Perumahan padat nan hijau itu membuyarkan segala tatapan kosong. Pohon palem tumbuh di sisi jalan berpadu dengan cahaya mentari yang menembus rimbunan daun. Tong sampah nampak dimana-mana penuh tumpukan plastik makanan. Kediaman Mora berada di ujung bersama tetangga lama bernama Anne.
Wanita itu baru saja menyelesaikan mata kuliah di luar negeri setelah selama dua tahun mengemban tugas. Wajahnya begitu berseri-seri, menginjak rumah kenangan lama. Lagipula, Anne bisa bertemu Mora, gadis pendiam itu yang menjadi temannya semenjak kecil.
Mikael mengacungkan kapak miliknya ke lengan Mora. Gadis itu bersungut-sungut ketika membantu sang ayah memotong bilah-bilah kayu tua.
Hari ini, Mora sedang membantu Mikael menebang pepohonan tua di kebun yang tak jauh dari rumahnya. Bukan tanpa alasan, Mora berusaha mengusir pikiran buruk yang selalu menghampiri dengan melakukan pekerjaan berat. Meski ia tahu, tak mungkin ada seorang anak gadis muda memotong kayu seberat karung beras.
Beberapa kali ia mendesah lelah setelah merasakan pegal-pegal di tangan. Jujur, pekerjaan ini begitu melelahkan baginya. Mikael tetap menggerakkan kapaknya sebab ini adalah pekerjaan yang menggiurkan.
"Ayo bertarung!"
Mikael menumbuk kapak miliknya ke tanah. Buru-buru Mora ikut menumbuk dengan kapak yang melesat cepat. Entah apa yang mereka pikirkan, pertarungan ini bak menggali tanah hingga menghasilkan sumur kecil.
Jauh dibelakang mereka, Anne membawakan nampan minuman. Raut mukanya begitu cerah, secerah pagi ini. Wanita itu menyentuh pundak Mora yang asyik memainkan daun-daun kering.
"Sedang apa, Mora?"
"Ah, aku rindu denganmu! Sudah selesai kuliahnya?"
Anne terkekeh, "Barang kali tahun depan. Oh, ya, apa benar kalau kau melihat hantu?"
Kata-kata dari Anne terlontar begitu saja, lantas menghentikan Mikael yang sedang mengasah kapak. Alisnya terangkat, rasa curiga terkumpul didalam hati.
"Benar itu?" celetuknya.
Napas Mora memburu, apa ia harus mengatakan sebenarnya? Melihat kecurigaan tinggi diantara dua orang itu tak dapat memberikan celah baginya untuk membuat alasan lain.
Anne mengernyit, "Paman belum tahu juga?" tanyanya. Sebagai anak tetangga, Anne terbiasa menyebut ayah Mora dengan sebutan 'paman'.
"Ya. Itu benar. Aku melihat laba-laba besar yang masuk lewat pintu. Matanya memerah seperti buah apel-"
"Cukup! Jangan membahas takhayul! Ayah tak akan percaya dengan ceritamu itu." Potong Mikael seraya mengambil kayu-kayu tua yang tingginya hanya beberapa inci.
Mora berlari ke rumah dengan perasaan pilu. Dadanya begitu sesak, meski ia tak menghirup asap sekalipun ini lebih sakit menurutnya.
Alunan biola terdengar merdu dari lantai atas. Mora memainkan alat musik bernada tinggi dan rendah itu guna menyapu segala hal yang terbelenggu. Sepertinya ayah dan Anne tak mempercayai kata-katanya barusan yang dianggap kebohongan takhayul belaka.
Mora melempar biola asal, jemari tangannya menggeledah isi tas yang penuh sampah kertas. Ia berhenti ketika tatapannya teralihkan pada artikel horor. Setelah diingat-ingat, memang benar ia sempat membeli artikel itu bersama Lucas. Oh, mengingat lelaki itu rasanya tenggelam dalam samudra membiru. Mora memilih untuk tak menggubris peristiwa lalu bagaikan cinta monyet.
"Pembahasan iblis? Sepertinya menarik." Gumam Mora.
Di halaman pertama, artikel itu menjelaskan tentang perbedaan hantu dan iblis. Sekilas, mereka nampak serupa namun tak sama. Hantu lebih sering menggoda manusia melakukan tindakan jahat. Sementara iblis, ia individual angkuh nan gelap yang dapat berpura-pura menjadi manusia serta mencelakai.
Halaman selanjutnya, tanda-tanda munculnya mahkluk kasat mata. Udara tiba-tiba terasa panas, seluruh benda bergoyang dan bergerak namun tak ada gempa dan bisikan halus. Semakin ke tengah, artikel itu semakin tak masuk akal bagi Mora. Pikirannya kalut memikirkan isi buku itu.
"Huh, nanti malam aku tak bisa tidur." Gerutu Mora.
"Mora! Aku tahu kau sedang marah 'kan. Bagaimana di akhir pekan ini kau liburan saja? Sudah lama aku tak melihat senyumanmu itu." Bisik Anne.
Mora terkesiap, "Benarkah?!"
"Tentu saja. Siap ya! Tiket sudah aku pesan."
Dedaunan nampak menguning terjatuh ke pinggir jalan, kicauan burung senja bertengger diantara dahan pepohonan tinggi. Hamparan rerumputan menghijau menenangkan mata telanjang dipadu buliran air hujan menetes dan membasahi tanah semerah batu bata.
Mora memandang daun-daun pohon terbang jauh terbawa angin ribut meski ia tak menyangka perjalanan ini begitu dingin. Emily lebih memilih menekan tombol remote control pada mobil mainannya. Marissa tertawa gemas melihat kedua anaknya yang asyik dengan pikirannya masing-masing.
Mereka telah sampai di tempat tujuan. Mora merekatkan pegangan jaket berbulu domba miliknya-meski tebal itu tak mampu menyurutkan hawa dingin yang ada. Mikael mengajak mereka ke tengah taman bunga yang dikerumuni banyak orang, entah itu anak-anak maupun tua-tua renta sekalipun.
Menginjak petang hari, Marissa membangun tenda kecil dan mempersiapkan peralatan makan. Mikael memotong beberapa bilah kayu basah, melemparnya ke arah api menyala. Para pasutri ikut bergabung bersama mereka, duduk melingkar menatap kobaran api unggun yang menyala sembari bercengkrama membahas seputar kehidupan ataupun sekadar berbasa-basi.
Emily nampak senang mengendalikan mobil mainan bertenaga baterai itu dan sesekali melempar senyum ke arah Mora. Anak-anak lainnya ikut bergabung bersama mereka, senyum Emily begitu merekah ketika teman-teman baru menghampirinya. Berbeda halnya dengan Mora, gadis itu sedikit gusar melihat kedatangan para malaikat kecil itu yang pasti akan bertingkah jahil dan melempar omong kosong. Itulah mengapa ia tak menyukai anak-anak.
Hujan menetes sedikit demi sedikit, seolah ada halangan yang sedang dihadapi. Mora masih mampu melihat sambaran petir dibalik segumpal awan hitam nan mendung. Bunga-bunga cantik bermekaran terbasahi oleh dinginnya air hujan namun Mora merasakan setitik kemurungan yang terjadi di alam semesta.
Di antara jalan setapak dengan bebatuan kecil berukuran satu senti tingginya, akar-akar pohon mencuat keatas dari tanah basah bersama ranting kayu tua terdengar sangat nyaring-Mora menemukan sesuatu aneh yang janggal disana beberapa ratus meter jauhnya. Mungkin saja telinganya sedang bermasalah, namun ia tetap tak bisa menyangkal keinginannya.
"Maaf, kau tidak boleh pergi kesana." Seorang pria tua berjalan dengan tongkat besi sebagai penyangga menghampiri Mora dalam kebimbangan hatinya.
Mora mengernyit, "Kenapa?"
Pria itu menghisap cerutunya yang disembunyikan dibalik saku lalu mulutnya berkata, "Di ujung sana-aku hanya melihatnya sekilas, ada kuburan tua yang sudah berdiri sejak lama."
"Baik, aku mengerti. Tapi, bisa jelaskan asal mula tempat itu?"
Pria itu mengisi cerutu yang telah habis dan menoleh ke arah Mora dengan mimik wajah tak dapat diartikan, "Singkatnya, semua orang tidak tahu. Bahkan saat taman ini sudah berdiri pun, orang-orang hanya bermain di wilayah ini dan tak pernah berani melewati petak-petak di ujung hutan itu..." katanya sebelum napasnya bersatu dengan asap-asap cerutu yang memenuhi rongga hidung.
Mora menopang dagu, "Anda bilang taman ini sudah berdiri, kalau begitu bukankah para pekerja taman mengetahuinya?"
Pria itu tertawa sekaligus kembali berwajah datar, "Pemikiranmu sangat cepat. Ya, itu memang benar. Sebelum taman ini dibangun, banyak pekerja yang pergi ke tempat itu-"
"Untuk apa? Bukankah kau bilang itu berbahaya?" potong Mora mendengar cerita pria tua itu.
"Hei, aku belum selesai bercerita, kau sudah memotong. Jadi, pekerja-pekerja ini memang haus akan tempat-tempat baru lalu mereka membangun lokasi tanah gersang ini-yang setiap hari penuh lalu lalang kendaraan, menjadi taman yang indah. Tapi tak seindah itu rupanya, setelah satu persatu dari mereka..."
"Apa?"
"Mati. Mereka tiada."
Pria itu menekankan kalimat terakhirnya yang begitu mencekam, suram nan kelam. Sekaligus membangunkan bulu kuduk Mora yang belum pernah merasakan takut seperti saat ini. Mulutnya menganga lebar, rasa tak percaya bercampur aduk dibenaknya.
"Mereka hilang?! Atau bagaimana?"
"Mereka ditemukan bersimbah darah di petak-petak hutan ini dengan meninggalkan bekas sayatan di tangan, mulut menganga lebar dan mata terbuka paksa. Anehnya, jasad mereka tak membusuk meski baru ditemukan satu bulan kemudian." Pria itu berujar dan melangkah menuju rerumputan basah. Sepatu bot miliknya terhenti ketika Mora menggenggam lengannya.
"Berikan aku satu penjelasan lagi. Kuburan itu masih ada?"
Pria itu tersenyum tipis memandang langit rembulan yang bersinar terang diantara awan dan kabut tebal. Mulutnya tergerak lantas menoleh ke arah Mora, "Aku tidak pernah tahu. Yang pasti, semua pekerja taman itu tewas karena rasa keingintahuan. Kecuali aku."
Mora tersentak, "Apa?! Hei-"
"Mora! Kenapa kau berada disini? Emily hampir kehilanganmu dari tadi." Celetuk Marissa menggenggam lengan anaknya kasar.
"Ah, ibu! Dia..." Seseorang dibawah lampu temaram berjarak dua ratus meter, berjanggut putih dan cerutu di tangannya sedang melambaikan tangan. Sesaat Mora ingin membalas, namun bayangan itu hilang bersama terpaan angin dingin dari perbukitan.
"Apa? Ayo, ikut ibu. Sebagai anak perempuan tidak boleh sendirian." Ungkap Marissa.
Pandangan Mora mungkin saja sedang berhalusinasi sekarang. Namun, berapa kali pun mengucek mata, hasilnya tetaplah sama. Di sana, dibawah pantulan cahaya bulan sabit-terlihat redup tak terlalu terang-dengan angin malam yang mencoba mengusik dedaunan serta nyaringnya suara jangkrik tengah malam.
Sebuah jejak kaki diatas tanah basah terbentuk mengarah ke pekuburan. Mora yakin, selama tiga puluh menit lamanya berbincang dengan pria tua tadi, ia tak pernah menangkap seseorang yang pergi ke tempat itu. Setelah diperhatikan, jejak itu cukup besar bila dibandingkan dengan jejak hewan beruang atau harimau. Oh, Mora tidak bodoh. Ini taman, bukan kebun binatang.
Pertanyaannya, jejak kaki siapakah itu? Mora ingin mengetahuinya, tetapi terhalangi oleh Marissa yang menggunakan jurus ibu-ibu mengomeli anak-anaknya.
Mungkin saja, Mora harus tetap waspada. Berhati-hatilah melihat jejak misterius di rumahmu, siapa tahu tamu yang tak diundang sedang mencari kalian, bukan?