Cahaya keemasan dari jendela ruang tamu mengusir sebagian sisi gelap semalam. Tampaknya hujan terhenti setelah matahari terbit di ufuk timur—sinar hangatnya bagai berwarna keperakan ketika menyentuh rumah-rumah semi permanen. Pengantar surat pos membunyikan bel sepeda dengan melempar sebuah koran harian sebagai suapan pagi bagi otak manusia.
Marissa terbangun lebih awal. Ia terlihat sibuk mendidihkan air panas, menuang beberapa serbuk cokelat pada gelas kaca. Bunyi nyaring dari ketel seperti tiupan terompet mini. Asap-asap kecil membumbung di dapur, dan dengan sigap Marissa mematikan kompor. Tidak berhenti disitu, jari-jarinya mulai mengiris bawang bombai dan sejumput tomat segar. Begitu terampil hingga tiada kesalahan sekecil pun saat wanita berkulit putih itu mencelupkan seluruh bahan ke dalam rebusan air.
Aroma menyengat dari sup bercampur aduk bersama cokelat hangat mampu menyihir hidung siapa saja yang menghirupnya. Terbukti, Mikael langsung memeluk Marissa dari belakang. Senyuman manis terukir di wajah mereka berdua.
Mora datang setengah berlari, menginjak lantai dapur seraya menunggu sarapan tiba. Kedua orang tuanya terduduk sedikit terpisah dari jarak kursi Mora. Agaknya mereka masih menyimpan sakit dada dan kepala yang terus merana pada hati Mora.
Untuk hari ini dan seminggu berikutnya, Mereka tidak akan menggelar doa sebelum makan mengingat kondisi berkabung tengah menghantui. Sarapan pagi itu begitu menggiurkan di lidah, tetapi entah mengapa rasanya sepat seperti belimbing muda di lidah Mora.
Bel pintu berbunyi beberapa kali. Lantas, Mora bangkit dari kursi dan meraih gagang pintu. Sedikit bertanya-tanya mengapa orang di depan pintu tidak meneriakkan kata-kata tegur sapa pada umumnya.
"Halo—"
"Andeca, Andeci, sukanya makan leci. Kalau kau tak beri, aku tak akan pergi,"
Rupanya hanya seorang pengamen jalanan yang cukup glamor bak model. Pakaian kumalnya seolah tak mencerminkan bahwa ia miskin. Langsung saja Mora menutup pintu karena tak ingin mendengar lagu tanpa judul, tetapi pengamen itu berhasil menahan pintu rumah.
Lagi-lagi ia bernyanyi dengan nada yang sama. Senar gitar dipetik seperti biasa, menghasilkan bunyi menggelitik telinga. Membosankan sekali melihat polesan bedak bayi di wajah si pengamen. Mora melempar recehan perak dan tanpa jeda segera menutup pintu. Suara gitar dan gemerincing bel tidak terdengar lagi.
"Siapa itu?" tanya Mikael dingin.
"Hanya orang iseng yang mencari perak, Ayah." Jawab Mora sedikit tertunduk.
Marissa memandang anaknya getir seraya berucap pendek, "Tidak berlatih biola lagi?" katanya.
Mora tersenyum, "Ibu, aku punya kabar bagus soal biola. Lihat ini!"
Gadis itu memperlihatkan ponsel miliknya yang isinya kabar menggembirakan bagi anggota orkestra untuk berpetualang ke kebun binatang. Selain itu, pihak kebun binatang juga menyiapkan perlombaan orkestra terbaik. Orkestra yang mendapatkan juara akan di berikan hadiah sharing—semacam berbagi kebahagiaan sesama anggota—yang sangat rahasia dan juga tiket kapal untuk menyeberang pulau-pulau kecil.
Marissa menyambut kabar bahagia itu dengan senyum mengembang. Ia baru saja tahu, Mora mengikuti seni orkestra yang tak pernah ia duga selama ini.
"Mora! Kenapa tidak pernah memberitahu ibu?"
Mora berpaling, "Apa Ayah tidak mengabari?"
"Untuk apa? Lebih baik begini sebagai kejutan." Ucap Mikael sedikit genit.
Mereka saling berpelukan dan tertawa lepas. Syukur saja mereka mampu untuk bangkit dari keterpurukan setelah kehilangan Emily. Namun, kehilangan tetap kehilangan. Nasi telah menjadi bubur, itu tandanya harta tidak akan bisa bersatu lagi setelah hancur. Marissa dan Mikael saling bertatapan sekitar semenit dan mengangguk rendah satu sama lain.
"Semut, manusia, gajah. Pilih mana?"
Rombongan orkestra melaju cepat ke arah barat. Mesin terdengar begitu keras dan meraung panjang akibat gesekan antara pedal gas. Anak-anak di dalam bus asyik bercanda, menjahili atau sekadar melihat pemandangan di balik jendela. Sesekali Ibu Lizzy berdiri di tengah mengawasi sekeliling.
Mora bersama Julia dan beberapa temannya sedang bermain permainan klasik. Cara bermainnya cukup mudah, tinggal merentangkan ibu jari, jari telunjuk dan kelingking. Di mana ibu jari sebagai gajah, telunjuk sebagai manusia dan kelingking sebagai semut. Mereka tinggal memilih untuk mematikan salah satu makhluk secara bergantian. Terdengar mudah, tetapi butuh ketelitian tinggi agar tidak sampai kalah.
Berulang kali Mora meraih kemenangan. Hal itu cukup membuat Julia dan Ricko melongo keheranan. Namun, mereka tak ingin menyerah lebih dulu.
"Hore, aku menang!" seru Julia bangga. Melihat seluruh jari-jari temannya tertutup semua menandakan bahwa ialah pemenangnya.
"Ah, semut sedang lewat. Lihat? Walau dia sangat kecil dan tidak bermutu, tetapi mampu menumbangkan seekor gajah!"
Mora menyalip kemenangan Julia dengan menyentuh ibu jari sahabatnya itu, satu-satunya jari yang masih tersisa dan Julia menutupnya. Otomatis Mora menang kesekian kalinya. Julia terdiam menatap sahabatnya. Kalah telak? Sudah pasti.
"Astaga, aku lupa dengan jari kelingking milikmu Mora! Sial, sial," umpat Julia.
Tak terasa, perjalanan mereka sudah sampai di tempat tujuan. Kebun dengan segudang hewan langka dapat mudah ditemukan di wilayah ini. Luasnya mungkin tidak sebesar kota terpadat di dunia, tetapi cukup untuk menampung binatang yang hampir punah dari peradaban modern.
Anak-anak langsung dimanjakan dengan burung jalak yang lihai berkicau lembut layaknya seorang penyanyi di panggung utama. Sekumpulan turis asing sibuk memotret diikuti para tour guide dari belakang.
"Seandainya aku memiliki burung itu. Pasti aku betah melihatnya sepanjang hari..." gurau Ricko, seorang pianis yang ahli menekan tuts-tuts nada.
Julia mengernyit, "Benar begitu? Apa kau tidak takut dengan petugas perlindungan hewan kalau ketahuan?" tanyanya.
"Aku akan menyihir mereka dengan piano!" jawab Ricko bersemangat. Anak-anak membalasnya dengan tawa.
Seharian berjalan, mereka mengistirahatkan diri. Sejenak melupakan penat yang masih melekat. Namun, api semangat seolah menyala begitu saja setelah para petugas memanggil Mora dan anak-anak lain. Mereka akan mulai menggelar pertunjukan orkestra.
"Sebentar lagi perlombaannya akan segera dimulai. Ayo, bersiap!"
"Siap!" seru seluruh anggota orkestra.
Salah seorang pembina mendatangi mereka. Bermaksud untuk menjelaskan terkait perlombaan yang akan segera dimulai. Kemudian, Mora dan teman-temannya diajarkan untuk melakukan pengubahan ritme yang sering mereka gunakan pada melodi musik agar tidak terkesan biasa saja. Ibu Lizzy menuntun mereka bersama pembina itu.
"Apa ini tidak bermasalah? Maksudku, kami baru berlatih teknik nada musik ini dan mungkin akan menimbulkan ketidakseimbangan?" celetuk Mora saat pembina itu memberikan sesi tanya jawab.
"Kalian pasti mampu. Lagi pula lebih menarik daripada ritme yang asli bukan?" katanya.
"Oh? Mengapa harus repot? Kami sudah memiliki banyak kemampuan untuk itu," sahut Julia.
"Sudah kukatakan itu agar lebih menarik dan perfeksionis, bukan?"
Lagi-lagi pembina itu melontarkan kata-kata yang sama. Mora sedikit kesal, tetapi tidak ada pilihan selain. Ibu Lizzy menenangkan mereka dan memberi semangat.
Setiap grup orkestra dari berbagai wilayah akan diberikan kesempatan tiga kali untuk memperbaiki instrumen musik apabila mengalami kesalahan. Tentunya setiap grup dibagi-bagi sesuai urutan dan tidak ada yang akan menyalip giliran.
Grup orkestra yang Mora ikuti berada di posisi terakhir. Mereka cukup lama menunggu hingga menginjak petang hari. Tiba-tiba saja pembawa acara memekik keras seraya memanggil mereka semua.
Pertunjukan dari semua orkestra terbilang memukau. Sedari awal mereka begitu gugup semenjak menginjak lantai panggung. Seluruh pengunjung menatap mereka dengan gejolak emosi dan sudah tidak sabar menunggu. Bahkan, jerapah melihat pertunjukan yang akan segera dimulai di balik kerangka besi. Lampu neon menyinari gegap gempita pertunjukan yang sangat dinantikan.
Ketika mereka sudah membunyikan genderang, piano milik Ricko terdengar sumbang. Otomatis mereka tegang. Keringat memenuhi dahi Mora, takut kalau-kalau ia membuat kesalahan pula. Ibu Lizzy sedikit bergetar di sebelah mereka.
"Kalian punya dua kesempatan lagi. Ulangi," seru sang juri di depan kursi penonton. Wajah mereka begitu penasaran dengan pertunjukan dari orkestra itu yang mungkin saja tidak akan masuk juara.
Anak-anak menelan ludah. Mereka memulai dengan santai dan orkestra berlangsung sukses. Di pertengahan alunan musik yang membahana, lagi-lagi secuil masalah muncul. Julia meniup seruling terlalu tinggi akibat tidak sempat menghirup udara. Akibatnya paru-paru kembang kempis dan tidak mendapat pasokan oksigen.
Seketika mereka terhenti kembali. Ketiga juri di hadapan mereka memasang muka jenuh. Salah satu juri itu pun mengungkap kekecewaan kepada mereka. Apa sesungguhnya Mora dan anak-anak itu memang sudah terdidik? Percekcokan muncul di antara para penonton yang mulai lesu.
Mora mencoba berpikir. Jika kesalahan kembali terulang, apa akar masalahnya? Ibarat membaca komik tetapi tidak sesuai dengan ekspektasi pastinya otak kita merespon untuk mengatakan 'tidak'. Lalu, kondisi sekarang apa masih bisa dikatakan seperti itu? Kalau memang bisa, maka Mora tahu jawabannya.
Sebetulnya sebelum menginjak panggung pun Mora sudah tahu. Teman-temannya belum terlalu memahami musik yang diajarkan oleh salah satu pembina tadi. Hanya alasan 'agar terlihat perfeksionis' maka terpaksa menenggelamkan instrumen asli yang sering Mora lakukan selama di orkestra.
"Semuanya," kata Mora tiba-tiba. "Dengar aku. Ingat, kita harus mengubah haluan musik! Lakukan apa yang kalian mampu! Karena orkestra ini milik kita bukan mereka!"
Kata-kata mutiara itu menyadarkan mereka. Ricko kembali mantap di depan piano seraya melenturkan tangan. Mora menyiapkan tongkat miliknya, bersiap menggesek dengan merdu. Konduktor berdiri tegap sembari mengganti kertas tangga nada. Julia bersama rekannya menggenggam seruling dengan percaya diri kali ini.
Mula-mula, Mora menggesek biola begitu cekatan sebagai pembuka bak biola termahir di dunia, Jhosua Bell. Di ikuti anggota biola yang lain dan menghasilkan melodi lembut tetapi terkesan begitu kuat. Ricko mensejajarkan nada dengan menekan tuts-tuts piano secara bergantian.
Sang juri terpana melihat perubahan dari orkestra tersebut. Seutas senyum terukir di wajah mereka dan segera menulis poin. Meski mereka sangat mustahil untuk bangkit, mengingat hanya tersisa satu kesempatan tetapi itu bukanlah penghalang.
Hingga menyentuh detik-detik terakhir, penonton bertepuk tangan riuh. Mereka melempar kertas-kertas bertuliskan kata-kata cinta. Ketiga juri bahkan melompat-lompat tinggi.
Hasil pengumuman akhir, mereka menempati urutan runner up atau nomor dua dari 19 grup. Tentu saja ini sebuah kebanggaan bagi Mora dan Julia tersendiri.
"Hei, Mora! Atraksi darimu benar-benar ajaib!" seru teman-temannya terpukau. Mora tersipu malu sedikit menyunggingkan senyum.
Hadiah yang akan mereka terima ialah hadiah sharing dan tiket kapal. Untuk hadiah sharing salah satu dari anggota orkestra mengambil hadiah itu di ruang pameran dengan mengambil dua kado sesuai warna kesukaan masing-masing. Tentu saja isinya rahasia, setelah dapat maka anggota itu akan memberikan hadiah kepada sahabat atau teman seperjuangan.
"Mora, tutup matamu ya! Aku akan membawa hadiah sharing!"
"Jangan lupa warna merah!"
Julia membalikkan badan Mora yang berdekatan dengan dinding dan meletakkan kedua tangan sahabatnya itu di belakang punggung. Bergegas ia meninggalkan Mora sendirian di sudut akuarium.
Satu menit, dua menit, lima menit. Julia tidak kunjung datang. Mora tetap menutup mata, menunggu hadiah yang akan Julia berikan.
Suara langkah sepatu terdengar dari belakang. Mora berpikir, itu pasti Julia. Pemilik langkah sepatu itu seperti sedang mencari sesuatu, terbukti Mora merasakan ada angin yang bergerak di sekitar pinggangnya. Terkadang pemilik langkah sepatu itu sedang berkeliling. Karena tidak ada respon, Mora memberanikan diri untuk berbicara.
"Julia, apa itu kau?"
Tidak ada yang menyahut. Hening. Sedetik kemudian tangannya terasa berat. Jari-jari hangat sedang menggenggam tangannya dan kini menggenggamnya kuat.
"Ah, Julia! Kau sudah mendapatkan hadiahnya? Aku dapat apa?"
Lagi-lagi tidak ada suara. Namun, Mora tetap bersikukuh bahwa Julia sedang ada di belakangnya. Sahabatnya pasti sedang mencoba mengerjai.
Tangan hangat itu berhenti memegang lengan Mora. Gadis itu masih menutup mata. Saking lamanya, Mora menggertak sebal.
"Julia! Aku dapat apa?!"
"Borgol untuk penjahat sepertimu."
Seketika Mora membeku. Ketika ia membuka mata, dua polisi bertubuh tegap menahan dirinya dan tidak dapat bergerak bebas akibat kedua tangannya telah di borgol kuat.
Salah satu dari mereka mengeluarkan bukti berupa ponsel. Isinya berupa rekaman kamera pengawas yang memperlihatkan Mora sedang berjalan tergesa-gesa waktu itu dengan tangan penuh lumuran darah.
"Itu buktinya. Mengerti sekarang? Hasil sidik jari juga membuktikan tuduhan itu. Ikut kami," ucap polisi bertopi biru.
Dari kejauhan, Julia melihat sahabatnya. Bukan, mungkin sudah tak dapat dikatakan lagi begitu. Sebab tangannya telah terborgol bersama dua orang polisi. Mungkinkah Mora merupakan buronan polisi? Terjerat kasus? Tetapi, kasus apa?
Mora bertukar pandang dengan Julia. Ada keterkejutan dan perasaan begitu muram di mata gadis sebaya itu. Pertanyaan menohok menyerang hati Mora.
"Kau penjahat?"