Chereads / TINTA MERAH (PARANORMAL) / Chapter 11 - [10 — Tinta Merah]

Chapter 11 - [10 — Tinta Merah]

When the dark comes .....

Mora begitu ketakutan sampai-sampai ingin pingsan di tempat. Tidak, tidak ada waktu untuk menjadi seorang penakut. Ia menghirup udara segar sebanyak mungkin untuk meredam rasa panik. Mora segera bangkit dari duduknya dan mengeluarkan tangan Anne dari penggiling daging. Tangannya meraba denyut nadi sahabat kecilnya itu. Sayang, tidak berdenyut atau berdetak. Anne telah menjadi mayat.

Beragam pertanyaan muncul di benak Mora seketika. Paman gila? Jikalau memang ada, lalu siapa dia? Oh, memikirkannya saja serasa Mora adalah tokoh utama di komik seram. Tunggu, komik? Benar juga. Mora harus bergerak hati-hati layaknya pemeran utama yang sedang mencari hantu.

Sebelum bergegas keluar, Mora membasuh tangannya yang penuh lumuran darah Anne dengan air mengalir. Takut kalau ada orang yang berprasangka buruk atau mengira dirinya dengan berpikir yang tidak-tidak. Dalam kondisi genting ini, satu jawaban yang Mora pikirkan adalah membawa benda tajam pula. Ia mengambil sebilah pisau daging dari dapur dan berjalan diantara lorong bagai labirin.

Setelah berjalan selama beberapa menit, Mora menemukan cermin. Di sana ia sibuk meratapi wajahnya sendiri. Noda darah sedikit memenuhi pipi miliknya. Tiba-tiba terdengar suara derak langkah sepatu sekitar lima meter. Mora lebih memilih sibuk dengan aktivitasnya. Alangkah terkejutnya setelah menatap cermin itu.

Seorang pria jangkung yang Mora kenali lewat kamera pengawas kini sedang berdiri di belakang. Terlebih, pria itu sedang melototi Mora tajam. Napasnya tercekat. Buru-buru Mora menyiapkan pisau.

Hanya jam dinding memecah kesunyian itu. Sesekali cicak dan tokek saling bersahut-sahutan. Lain halnya dengan Mora, ia sedang dalam kebimbangan. Sejurus kemudian, Mora melancarkan serangan. Oh, bagaimana gaya seorang gadis yang sedang berperang? Mora mengacungkan pisau layaknya seorang samurai memegang katana. Hanya saja ia menyerang angin lalu, sementara pria itu semakin mendekat. Berlari adalah pilihan yang tepat.

Setelah berjuang mencari jalan keluar, Mora menemukan kamar tamu. Ya, tempat terakhir kali pertemuan dengan Anne. Sesaat ingin meraih gagang pintu, suara nyaring dari mesin penggiling menyadarkan Mora. Ia tidak akan pulang dengan mudah begitu saja. Di satu sisi merasa takut tetapi disisi lain Mora ingin langsung berhadapan dengan penjahat.

"Mati kau!" serunya lantang.

Mora berkacak pinggang, "Kau duluan! Aku akan menyusul sambil membawa daging untukmu!"

Merasa tertantang, pria itu menyeruduk Mora bagai banteng yang kelaparan. Tidak, banteng itu tidak selalu lapar. Ia hanya murka karena warna merah. Saat ini juga, pakaian Mora penuh noda darah. Tidak ada alasan di balik semua itu.

Sial. Mora berkali-kali mengumpat ketika pria itu tidak memberikannya waktu jeda untuk melarikan diri. Dengan kesal, Mora melempar pisau dan menyerang balik dengan mencoba merebut penggiling itu. Terkadang memilih pilihan bodoh adalah tak masuk akal. Namun, apa salahnya mematahkan tanduk banteng jika diri merasa terancam?

"Buka! Ayolah sekali saja..." Mora bergumam ketika mencoba membuka pintu rumah Anne yang anehnya terkunci tiba-tiba. Sementara pria di belakangnya memasang senyum liar.

Mora keluar dari rumah Anne dan menutup pintu. Nyawanya kini selamat. Dari arah depan, lelaki berkulit putih menghampirinya dengan sedikit panik.

"Hei, apa yang terjadi? Aku mendengar suara teriakan disini," ungkapnya terbata-bata.

"Kenapa kau bisa tahu?" Mora bertanya balik.

"Ah, aku lupa kau bukan Anne. Aku tetangga disini yang baru saja pindah tiga hari lalu." Jelasnya seraya menunjuk ke arah sebelah timur.

Jarak rumahnya dengan Anne cukup berdekatan dan wajar kalau ia mendengar suara teriakan dari

mulut Mora. Sesaat gadis itu agak ragu menjawabnya, tetapi apa gunanya berbohong.

"Tidak ada paman Balt?" tanyanya lagi.

"Siapa itu?"

"Paman Anne. Dia seorang pegawai gudang. Baru-baru ini aku lihat Anne bersama pamannya sibuk merenovasi rumah. Oh ya, penggiling apa di tanganmu itu?"

Mora terbelalak, penggiling itu berada di tangannya sekarang. Padahal ia bersumpah kalau melempar alat itu jauh-jauh. Suara mesin motor terdengar dari kejauhan dan menepi tepat di depan rumah Anne.

"Ah... aku hanya-"

"Nah, ini Paman Balt. Kau ingin berkenalan?"

Mora melarikan diri sesudah melempar alat penggiling daging itu sambil menangis sesenggukan. Marissa yang melihat hal itu hanya bingung setelah Mora memeluknya erat.

Keesokan harinya, Marissa bersiap dengan dandanan ala wanita kerajaan. Karena merupakan hari spesial, ia sampai rela menyemprotkan parfum mewah yang disembunyikan pada lemari pribadi. Mora ikut senang melihat tingkah ibunya bak putri dan ratu. Di sisi lain ia sedikit risih dengan polesan lipstik di bibirnya. Terkesan sedikit berlebihan. Bahkan Mikael pun tak kalah tampan pula. Hampir-hampir Mora menganggap bahwa ayahnya menjadi orang lain.

Reporter televisi datang bergantian. Mobil-mobil pemancar sinyal terparkir di halaman depan rumah Mora. Mereka sibuk mewawancarai model cantik yang terduduk diantara para lelaki. Tatapan mesum dari mereka sirna setelah Mikael datang menemani sang istri. Seperti bodyguard menjaga harta tak ternilai.

Sedangkan Mora? Gadis itu lebih memilih mengintip rumah Anne di balik jendela kamar. Di sana, polisi dan pihak investigasi sedang menginterogasi tempat kejadian. Mayat Anne yang terbungkus kain putih menyadarkan Mora terkait aksinya kemarin sore. Gadis itu tak tahan menatap kepergian sahabat kecilnya. Seorang pria bertubuh jangkung dan berambut sedikit cokelat menangis histeris. Balt, itu nama pendeknya. Dia paman Anne. Namun Mora masih meragukannya. Jika benar itu pamannya, lantas siapa paman gila yang menyerang Anne dan dirinya? Sungguh tidak masuk akal.

Mora mencari Emily yang asyik menggambar pada kertas putih di gudang. Mereka bermain-main sejenak sembari menunggu Marissa menyelesaikan wawancaranya. Oh, Mora mulai ingat sesuatu. Lucas? Pria itu pasti datang. Ketika ingin beranjak, Emily menghentikan kakaknya.

"Kak, mau kemana?" tanya Emily.

Mora tersenyum, "Rahasia!"

"Huh? Bertemu pacar bukan? Aku bisa lihat dari segi postur senyum dan satu jerawat di dahi kakak!"

Mora terkejut setengah hidup, "Haha! Yang benar saja?" katanya lalu pergi meninggalkan Emily. Lagi-lagi adik perempuan itu menarik lengan Mora.

"Apa lagi?"

"Boleh aku pinjam pulpen kakak?"

"Tentu saja untuk adikku yang manis!"

Sesaat Mora berbalik badan, menoleh ke arah sudut lemari gudang. Di sana, terdengar bunyi dentingan bagai kelereng yang memantul. Setelah diperhatikan lebih lanjut, itu adalah kacang polong. Mora sedikit merasa hawa menjadi panas, tetapi ia memilih untuk mengabaikannya saja.

Langkah kaki Mora menapak cepat di tangga, mencari keberadaan Lucas diantara puluhan reporter. Marissa sangat sibuk di detik-detik menjelang akhir wawancara. Ia harus bertanda tangan hingga beratus-ratus lembar. Saking banyaknya ia sampai mengurut kepala.

Pria bertopi singa teralihkan perhatiannya setelah melihat seorang gadis cantik di ambang pintu. Lengan kekarnya meraba pewangi-disemprotkan ke mulutnya agar segar macam orang yang sedang mabuk cinta. Lebih tepatnya cinta monyet. Hanya saling tertawa dan melempar canda.

"Mora!"

"Eh, anak ayam!" Mora sedikit terkejut melihat kehadiran Lucas di depan mata.

"Lucas! Lain kali jangan berteriak memanggil namaku!" sambung Mora. Lucas tidak tertunduk, ia tertawa tergelak melihat muka cemberut dari gadis itu.

"Rumahmu besar juga. Aku penasaran apa isinya," sahut Lucas melihat kemegahan rumah Mora bernuansa kayu jati itu.

Mora terkekeh, "Kau kira apa? Batu? Alien? Ayo, ikut aku."

Mereka menjelajah keseluruhan rumah Mora dengan berbekal kamera yang melingkar di leher Lucas. Sesungguhnya kamera itu ialah salah satu alat media berita berupa cetakan foto. Jadi, para pembaca sekalian dapat menebak apakah cerita yang disajikan benar-benar sesuai keadaan di lapangan.

Ketika hendak menyuguhi Lucas dengan jus apel, Mora mendengar teriakan. Arahnya dari atas atau lebih tepatnya di gudang penyimpanan barang-barang antik. Seketika ia ingat dengan Emily. Gadis itu masih di sana. Teriakan bercampur keputusasaan itu semakin mendengung di telinga Mora. Cepat-cepat kakinya beranjak menuju gudang, meninggalkan Lucas sendirian.

"Emily?! Kau disana?" Mora memanggil nama adiknya tetapi tidak ada yang menyahut. Hanya suara teriakan itu terulang-ulang terdengar.

Pintu berderit, Mora menatap Emily yang tersedot masuk-padahal tidak ada lubang disana. Gadis itu ingin berkata-kata tetapi ia tahan. Hanya teriakan setiap kali Emily menggerakkan kakinya. Tunggu, kaki? Ada penyusup? Mora yakin itu bukanlah pencuri.

Mora membulatkan matanya, menatap sebuah tangan yang muncul dari lantai kayu. Tangan itu berwarna hitam, begitu panjang dan sedang menarik Emily. Kuku-kuku tangan itu sangat tajam nan runcing. Beberapa kali Emily ingin melepas jeratan dari tangan itu tetapi membuatnya semakin tersiksa. Darah menetes memenuhi kakinya.

"Emily! Pegang tangan kakak!"

Ketika mereka mencoba bersikeras melepas dari tangan misterius itu, entah darimana datangnya tenaga yang sangat kuat menarik Emily. Tangan itu hampir merenggut tubuhnya seperti berenang di kolam sedalam sepuluh meter. Matanya menghadap ke atas, betapa menyakitkan siksaan adiknya itu akibat tangan misterius.

Tangan itu hilang seketika diikuti Emily tergeletak lunglai. Darah membasahi gaun abu-abu milik Mora yang kini penuh aroma anyir. Ekor matanya menangkap buku gambar Emily.

Buku gambar itu tertulis tulisan nama Emily sendiri yang di buat dengan pulpen pemberian Mora. Namun, pulpen miliknya berisi tinta merah. Sekejap Mora tertegun tak berani menatapnya.

Di belakangnya, Lucas berdiri tegak. Menatap seluruh rangkaian kejadian berdarah itu. Kamera miliknya merekam setiap detik insiden yang terjadi hingga akhir. Dia mematung, melihat Mora menggenggam badan Emily dengan darah memenuhi sebagian lantai gudang.

Mata mereka bertemu, Mora menangis sesenggukan.

"Lucas ...."