Keremangan ruangan yang berisi puluhan manekin itu tak menimbulkan suara sama sekali. Bahkan, tiada seorang pun tahu tentang hal itu. Sebab, waktu telah menginjak larut malam dan semua mahkluk hidup tertidur lelap. Terkecuali kelelawar dan Mora.
Berkali-kali dia menghindar dari sekumpulan manekin bermata merah yang mencoba menerkam dirinya. Memukulnya langsung tak berefek, mereka malah dengan mudah bangkit kembali. Mora berupaya keluar melalui atap tetapi tak kunjung menemukan lubang ventilasi. Oh, sial.
"Apa keinginan kalian, hah?!" bentak Mora kasar. Salah satu dari manekin itu mengerang keras seolah ada sesuatu.
Rupanya, seekor tikus berjalan diantara mereka dan timbullah kengerian diluar batas. Melihat itu justru Mora terkekeh geli, ingin mengerjainya.
"Ayo, pergi atau tikus ini menerkam kalian!" ejek Mora.
Samar-samar di luar pintu, terdengar hentakan sepatu yang menarik perhatian Mora. Buru-buru ekor matanya mengintip di balik celah jendela dan menatap lelaki disana. Salah satu tangannya sibuk memotret, mengambil gambar seraya melihat sekitar.
Mora mengetuk pintu sekeras mungkin berharap lelaki itu membantunya keluar. Di belakangnya, para manekin itu mendekat dengan langkah terseok-seok dan erangan kecil bagaikan zombie.
"Siapa itu? Hantu?"
Mora mampu mendengar bisikan dari mulutnya dan berpikir keras.
"Meong... meong!"
Mora berlagak layaknya kucing kelaparan. Kedengarannya Bodoh? Tentu saja. Namun, itu solusi yang cukup masuk akal. Meski suara Mora serak bercampur halus, hal itu tak menghilangkan suara asli seperti kucing.
Alhasil, lelaki itu mendekati pintu dan membukanya erat-erat. Raut wajahnya tampak tirus berhiaskan guratan pipi berwarna pucat. Kelihatannya ia sedang mengkhawatirkan sesuatu, tetapi sirna begitu saja setelah kedua netra miliknya bertemu dengan seorang gadis.
"Kucing! Kucing-Mora, apa itu kau?"
Mora mengajak Dresta keluar dari dalam ruangan. Dia langsung menutup pintu itu rapat-rapat dan tak membiarkan udara segar masuk. Mereka berjalan berdua melintasi lorong sepi dengan ribuan pertanyaan di benak Dresta. Lantas, salah satu tangannya menghentikan langkah Mora.
"Hei, apa yang terjadi?" tanyanya.
Mora mengernyit, "Kau lihat? Aku terkunci disana. Dan sialnya, tumpukan manekin itu hidup seketika seperti mayat kuburan!"
"Manekin? Terkunci? Siapa yang melakukannya?!"
Mora mendengus kesal, "Aku tidak tahu. Tidak ada gunanya marah sekarang," ucapnya menggerakkan kedua bahu.
"Ayo, kita kembali ke kelas. Teman-teman sudah menunggu."
Mora bernapas lega. Entah apa yang terjadi kalau-kalau Dresta, si pria kamera itu tak berkeliling sekolah atau lebih parahnya tidak ada seorang pun yang tahu tentang keberadaan dirinya. Masih menjadi pertanyaan besar, bagaimana mungkin manekin di benak kepalanya bangkit seperti mayat? Jika itu ulah salah satu temannya, dapat dipastikan Mora akan meremas hingga lembek.
~~~
Senyum-senyum manis nan berseri bertebaran menghiasi sekolah Junior High School. Burung dara berterbangan di atas langit membiru tanpa gumpalan awan. Jangkrik dan belalang bersembunyi diantara ilalang yang menghijau segar, kaki-kaki mungil mereka melompat-lompat ria dengan bunyi khasnya. Siswa berbaris rapi di lapangan basket sembari menunggu aba-aba dari kepala sekolah.
Di tengah keceriaan pagi hari itu, ada sekumpulan gadis yang sibuk berbincang tanpa mengindahkan barisan yang mulai tak rapi. Sesekali canda tawa memenuhi mulut dan mata keranjang mereka yang selalu mengawasi sekeliling.
Mora berdehem melihat Julia yang sibuk bertutur kata dengan temannya. Seketika tatapan sahabatnya itu menoleh padanya dengan melempar senyum. Dia beralih dari tempatnya berada dan melesat cepat menuju Mora yang berdiri pada barisan paling belakang.
"Nona Mora! Apa yang terjadi denganmu setelah kami tinggalkan tidur?" tanya Julia gemas sedikit terkekeh.
"Nona? Aku bukan putri kerajaan. Mengapa kalian meninggalkanku tidur? Padahal aku ingin bercerita lagi!" keluh Mora.
"Nona sedang darah tinggi? Nanti Julia belikan durian dua buah!" lagi-lagi gadis itu bersikap layaknya pelayan muda.
Mora tersenyum kecut, "Kau gila?! Darahku bisa lebih tinggi melebihi tinggi pohon akasia!"
Mereka tertawa terbahak-bahak dan hanyut dalam pikirannya masing-masing. Sedetik kemudian pipi Julia tampak berkerut, tidak bersemangat seperti tadi. Kedua tangannya gemetar memegangi pundak Mora.
"Mora! Kau tidak apa-apa? Semalam kau bisa tidur nyenyak?"
"Apa maksudmu? Kalau aku tidak bisa tidur semalam, hari ini mataku tentu menjadi panda! Ada apa?" Mora bertanya balik, sama sekali tak mengerti.
Julia bersungut-sungut, "Pukul enam pagi tadi, aku sempat berpapasan dengan Dresta. Dia bilang, kau mengalami hal aneh?"
Mora tergagap, ia sungguh kikuk. "Ah? Oh... itu hanya kejadian biasa! Tidak ada yang perlu ditakuti."
"Mora! Katakan sejujurnya. Aku ini sahabatmu! Yah, meski aku sangat penakut pada hal-hal gelap-kiranya aku tak membiarkanmu ketakutan sendiri."
"Jadi kemarin itu aku bertemu dengan..."
Kebetulan saat itu Ibu Luca sedang lewat membawa sebuah cangkul. Ibu penjaga kebun sekolah yang berambut bergelombang itu terkenal akan kecantikan intimidasi. Bagaimana tidak, lesung pipinya yang tertekuk tajam, mengisyaratkan kalau siapapun yang bertindak diluar kedisplinan maka mendapat akibat sepadan.
Dengan sedikit kasar, Ibu Luca memukul lengan dua orang gadis dengan cangkul hitam miliknya. Terdengar rintihan pelan dari mulut mereka, tetapi Ibu Luca tak memperdulikannya. Terlebih, teman-teman sekelasnya sedang menatap sinis ke arah Mora dan Julia.
"Asyik berbincang rupanya? Bagaimana mereka di kubur saja setengah badan? Agar ulat dan cacing menggelitik kaki putih mereka!"
"Setuju!"
Mora terkejut begitupula dengan sahabatnya. Membayangkan terkubur dalam tanah dengan kepala yang tersisa seperti mimpi buruk sepanjang masa. Namun, itu hanyalah guyonan belaka. Mereka hanya mendapat teguran keras dan tak mendapatkan hukuman lain. Beruntung, kepala sekolah telah menyalakan mikrofon, tandanya pengumuman acara seru akan diberitahukan.
Tenda berukuran kecil berdiri di sudut kelas masing-masing dengan tulisan yang terpampang.. Terlihat seperti ruangan semi permanen dengan berbagai permainan dan kuis yang ditawarkan. Cerita dongeng, menggambar tokoh favorit atau menebak aroma masakan. Semuanya begitu menarik tetapi bagi Mora itu sangat biasa.
Salah satu tenda berwarna keunguan berhasil menarik perhatiannya. Mora menggenggam lengan Julia dan Elvena, membawa mereka masuk ke dalam tenda dengan seorang lelaki bertudung gelap. Tulisan 'Paranormal' menyambut kedatangan ketiga gadis itu.
Lelaki itu membuka jubahnya dengan senyuman manis yang mampu menyihir siapa saja yang melihatnya. Bahkan terkena diabetes secepat kilat akibat ukiran senyum dari wajah lelaki itu pun tak membuat gadis-gadis bermata genit menyesal seumur hidup. Sebab, diabetes oleh senyuman lelaki bersifat sementara daripada gula. Oh, Mora tak ingin tahu menahu soal senyum dan diabetes. Membuang waktu.
"Apa keinginan kalian datang kemari?" tanyanya ramah. Julia lebih dulu mengangkat tangan seolah sedang menjawab pertanyaan.
"Tentu saja ingin melihat Anda," celetuk Julia genit.
Mora bergidik jijik, "Kau tidak normal. Sungguh."
"Huh, aku ingin meminjam mainan itu, kalau Anda memperbolehkan, haha!"
Lelaki itu memberikan sebuah boneka dengan tombol merah yang apabila ditekan akan menimbulkan bunyi ala wanita yang bersuara lembut bak penyanyi. 'Dimana, dimana tanganmu, sayang?' begitulah bunyinya setiap kali Elvena menekan tombol. Kedua gadis disebelahnya melempar tatapan sinis.
Mora mengulurkan tangannya ke arah lengan lelaki itu seraya berucap sepatah kata, "Siapa nama Anda?"
Lelaki itu tertawa tergelak, "Apa yang kau tak tahu sementara hanya aku yang tahu?"
Entah itu semacam tebak-tebakan atau pertanyaan, mereka bertiga lantas menjawab bersamaan, "Rahasia!"
"Itu jawabanku."
Terkejut? Tentu saja. Seandainya mereka tak menjawab, maka dengan mudah mereka mendesak untuk menanyakan nama. Namun, bagaikan gembok tanpa kunci yang tak mampu memberi celah, tidak ada kesempatan untuk bertanya kembali.
Perlahan, lelaki itu meraba lengan Mora. Kepalanya tergerak seperti sedang terapi pijat hingga mata elangnya berubah menjadi melotot. Tangan besarnya beberapa kali meremas kertas, seolah merasakan sesuatu.
"Ada apa? Aku masih normal, bukan?"
"Aku merasakan hawa jahat. Tapi, kedatangannya tidak bisa diprediksi. Mungkin, ketika kau percaya pada suatu hal, berhati-hatilah jika itu justru menjadi tembok penghalang."
Sontak, Mora bangkit dari duduknya dan segera berlari menuju ke kelas. Ada kekhawatiran yang membuncah dalam dirinya diikuti ketakutan selama ini. Julia dan Elvena menyusulnya, meninggalkan tenda yang sepi itu.
Kegiatan sekolah telah usai. Sebagian besar siswa mengeluh akibat jadwal kemah di sekolah yang sangat singkat, berbanding terbalik dengan Mora. Baginya, udara segar di rumah lebih baik daripada sekolah yang penuh mimpi buruk. Setidaknya hari ini saja.
Jam tangan Mora berdenging lebih cepat diikuti deru kendaraan di jalan raya yang semakin padat, menunggu datangnya rembulan. Ekor matanya menangkap seorang nenek tua berumur sekitar tujuh puluh lebih tua darinya yang sedang menunggu kesempatan untuk menyebrang jalan. Sepertinya nenek itu buta, kedua matanya tak berkedip sama sekali.
"Nenek? Ingin menyebrang?" tanya Mora ramah. Nenek itu membalas dengan anggukan pelan.
Dengan hati-hati, mereka menyeberang jalan yang mulai menyepi. Nenek itu bungkam sejak tadi dan tidak mengucapkan kata 'Terima Kasih' setelah sampai di tepian. Tangan keriputnya terasa begitu panas.
Ketika Mora ingin beranjak pulang meninggalkan nenek buta itu, samar-samar dari mulutnya terlontar kalimat pendek dengan mimik wajah yang tak dapat diartikan.
"Alam bawah sadar... alam bawah sadar..."
Seketika Mora mematung mendengarnya bahkan setelah nenek itu berlalu menaiki bus, ia mencoba mencerna kata-kata itu.
_________________________________________