Yoona bangun dalam keadaan yang buruk. Mabuknya masih mengelayut. Dengan langkah sempoyongan dia menuju ke kamar mandi. Hari ini ada meeting penting perusahaan dengan beberapa kolega dari luar negeri.
Dia meraih ponselnya dan segera menghubungi Fabio untuk menanyakan beberapa hal penting tentang proyek yang akan di tawarkan, tapi ponsel Fabio tak aktif.
"Aish, apa dia masih bergulat di ranjang? Jam berapa sekarang? Mengapa belum bangun," umpat Yoona berkali-kali.
Dia turun untuk memerintah pembantu rumah memasak sup penghilang mabuk, dia bergegas bersiap diri.
"Ini meeting penting. Ayah mertua akan datang, sehingga aku tak boleh kacau," katanya.
Dengan pakaian rapi dan menarik, Yoona menurun tangga dan segera datang ke ruang makan. Semangkok sup penghilang mabuk telah tersaji. Dia segera menyantap sup itu.
"Apa perlu saya buatkan kopi, Nyonya?" tanya pembantu.
"Tak perlu, Bi. Masak banyaklah malam ini, Fabio akan kembali malam ini," kata Yoona gembira.
Dia langsung pergi tanpa kata terima kasih. Langkah panjangnya mengarah ke garasi dan segera melajukan mobil menuju perusahaan.
* * *
Fabio dan Amanda sedang sarapan dengan menu layanan hotel. Keduanya sangat manis ,saling menyuapi satu sama lain tanpa canggung.
"Apa hal pertama yang akan kau minta dariku setelah menang taruhan itu?" tanya Fabio.
"Hm, entahlah. Aku sendiri tak tahu. Aku hanya merasa tak berhak menuntut apapun. Kau sudah memberikan segalanya untukku," kata Amanda.
"Pikirkan lagi, Sayang. Kau pasti menginginkan sesuatu," titah Fabio.
"Aku akan katakan jika aku butuh sesuatu," jawab Amanda.
"Baiklah," kata Fabio dan melanjutkan sarapan.
Tanpa aba-aba Amanda mengenggam tangan Fabio dengan erat. Kehangatan dan ketulusannya begitu terasa.
"Ada apa? Kau khawatir tentang sesuatu?" tanya Fabio.
Amanda mengangguk. Fabio bangkit dari duduknya dan memeluk istrinya itu dari belakang. Pelukan hangat Fabio membuat Amanda begitu dicintai.
"Jangan khawatir tentang apapun. Aku akan bersamamu selamanya," bisik Fabio.
"Kau mengatakan hal ini juga pada Yoona bukan? Bagaimana aku bisa baik-baik saja," tanya Amanda.
Fabio tak mampu menjawab. Walau dia tak mengatakan hal itu pada Yoona, tapi dia berpikir jika suatu saat Fabio akan mengatakan hal itu juga.
"Sudahlah, ini sudah lebih baik setelah semalam," kata Amanda menepis suasana hati yang mendadak gelisah.
"Percayalah padaku, aku sangat mencintaimu," jawab Fabio.
"Aku percaya, tentu saja sangat percaya," kata Amanda.
Fabio mengecup lembut kening Amanda dan melanjutkan sarapan dengan saling mengenggam tangan.
"Bagaimana aku bisa kehilanganmu suatu saat nanti. Baru seminggu saja sudah seperti ini," batin Fabio.
"Aku tak akan mampu menjalani hidup tanpa dirimu," batin Amanda.
Kedua insan ini tengah di mabuk asmara. Hati mereka terus saja bergejolak merekahkan cinta yang membara.
* * *
Di sisi lain Yoona menghadapi klien dengan penuh percaya diri. Proyek rancangan Fabio berjalan lancar. Hal itu membuat ayah mertuanya terkesima.
"Kau seperti macan putih saat presentasi, selalu berhasil dan membuahkan kontrak," batin Tuan Rezer.
Proyek garapan Fabio selalu berhasil. Yoona juga selalu memoles rencana proyek dengan ide-ide brilian yang menyempurnakan rancangan kerja.
"Kami yakin pada perusahaan ini, kami akan investasi dan segera buat kontraknya," kata klien meeting dari luar negeri itu.
"Baiklah, Tuan. Kontrak akan segera siap," jawab Yoona.
Dia pamit undur diri dan segera mencetak kontrak yang sudah dia siapkan.
"Dia sangat hebat, apa dia menantu Anda, Tuan Rezer?" tanyanya.
"Benar, dia istri dari putra tunggalku. Suaminya sedang ada proyek di luar kota, sehingga dia yang menjadi gantinya," jelas Tuan Rezer dengan bangga.
"Sungguh beruntung Anda mempunyai menantu seperti dia. Kehebatan putra Anda semakin menonjol berkat istrinya itu," pujinya.
"Tentu saja," balas Tuan Rezer.
Setelah menunggu tiga puluh menit, Yoona kembali dengan lembaran kontrak yang selesai dia cetak. Dia menjelaskan dan meminta sang investor untuk membubuhkan tanda tangan.
"Aku suka dengan sistem kontraknya, Nyonya. Semoga kerja sama ini membuahkan hasil terbaik. Jika ini berhasil, aku akan membeli lisensi perusahaan ini dan melebarkan sayap ke negaraku," kata klien itu.
"Tentu saja, Tuan. Kami terbuka dengan proyek-proyek lain kedepannya," jawab Yoona.
Meeting berlangsung lancar dan berhasil. Beberapa pegawai perusahaan yang turut serta dalam perencanaan juga merasa bangga pada Yoona. Dengan dealnya proyek ini mereka akan menerima bonus.
"Ayo rayakan dengan minum bersama," ajak seorang pegawai.
"Aish, haruskah dengan minum?" kata Yoona yang sok menutupi.
"Ah, maaf. Tapi bukankah biasanya selalu dirayakan dengan minum bersama?" katanya.
"Akan aku transfer uang pesta kalian. Maafkan jika aku dan Fabio tak bisa ikut." Yoona tak menghindari pesta itu karena malam ini Fabio akan kembali.
"Terima kasih, Nyonya," jawab mereka serempak.
Anggota bagian perencanaan itu berjumlah delapan orang. Salah satunya terdapat Alena, mantan kekasih Fabio semasa kuliah. Hal itu acap kali menyulut keresahan Yoona, sehingga dia tak pernah membiarkan Fabio ikut dalam acara pesta mereka.
"Kurasa setelah ini, Fabio bisa ikut. Alena sudah tak menjadi ancaman lagi bagiku," batin Yoona melihat Alena berlalu.
Saat tengah terpaku melihat langkah anggun gadis itu, seseorang menepuk bahu Yoona.
"Mampirlah makan malam di rumah, aku akan menjamu menantuku ini dengan baik. Kau berhasil memenangkan proyek besar untuk Fabio," jelas Tuan Rezer.
"Tapi Ayah, malam ini Fabio akan kembali dari luar kota. Aku sudah menyiapkan makan malam di rumah," jawab Yoona.
"Ah, mereka sudah akan kembali? Bukankah mereka harus meluangkan banyak waktu bersama agar segera hamil," sebut mertua Yoona itu.
Yoona dengan spontan menundukan kepalanya. Dia tak menyangka mertuanya akan mengatakan hal itu terang-terangan dihadapannya. Menyadari menantunya menjadi kecewa Tuan Rezer buru-buru mengalihkan fokus pembicaraan.
"Sudah hampir jam makan siang. Jangan terlambat makan, Sayang," pesan Tuan Rezer.
"Tentu saja, Ayah. Jangan khawatir," balas Yoona.
Tuan Rezer berlalu meninggalkan ruang meeting. Mata Yoona tak beralih dari punggung renta mertuanya itu.
"Ayah, aku bisa berikan dunia ini padamu. Tapi mengapa aku tak bisa berikan cucu untukmu?" batin Yoona.
Perasaan bersalah itu selalu membuat hati kecil Yoona sebagai wanita terkoyak. Dia juga wanita yang butuh diakui karena kodrat itu.
"Hasil pemeriksaanku selalu baik-baik saja. Bahkan dokter mengatakan jika kehamilanku hanya menunggu waktu yang tepat saja. Apa ini adil?" batin Yoona lagi.
Dia membereskan peralatan meetingnya yang masih berceceran di meja. Dering ponselnya mengusik konsentrasi berbenahnya. Dia meraih ponsel dari meja dan menjawab panggilannya.
"Ayo makan siang bersama, aku di luar perusahaanmu," kata seorang pria.
"Kau di luar? Ah, tapi aku ... aku," jawab Yoona terbata karena tak sampai hati untuk menolak.
"Kau sibuk?" tanyanya.
"Bukan, aku baru saja selesai meeting. Aku akan turun, tunggu sebentar," jawab Yoona dan bergegas turun ke lantai dasar.
Melihat sebuah mobil mewah berwarna hitam Yoona segera masuk. Tapi dari arah lain seseorang mengintai mereka.
"Mereka sering terlihat bersama. Mencurigakan sekali," kata seorang pria yang mengintai Yoona.
* * *