Api unggun berkobar ditengah keheningan malam, mengusir hawa dingin dari perbukitan. Jam menunjukkan pukul empat pagi, barangkali terlewat beberapa menit. Mora terduduk diatas kursi kecil sambil bercengkrama dengan Marissa yang sama-sama tak bisa tidur nyenyak didalam tenda.
"Ibu, apa tidak bosan menjadi seorang model?" Mora bertanya kala angin berhenti berhembus.
Marissa tersentak, "Bagi ibu, seorang model adalah wanita hakiki. Mereka akan selalu percaya diri. Mengemban eksistensi terbaik. Dan, lebih kreatif dan mandiri. Sepertimu, Nak."
"Ah, aku berbeda, Bu. Aku pendiam. Aku bahkan takut dengan anak-anak," timpal Mora.
"Ibu tahu, kau merasakan itu. Sejak dulu, ibu tidak berani mengambil pilihan untuk berada dihadapan banyak orang. Tapi, karena ibu suka, maka tak ada alasan untuk berhenti."
"Ibu, aku sudah sering mendengar kata-kata mutiara itu," Mereka terkekeh sebelum akhirnya api mulai padam.
"Oh, aku hampir lupa. Apa disana menyenangkan, Bu?"
Marissa tersenyum simpul seraya meminum teh hangat, "Ya dan tidak. Tidaknya itu, ada yang iri."
"Siapa bu?"
"Ada. Seseorang. Tapi, ibu tak tahu dia sedang marah atau iri. Setiap hari dia memalingkan muka." Jelas Marissa.
Emily terbangun dari tidurnya yang langsung menatap keindahan langit dipenuhi gugusan bintang-bintang dan rembulan. Di sana, sebuah bintang jatuh melesat jauh ke arah perbukitan dan menghilang.
"Ada bintang jatuh!"
Mora tergelak, "Jika aku boleh meminta, maka kabulkan semoga aku tidak bertemu hantu." Katanya menggenggam lengan.
Mereka kembali pulang ke rumah dengan perasaan gembira. Berbeda halnya dengan Mora yang menoleh ke arah petak-petak hutan di ujung itu dibalik jendela.
~~~
Mora membaca komik seram kesukaannya di balik meja. Suasana kelas terbilang cukup membosankan sebab guru-guru tak kunjung datang. Sebagian siswa memilih untuk bermain maupun bergurau tanpa mengindahkan nasehat di papan tulis.
"Anak-anak, ibu punya berita baik dan buruk. Mana yang ingin kalian dengar dahulu?" tanya Nyonya Zarra ketika menginjakkan kakinya diruang kelas.
"Berita baik!"
Mora memutar bola matanya malas, "Berita baik, Bu."
"Hasil ulangan kalian semua tidak mendapat nilai merah. Maka, kalian memiliki kelonggaran waktu beristirahat."
Siswa-siswa diruang kelas itu berseru riuh. Mereka melempar kertas-kertas ulangan bekas ke atas diiringi sorakan girang. Terkecuali Mora yang tak memperdulikan suasana kelas dan sibuk berkutat dengan komik di tangannya. Euforia mereda ketika Nyonya Zarra menghirup napas panjang sebelum mengutarakan berita buruk.
"Berita buruknya adalah..."
Julia meneguk ludah sebelum ia berseru kembali.
"Sekolah kita berulang tahun! Maka, semua siswa akan mengikuti acara menginap disekolah selama sehari dan tentunya ada kegiatan menarik!"
Mora melempar komik miliknya asal dan bersorak hebat. Ia sudah lama menginginkan kegiatan ulang tahun sekolah ini setelah menunggu dua tahun lamanya. Beruntung, Mora masih sempat merasakan sensasi menginap disekolah. Seseru apakah nantinya, ia akan menunggu.
Warga sekolah dikerahkan untuk pulang ke rumah masing-masing, membawa peralatan alat-alat yang dibutuhkan selama sehari disekolah. Mora tak ketinggalan pula, ia rela menghabiskan uang saku hanya untuk membeli sekeranjang apel. Tentunya, Emily ikut membantu kakaknya itu mengemas barang-barang yang dianggap penting.
"Kak, apa tidak sekalian membawa kompor?" tanya Emily.
Mora mendelik, "Bagaimana kalau rumah kita dibawa juga?"
Mereka tertawa terbahak-bahak, menyiapkan peralatan yang ke dalam tas.
Senja menyelimuti hiruk pikuk perkotaan. Asap-asap kendaraan memenuhi langit merona yang hampa tanpa gugusan awan. Pekerja kantor dan anak-anak kuliah menaiki bus kota, memadati trotoar pinggir jalan. Penjaja makanan kecil tak luput dari pandangan menunggu orang-orang kelaparan. Lampu lalu lintas terlihat meredup ketika para pengemudi menunggu waktu berhenti dan maju, bergantian. Bersama suara tawa dari sekumpulan gadis muda sambil menebarkan senyuman.
Mora menggenggam lengan Julia dan Elvena, melewati kesibukan kota di kala senja menerpa. Meski Mora masih harus menegur kedua temannya yang sering salah paham, mereka tetap akrab. Ketiganya kini sering membicarakan hal-hal supranatural nan mistik. Pula Mora sering menakuti-nakuti mereka dengan komik seramnya.
Sekolah bak taman bermain. Bagaimana tidak, puluhan lampu neon tergantung di pepohonan tinggi dengan hiasan mencolok di bagian luar sekolah. Cahaya lampu sorot menerangi sebagian lapangan basket. Tampak guru-guru sedang sibuk membawa karpet tebal dan puluhan bantal.
Pembagian tempat tidur telah diatur hingga malam tiba. Anak perempuan akan tidur di lantai dua. Sedangkan anak laki-laki akan tidur di lantai bawah. Sekolah sunyi, hanya suara serangga yang menemani tempat belajar itu seraya memainkan melodi malam. Rembulan datang untuk menggantikan tugas mentari yang telah usai.
Seperti biasa sebelum tidur, para siswa saling bercengkrama dan bercanda ria dibawah sinar lampu kelas. Mereka saling melempar makanan ringan demi mengusir rasa lapar. Begitupula dengan ketiga orang disudut ruangan, asyik membicarakan seputar cerita horor.
"Aku pernah mendengar kalau angka enam itu angka setan!" sahut Julia. Ia bersandar santai sembari memeluk bantal guling.
"Hah? Bagiku itu angka biasa." Timpal Elvena.
"Sudah, sudah. Jika memang itu angka setan, mengapa kita sering menemukannya di buku matematika?" Mora mengajukan pertanyaan.
Julia mengernyit, "Tentu saja itu angka penghubung!"
"Hei, salah! Singkatnya, angka enam adalah angka spesial." Sanggah Elvena.
"Huh, spesial apa dibanding lima kilogram telur salmon?!" cecar Julia sarkas, seolah ia tak mau kalah. Sementara Mora asyik menatap perkelahian itu bagaikan sedang menonton sinetron di layar televisi.
Elvena menatapnya sinis, "Angka enam kalau dibalikkan hasilnya sembilan. Kau pasti tidak tahu!"
"Bakso dibalikkan hasilnya?"
"Pertanyaan bodoh!"
Julia tersenyum miring, "Tumpah."
Merasa bosan, Mora membaca komik miliknya tanpa memperdulikan perkelahian yang sedang berlangsung. Tatapannya teralihkan pada artikel horor di dalam tas. Buru-buru ia mengambilnya dan membaca huruf-huruf kecilnya dengan lantang.
"Jika kalian bertemu hantu maka..."
Julia dan Elvena membeku ketika mendengar kata-kata tak bernilai namun merinding.
"Berlari maraton!" celetuk Julia
Elvena menimpali, "Pukul saja!"
Mora beranjak dari tempat duduknya ketika Ibu Lizzy menyuruhnya untuk membawa alat musik biola ke ruangan kepala sekolah. Bukan tanpa alasan, ia adalah perempuan kuat yang tak pernah merasa takut meski dihadapan puluhan preman pun. Sekolah mengetahuinya pula meski Mora tak terlalu menggubrisnya.
Gadis itu berjalan membawa biola bersarung kain katun di lorong sepi. Keadaan sekolah bagai kuburan di malam hari. Beberapa satpam berjaga di beberapa titik. Ketika menginjak koridor, ia berpapasan dengan seorang gadis. Terlihat kemurungan di wajahnya.
Mora melangkah cepat diatas lantai kusam, meraba dinding sekolah. Lampu tampak meredup dan tak mampu menerangi kegelapan di depan. Mora harus berhati-hati, takut kalau ada sesuatu bersembunyi di sana. Perhatiannya teralihkan pada ponsel.
Derap kaki telanjang terdengar pelan dari belakang. Tunggu, Mora yakin tak sendiri. Ia memang melewati seorang gadis di pojokan dengan rambut panjang menutupi wajahnya. Langkahnya mendekat, membuat Mora sedikit merinding.
"Dia bukan hantu, pasti Tuhan..." bisik Mora. Entah, lorong kelas kini terasa sangat panjang tanpa ujung.
Ekor matanya menangkap dua kaki berwarna putih, malah nampak seperti dibuat dari plastik. Karena ketakutan telah menguasai, ia tak berani melihat siapakah seseorang gerangan. Mora berlari ketika melihat gagang pintu dan memasukinya.
Di balik lubang pintu, Mora menatap sebuah manekin plastik berdiri tegap. Terlintas keraguan dibenaknya. Jika memang itu manekin yang sering ditemukan pada toko-toko kecantikan, lalu mengapa bisa sampai ke sekolahnya? Oh, menginap di sekolah menjadi pengalaman seram bagi Mora. Realita tak seindah ekspetasi yang sering ia bayangkan.
Kini, manekin itu memutar leher layaknya robot, menatap ke arah Mora yang bersembunyi dibalik pintu dengan sorot mata merah. Sehingga Mora tersungkur ke belakang akibat terkejut. Beruntung ia mampu menahan rasa takut. Pintu itu diketuk dengan sangat keras dari luar. Keringat dingin membasahi pelipis Mora, berharap manekin itu tak menembus pintu reot yang berkarat itu.
Setelah ketukan itu mereda, Mora menghirup napas sebanyak-banyaknya. Ia merasa manekin itu telah pergi, tetapi hati kecilnya mengatakan tidak. Kemudian dipikir-pikir lagi, Mora tak ingin bertemu kembali dengan manekin aneh itu. Ada ketakutan mendalam di hatinya.
Malam semakin larut. Mora memutuskan keluar dari ruangan ini. Namun, kenop pintu itu menjadi macet. Entah akibat pukulan manekin itu atau memang sudah sangat tua. Lagi-lagi Mora sebal.
Terdengar kain yang dirobek dari arah belakang. Mora mendongak dan hampir tercekat. Ia sangat ketakutan bahkan tak mampu berteriak sekalipun.
Di belakangnya, kain putih yang melebar panjang itu ternyata menutupi puluhan manekin bekas. Tanpa angin berhembus, kain itu terbuka secepat kilat, memperlihatkan sekumpulan manekin mengenakan pakaian serba hitam senada dengan warna merah serta bermata merah menyala bagaikan api.
Mereka berjalan mendekat seraya menggerakkan tangan-tangan panjang yang ingin mengambil sebuah jiwa malang di ujung pintu.
"Berlari atau pukul?"