Sore itu, ketika orang-orang sedang melakukan wawancara langsung dengan Marissa, ada setitik rasa yang memberatkan hatinya. Ia kemudian menyadari, anak-anak semata wayangnya tidak terlihat batang hidungnya ketika membiarkan mereka berada di dalam rumah.
Marissa meninggalkan teras rumah, bergerak setengah berlari dan berdiri tegang. Mata semu miliknya belum melihat keberadaan Mora atau Emily. Takut kalau-kalau mereka hilang.
Isak tangis terdengar lirih. Arahnya dari gudang. Ketika Marissa ingin mencari tahu, badannya seketika remuk. Melihat darah mengalir deras yang berasal dari gudang. Di sana, seorang reporter berita yang tidak Marissa kenali, terdiam seperti patung di taman kota. Namun, kedua tangannya tetap memutar kamera beberapa inci-menangkap pemandangan di depan. Marissa perlahan mendekat dan jiwanya hampir terenggut oleh malaikat maut.
Mora menggenggam tubuh Emily yang bersimbah darah seraya sedikit merengkuh, mencoba menyadarkannya dari koma. Oh. Sayangnya, tubuh itu telah kehilangan nyawa.
Kemarahan Marissa tidak dapat terbendung. Polesan make up di wajahnya basah oleh air mata dan tercipta rupa yang mengerikan. Ia menggendong Emily yang tidak bernapas-tendangan keras di layangkan pada Mora.
"Mora! Jelaskan, mengapa Emily begini hah?!"
Air mata Mora menetes ke lantai, "Ibu—"
Marissa pingsan bersama dekapan Emily yang sudah tidak bernyawa tepat terbaring di sebelah Mora. Para Reporter yang kebingungan pun sangat begitu terkejut melihat kejadian mengenaskan. Terlebih Mikael, sang ayah yang telah bersusah payah menumbuhkan anak kini benar-benar hancur. Sungguh menyedihkan.
Tepat pukul sembilan malam. Biasanya keluarga Mora akan bercanda atau makan malam sambil menonton acara televisi kesukaan. Kadang-kadang Mora berlatih biola di kamar tidur. Hari ini mereka hanya makan sejumput jagung rebus untuk menunda rasa lapar sembari membawa sebuah peti. Emily akan dikuburkan tepat malam ini.
Pemuka agama dan orang suci menyenandungkan mantra penghormatan. Di susul oleh sahabat serta kerabat Mora dengan membawa sepucuk bunga lily. Bunga seputih sutra sebagai lambang kematian.
Tangisan mewarnai proses penguburan peti mayat Emily yang berhias peti kaca. Mora menatap wajah pucat adiknya, meski begitu kecantikannya tetap melekat. Emily mengenakan gaun putih-salah satu warna favoritnya-di buat setulus hati oleh Marissa. Sebelum benar-benar terkubur, Mora menyentuh peti kaca itu sebagai pertemuan terakhir kalinya dengan Emily. Setelah tanah basah mengubur peti, bunga lily di letakkan secara serempak ke liang lahat.
Seluruh pelayat meninggalkan pemakaman umum itu terkecuali kelelawar dan Mora. Dia tidak sendiri, Kent menemaninya.
Awalnya tidak ada yang berbicara lebih dulu. Kelelawar usil pun menjalankan aksinya melihat dua gadis perawan di tengah kuburan. Malam hari pula. Di benak mereka, gadis itu mungkin saja sedang menunggu kedatangan hantu. Buah apel busuk terjatuh tepat di atas kepala mereka. Kent mengeram marah, tetapi Mora tetap diam. Ia sedang berpikir dengan kepala dingin.
"Kent"
"Mora!"
Mereka tidak sadar akan saling bersahutan memanggil nama. Detik dan waktu yang sama pula. Apa ini sebuah kebetulan? Jika iya, maka pantas untuk mendapat penghargaan. Sayang, itu hanya lelucon bodoh.
Mereka kembali terdiam. Seolah ada seonggok es batu yang menutup mulut. Kent menghela napas panjang.
"Katakan padaku. Kau sedang sakit?" celetuk Kent. Pembicaraan secara tiba-tiba sedikit membuat Mora terkaget.
"Aku sehat," jawab Mora lemah.
"Benar? Apa kau kerasukan setan?"
"Tidak! Aku benci mereka!"
Kent memutar otaknya kembali. Berharap agar ia menemukan titik masalah soal kematian Emily. Sesungguhnya ia juga sama bingungnya pula.
"Ah, kau mengalami halusinasi?"
Di titik ini, Mora akhirnya mengangguk. Entah karena halusinasi atau tidak, ia tak pernah tahu apa penglihatannya benar-benar begitu? Meminum obat penenang pun tak membuatnya tenang. Justru membawanya ke arah yang lebih mencemaskan lagi.
"Ibumu bilang kalau kau yang menemukan Emily? Atau justru kau memang merencanakan hal 'itu' ya?" Kent menekankan kalimat terakhirnya. Ia sangat penasaran sekarang.
Mora mengepal tangannya, "Sama sekali tidak! Aku tidak pernah ingin membunuh Emily! Ada salah paham dengan kasus adikku!" katanya serak.
Pernyataan Mora tidak menggoyahkan pertahanan Kent. Dia tersenyum miring.
"Kadangkala, orang yang banyak bicara sesungguhnya bodoh. Kata-katanya hanya siasat busuk untuk masalah berikutnya!" jelas Kent. Mora tersentak mendengarnya.
"Aku bisa jelaskan kejadian itu, dengan syarat kau tidak boleh mengakhiri ceritaku,"
"Oh, Hanya itu? Aku bersedia untuk mendengar sampai selesai. Ayo, ceritakan!"
Mora menyiapkan udara di paru-paru agar tidak kehabisan napas. Tangannya merengkuh dada dan kini mulai bercerita.
"Aku melihat tangan hitam. Muncul dari lantai gudang. Dia meraih kaki adikku dan tentu saja berteriak. Ketika aku ingin membantu melepasnya, adikku semakin kesakitan. Darah segar tiba-tiba mengalir-"
"Cukup Mora!" ujar Kent menutup telinganya.
"Darah membuatku takut, apalagi semakin banyak. Tapi tangan aneh itu terus menarik. Aku tidak tahu darimana kemunculannya. Saat itulah Emily..."
"Kukatakan Cukup! Berhenti Mora! Kau dengar tidak?"
Mora tetap melanjutkan, "Mataku panas, tubuh dan tangan seperti mati rasa. Emily pergi secepat itu. Bayangkan! Pasti ada seseorang yang mengirim hantu-hantu itu! Dasar biadab, satu-satunya adik milikku harus pergi!"
Tepat setelah mengucapkan kata-kata terakhir itu, Kent meninggalkan Mora sendirian. Pemakaman semakin pekat di tambah keheningan malam yang menambah kesan suram. Mora melewati deretan batu nisan, meninggalkan peristirahatan terakhir Emily yang tertutup oleh kabut memutih. Api lentera menyinari langkah Mora untuk pulang.
"Siapkan buku kalian, bapak akan memberikan tugas!" celetuk seorang guru berkumis tipis.
Bapak Rompies. Begitulah anak-anak sering memanggilnya. Guru literasi itu terkenal akan pakaian yang tidak biasa. Setiap hari dia mengenakan setelan jas kebiruan dengan balutan jaket hitam yang tipis. Sedikit memanjang pada bagian belakang pinggang. Hal itu seperti mengibaratkan guru itu baru saja berkelana ke dunia sastra yang sarat akan buku dongengnya.
Mora membalikkan halaman buku pelajaran sembari bersiul dalam diam. Berulang kali menatap lembaran pelajaran terasa begitu hambar. Jika bisa di bandingkan dengan buku dongeng atau misteri, percayalah Mora langsung betah membacanya satu-persatu hingga menyentuh halaman terakhir.
Tugas sastra tidak begitu sulit untuk di kerjakan. Para siswa mengambil satu koran dan membuat sebuah kliping. Nantinya, mereka dapat berkomentar disana atau menyuarakan kritik terkait sajian berita.
Ketika Mora sedang mengerjakan tugas, seseorang menepuk pundaknya dari belakang. Bukan hanya sekali, tetapi berkali-kali. Seolah ingin menyampaikan sesuatu.
"Julia? Kapan kau pindah tempat duduk?" tanya Mora.
"Itu tidak penting. Ini, lihat. Aku menemukan potongan liputan berita ini," ucap Julia sembari menyerahkan koran.
Berita sekilas hari ini: Ditemukan kejadian aneh pada sebuah rumah yang dirumorkan pembunuhan terencana. Berikut dengan gambarnya. Korban diidentifikasi yakni gadis berusia sekitar sepuluh tahun. Saat ini para polisi sedang melakukan diskusi serius. (Ls/red)
Walaupun itu hanya berita pendek semata, Mora tercengang melihat foto yang ditampilkan. Itu rumahnya! Beruntung Julia belum mengetahui letak dan wujud rumah miliknya. Tetap saja ia merasa was-was. Bisa saja berita itu melahirkan desas-desus baru.
"Tukar saja korannya ya! Kurasa berita itu lebih bagus." Mora berucap tanpa memandang ekspresi kosong Julia.
Hujan mengguyur perumahan yang cukup sepi kala malam menyelimuti. Hanya satu penerangan jalan di depan rumah Mora sedikit mengusir kegelapan. Petir menyambar pepohonan dan tanah, menciptakan ledakan gemuruh yang menimbulkan getaran rendah. Kucing hitam mengeong antara tumpukan sampah diikuti rintik air semakin deras. Anjing liar melolong panjang menghantui para umat saat menjelang tidur. Sekiranya itulah Mora rasakan berada di kamarnya seorang diri sambil meratapi buliran hujan di balik jendela dengan embun dingin.
Telinganya masih terjaga mendengar tangisan Marissa. Mora tahu, ibunya sedang berada di titik terendah. Depresi berat. Marissa tidak berniat keluar rumah, ia juga tidak berselera makan. Hari-harinya diwarnai kepedihan hati. Matanya semakin bengkak di kemudian hari. Apalagi Mikael, hanya termenung di atas meja makan sesekali melihat kemunculan petir di balik awan hitam.
Mora menutup mata rapat-rapat. Bergegas menyelam masuk ke alam mimpi. Namun, ia tidak bisa tidur meski memeluk bantal guling atau mengatur posisi ternyaman. Konsentrasinya pecah saat mendengar suara pecahan.
Mora menuruni tangga ditemani senter. Keadaan rumahnya benar-benar gelap. Hujan di luar seakan mampu menghancurkan langit semesta dalam sekali retakan akibat petir. Atmosfer tidak bersahabat langsung menyerang Mora ketika berjalan di atas lantai dingin dan piyama tipis tak mampu memberikan kehangatan.
Mikael tertidur lelap di atas meja makan. Raut emosi wajahnya terukir jelas. Mora ingin membangunkan ayahnya tetapi niat itu urung. Ia menghangatkan ayahnya dengan melapisi selimut tebal. Berharap Mikael sedang mimpi indah.
Suara pecahan itu terdengar lagi. Asalnya dari luar. Mora membuka kunci pintu perlahan dan berhasil terbuka. Di luar sana, sekumpulan kucing hitam meneduhkan diri di antara kardus bekas. Mora mendekati kucing itu dan berniat memberikan sedikit sentuhan.
"Kedinginan ya?"
Kucing itu berlalu meninggalkan Mora sebelum ia mampu menyentuhnya sebentar saja. Kucing hitam itu lalu terhenti beberapa meter. Tak peduli basah karena air hujan, dia memandang Mora sekilas dan berlari hilang dari pandangan.
Ada anjing berumur tua sedang terdiam di depan pintu gerbang. Kaki kotornya sibuk menginjak pecahan kaca yang mungkin saja itu mainan baginya. Sebuah mobil dari arah selatan melaju begitu kencang melewati genangan air. Sontak anjing tua itu terbangun.
"Hei, kau tidak kedinginan? Jangan, jangan berlari kesana! Itu berbahaya!"
Mora berusaha membujuk anjing itu dengan sentuhan lembut tetapi lagi-lagi diabaikan. Anjing itu tetap berlari ke tengah jalan dan menunggu kedatangan mobil berkecepatan tinggi. Seketika Mora panik dan berlari menyelamatkan anjing itu.
"Ah! Percayalah padaku!"
Sayang, Mora tidak secepat pesawat terbang. Anjing itu lenyap tergerus badan mobil sebelum ia menyelamatkannya. Frustrasi, ia membanting senter. Kini, Mora terlihat bagai gelandangan bodoh di bawah rintikan hujan deras.
Tidak ada yang percaya padanya semenjak kejadian naas itu. Sahabat dan keluarganya tidak menyimpan belas kasihan. Bahkan, hewan tak berakal seperti kucing dan anjing pun tidak mempercayai omongan dari mulut Mora sendiri. Seolah menyiratkan ia bukan siapa-siapa di dunia fana ini.