dengan ilusi Fabio.
"Ya Tuhan, aku benar-benar terjebak dalam hal ini," batin Amanda.
* * *
Malam berlalu dengan sangat panjang. Yoona dan Fabio melepas kerinduan dengan aktivitas ranjang mereka. Walau terkesan hambar, tapi Yoona berusaha untuk membuat suasana menjadi hidup.
"Kau sudah melakukannya dengan Amanda?" tanya Yoona.
"Sudah, kemarin malam," jawab Fabio polos.
"Ah, terang saja. Kau sedikit berubah." Yoona merasa Fabio sudah tak segarang biasanya.
"Bukan berubah, Sayang. Kau tahu aku baru saja pulang dari perjalanan. Mengertilah," jawab Fabio.
"Tentu saja aku mengerti, tenang saja. Lakukan lebih banyak dengannya. Agar dia segera hamil dan kita bisa dengan cepat membuangnya," jelas Yoona.
"Kau pikir semudah itu?" jawab Fabio.
Yoona memang ingin semua segera selesai. Hanya saja hati Fabio sudah berubah, dia mencintai Amanda dengan begitu tulus sehingga dia tak ingin kehilangan wanitanya itu.
Di sisi lain, Amanda terjaga sepanjang malam. Dia banyak berpikir tentang Fabio dan Yoona yang tengah tidur sekamar.
"Pasti mereka melakukannya," lirih Amanda.
Dia tampak sangat khawatir. Dia gelisah sepanjang malam karena tak bersama suaminya.
"Andai aku tak jatuh cinta, aku pasti bisa bersikap keras seperti biasanya. Inilah sebabnya aku benci jatuh cinta. Aku tak suka jatuh cinta," omelnya berkali-kali.
Amanda membaringkan tubuhnya dan mencoba memejamkan matanya. Tapi bayangan Fabio hadir dan mengacaukan semuanya. Senyum manis Fabio mengusik malam Amanda yang begitu panjang.
Dia terus mengomel hingga akhirnya dia lelah dan terlelap. Mata indahnya terkatup kalau dia mulai mengarungi dunia mimpinya. Dia hanya terlalu khawatir sehingga dia tak bisa beristirahat.
Malam sudah larut saat itu. Fabio sengaja turun karena gelas di kamar Yoona sudah kering. Dia menyusuri anak tangga menuju dapur. Saat sampai di ujung tangga langkah kakinya terhenti. Dia tertarik untuk melihat Amanda yang kamarnya terletak tepat di depan tangga.
"Haruskah aku melihatnya?" batin Fabio.
Belum juga otaknya memberi jawaban dia sudah melangkah menuju pintu berwarna putih itu. Fabio memegang gagang pintu dan bersiap membukanya. Namun tiba-tiba dia berpikir jika itu akan membuat Amanda merasa terusik. Fabio sejak tadi memikirkan bagaimana Amanda membayangkan dia dan Yoona dalam satu kamar.
Tapi hatinya tak bisa lagi menahan. Dia memaksa dirinya membuka pintu dan terlihat Amanda sedang lelap tertidur. Pundak putihnya terekspos karena dia hanya menggunakan gaun malamnya. Fabio berjalan menuju jendela yang terbuka dan segera menutupnya.
"Dia lupa menutupnya," lirih Fabio.
Saat hendak berjalan kembali dia mendekati wanita cantik yang kini berstatus sebagai istri keduanya.
"Kau cantik sekali, Sayang. Percayalah, aku mencintaimu dengan setulus hati dan jiwaku." Fabio berbisik seraya mendaratkan kecupan manis di pelipis kanan Amanda itu.
Amanda tak bergeming. Dia masih terjebak di alam mimpinya. Fabio membenarkan selimut Amanda dan segera berjalan keluar. Dia menutup pintu dengan hati-hati agar Amanda tak terbangun. Fabio melanjutkan langkahnya menuju dapur untuk mengambil segelas air.
Melihat isi kulkas yang sangat rapi, Fabio kembali teringat pada Amanda.
"Kapan dia melakukan ini? Apa dia tak lelah?" batin Fabio.
Rupanya dalam gelisahnya tadi Amanda menyibukan diri dengan menata isi kulkas dan juga berbenah pakaian di laundry room. Saat Fabio hendak kembali ke kamar terdengar suara ponsel berdering dari arah laundry room. Fabio menghampiri dan terlihat sebuah ponsel di atas mesin cuci.
"Ponsel Amanda." Fabio mengambil ponsel itu dan melihat siapa yang menelpon istrinya selarut ini.
"Diego," lirih Fabio.
Diego menghubungi Amanda saat dia selesai bekerja. Dia ingin mengatakan jika dia sudah mengirim uang untuknya bulan ini. Tapi Amanda tak menjawab panggilan itu karena ponsel yang tak ada bersamanya.
"Apa ada hal yang penting?" batin Fabio.
Dia memainkan ponsel itu karena merasa bingung.
"Haruskah aku menelpon dan memberi tahu jika Amanda sudah tidur? Tidakkah terlalu lancang?" Fabio terus saja berspekulasi.
Dia merasa ragu dengan apa yang dia pikirkan, hingga seseorang menegurnya dengan suara yang begitu dalam.
"Apa yang kau lakukan?" tegur wanita itu.
* * *