"Kau bilang melihat laba-laba besar? Memang ada?" Pertanyaan Elvena mendinginkan tubuh Mora yang sejak tadi tak berkutik.
Sekarang mereka sedang mengerjakan tugas meski jam telah menginjak larut malam. Di sela-sela waktu, Mora menceritakan kejadian satu jam lalu yang menghantuinya. Barangkali Julia maupun Elvena memberinya saran terbaik.
"Ya, aku serius. Kemungkinan dia bukanlah hewan, tetapi ...,"
Kedua temannya sontak menyahut, "Apa?"
Mora berasumsi, "Hantu!"
Tawa terlepas memenuhi ruang tamu berukuran kurang lebih lima inci. Mora memajukan bibirnya, ia sudah sadar teman-temannya menertawakan kejadian serius itu.
"Jujur Mora, selama aku berteman denganmu-hampir satu dekade, kau tak pernah bilang bertemu hantu," kata Julia.
"Kurasa kalian tak punya saran untukku."
"Psikiater? Otakmu mungkin bermasalah,"
Mora menggenggam pulpen hitamnya erat, "Aku belum gila. Ingat itu!"
"Oh tidak, pertama kalinya dia marah seperti nenek moyang." Gumam Julia dan Elvena seraya terkekeh.
Di pagi-pagi buta, Mora menaiki bus sambil menggigit remah-remah roti. Saat ini ia harus secepatnya mengumpulkan tugas sebelum Nyonya Zarra memberikan hukuman berat. Langkah sepatunya silih berganti ketika menginjak lingkungan sekolah yang kian meramaikan hari cerah. Matahari tak perlu malu-malu bersembunyi dibalik awan putih.
Ruangan kepala sekolah nampak ramai. Maklum, para siswa mulai rajin mengumpulkan tugas yang banyaknya tak seberapa. Beberapa diantaranya bersenda gurau menunggu antrian.
"Ini, Nyonya Zarra." Celetuk seorang lelaki. Jujur saja, setiap kali mendengar sebutan 'nyonya' itu langsung membuat Mora mual. Ia tak ingin terlalu hormat hanya masalah penyebutan kasta.
"Ini, Bu, sudah selesai."
Mora bersikap sopan menyerahkan buku tugasnya sementara wanita gemuk itu mengambil sehelai tisu. Nampaknya sedang mengalami kesedihan hingga tangannya rela mengelap ingus yang keluar. Perasaan Mora bercampur layaknya es teler antara iba dan jijik.
"Sepertinya ibu sedang berkabung?" tanya Mora. Nyonya Zarra hanya mengangguk pelan memandang bingkai foto kecil di meja tugasnya.
"Sepupu ibu. Dia terkena penyakit kronis dan sudah pulang..." ucapnya lesu. Mora merasa iba, namun lagi-lagi rasa itu sirna setelah melihat ingus terjatuh ke meja.
Mora tersenyum, "Nanti dia kembali lagi, Bu."
Nyonya Zarra melotot tajam, "Hei, Nak! Dia sudah diambil Tuhan!"
Mora terkejut sekaligus terkekeh. Rupanya otaknya sedang sakit hari ini. Tangannya meraba sebuah kartu kecil berisi alamat perpustakaan berstandar tinggi. Benda itu menarik perhatiannya.
"Ibu pernah pergi kesini?"
"Hanya sekali. Dulunya sepupu ibu bekerja disana."
Tanpa tahu malu, dengan hati-hati Mora mengambil kartu itu dan menyembunyikannya di kantong celana. Kemudian keluar dengan girang menuju kantin membeli es teler sebab cuaca sedang panas-panasnya.
Mora melempar senyum ke arah kafe di sudut jalanan yang penuh keramaian berjuta penduduk. Di sana, Kent tampak sibuk menyeduh susu setiap pesanan datang ke meja kasir. Tatapannya teralihkan ketika seorang gadis menepuk bahunya halus.
"Mora, lama tak jumpa!" seru Kent seraya memeluk sahabatnya erat.
"Huh? Kita bertemu terakhir kali dua minggu yang lalu," timpal Mora berekspresi datar. Kent menahan tawa melihat gadis dingin nan perasa itu.
"Sekali-sekali tersenyum lebar, Ra. Apa mungkin kau sedang mengalami hari pahit?"
Mora tersentak, "Bagaimana kau bisa tahu? Kau cenayang rupanya!"
"Ini, susu dan latte coklat." Kent meletakkan segelas minuman segar diatas meja.
"Wah, gratis 'kan—"
"Tidak. Jangan lupa uang tipnya nanti."
Bibir Mora tersenyum simpul. Mereka saling melempar curahan hati yang selama ini tersimpan sesak didalam dada. Beberapa kali Kent hampir tertawa lepas mendengar cerita Mora yang cukup tak masuk akal.
"Kau anak indigo? Sejak kapan?"
Tangan Mora memukul kasar betis Kent, "Hei, aku tak ingin mendapat julukan aneh itu. Rasanya aku sudah muak untuk hidup,"
"Aku hanya bercanda! Yah, kau hanya anak iseng. Aku tahu itu," canda Kent. Hal itu mampu menggelitik pinggang Mora.
"Ya! Semenjak aku lahir sudah berkelahi denganmu di rumah sakit!"
Mereka tertawa selama beberapa saat dan sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Hari ini Mora lebih memilih untuk menenangkan diri setelah mengalami peristiwa tak mengenakkan. Masih terlintas pertanyaan terngiang-ngiang di telinganya. Bagaimana mungkin seekor laba-laba raksasa memasuki rumahnya di malam hari? Lalu, ia ragu untuk menentukan apakah hewan besar itu benar adanya atau hantu belaka?
Puluhan mahasiswa mendatangi gedung bernuansa ramah lingkungan dengan membawa setumpuk buku-buku pelajaran. Mereka saling menebar senyum diantara para pegawai dan teman dekat. Ribuan buku tertata rapi di rak-rak yang telah disediakan bersama nyala lilin siap menerangi kekosongan hati.
Ya, Mora sedang berada di perpustakaan berstandar tinggi. Senyuman terukir di wajahnya, meski ia tak bisa menggubris kalau tempat itu menjual artikel horor atau buku pembahasan nama-nama hantu. Oh, lebih baik Mora pergi secara langsung bertemu dengan peramal gaib. Benar bukan?
Mengelilingi sejumlah lorong panjang cukup melelehkan semangat Mora dalam mencari buku horor. Bahkan para pegawai perpustakaan tak membantunya sama sekali, justru membawanya tersesat di perpustakaan besar ini. Ia berjalan tak tentu arah dan berjalan sangat cepat.
Mora menabrak seseorang lelaki yang membawa sebuah kamera dan tumpukan kertas di tangan besarnya. Sekilas, Mora merasa deja vu. Ya, pria itu adalah reporter yang memberikan kartu nama. Anehnya lagi, mereka bertemu kembali dengan tabrakan tak sengaja.
"Kau Lucas 'kan?"
Lelaki itu mengangguk, "Ah, kita bertemu lagi. Sedang apa?"
Lucas, pria seputih susu dan rambut hitam kelam. Lentik matanya lebat bak penari teater. Lesung pipinya menggembung seperti roti-roti sisir di pinggir jalan. Hidungnya mancung tak memiliki ujung. Mora tak tersihir dengan ciptaan Tuhan itu. Ia memalingkan muka menghadap tumpukan rak buku.
"Kau tidak ingin tahu namaku?"
Lucas terkekeh, "Aku baru ingin bertanya."
"Aku Mora. Sebenarnya aku ingin mencari artikel horor disini. Mungkin kau tahu?" Mora melempar omongan kosongnya itu yang ditangkap langsung oleh Lucas.
"Oh, tentu ada! Tapi, bagaimana kalau sambil berbincang-bincang?"
Mora mengangguk cepat mendengarnya. Mereka saling bertukar pikiran seputar kehidupan, seluk beluk dalam hati dan mengoceh mencairkan suasana.
Dari situ, Mora mengetahui beberapa hal. Lucas bekerja di kantor pemberitaan ternama dan bertugas meliput berita. Setiap hari, sedikitnya ada sepuluh kejadian yang berlangsung detik perdetik nya dan saat itulah Lucas turun ke lapangan. Tentunya ia tak sendiri, bersama teman-temannya yang siap memancarkan berita terhangat ke seluruh penjuru dunia.
"Kau pernah meliput berita supranatural?" celetuk Mora.
"Maksudmu puluhan hantu ikut masuk ke dalam berita? Begitu?"
"Bukan begitu," timpal Mora terkekeh, "berita itu menyangkut kejadian penampakan hantu di sebuah keluarga atau aktivitas hantu iseng yang mencoba mengusik ketenangan."
"Kedengarannya mengerikan. Tapi, jika kejadian itu benar adanya maka aku langsung turun tangan."
Tak terasa mereka sampai di ruangan panjang nan sepi. Beberapa pegawai nampak sibuk membersihkan debu-debu yang menempel di rak buku seolah tempat itu baru saja dibuka.
"Setahuku disini ada bacaan cerita horor. Masuklah,"
"Temani aku ya, aku takut." Rengek Mora layaknya anak kecil yang ingin memasuki rumah hantu.
Lucas memicingkan mata, "Komik mu itu tidak seseram tempat ini juga 'kan?" ucapnya sembari menunjuk sebuah buku di dekapan Mora. Gadis itu memukul jidatnya sendiri tanda malu.
"Ah, Benar juga. Ya sudahlah."
Deretan buku-buku klasik dari tahun ke tahun terpampang di beberapa sudut. Lampu temaram menerangi celah-celah gelap dengan dilapisi benang laba-laba hitam seakan mengisyaratkan mereka sedang mengintai seseorang. Mora bergidik menatap hewan kecil yang mungkin saja kembali menjadi monster.
Di ujung rak buku terdapat lorong panjang dengan lilin menyala di sisi dindingnya. Api panasnya meliuk-liuk bagai ular kobra namun Mora tak merasakan hembusan angin. Tempat itu berisikan meja tamu besar diduduki oleh sekiranya dua orang. Seluruh interiornya didominasi warna merah. Anehnya, kedua orang itu tertidur diatas meja layaknya sedang pingsan.
"Hei!"
Mora mendongak ke belakang, melihat seorang wanita berpakaian staf perpustakaan berjalan pincang menuju kearahnya. Tatapannya begitu tajam disertai erangan kuat dari rongga mulutnya entah karena apa.
Wanita itu semakin mendekat, Mora bergerak mundur. Wajahnya kini pucat dan ketakutan. Sedetik kemudian ia menyadari kalau wanita bermuka amarah itu tertusuk pisau di bagian perut dan bergerak tanpa bayangan meski puluhan lilin menyinari langkahnya. Tak ada celah lagi bagi Mora untuk melarikan diri. Samar-samar daun telinganya merasakan napas berat dan terdengar ucapan kematian.
"Apa alasanmu menghantuiku?!" tanya Mora. Ia muak melihat rentetan kejadian ini.
"Dia... atau kau..."
Alis Mora dinaikkan ke atas. Dia? Siapa Dia? Sebelum Mora bertanya kembali, wanita itu berteriak sekencang mungkin dan memegang lengannya begitu erat sampai-sampai ia tersungkur ke depan.
"Mora! Bangunlah!"
Seseorang membuka kelopak mata gadis itu yang sedari tadi tertutup sambil mengorek-ngorek dinding perpustakaan. Mora terkejut seketika melihat dirinya bertingkah seperti pengemis meminta uang.
"Apa yang terjadi?"
"Hei, kau tidak ingat? Aku melihatmu sedang mengorek dinding perpustakaan. Tadinya aku baru saja menelpon petugas medis jiwa karena mungkin kau sudah 'gila'." Celetuk salah satu staf perpustakaan. Ia menekankan kalimat terakhirnya dengan senyum yang dibuat-buat.
Mora memajukan bibirnya, "Lucas, katakan padanya kalau aku tidak gila."
"Kalau begitu apa yang kau lakukan tadi? Bermain?" Lucas lagi-lagi bertanya.
"Emh..." Mora kehabisan kata-kata sebelum ia melihat sekumpulan lelaki meminum jus apel.
"Aku ingin minum jus apel! Tapi uangku tak cukup," sahut Mora bernada manja. Tak perlu lama, Lucas memberinya recehan uang dan memasukkannya ke saku baju Mora.
"Hei, aku tak membutuhkan itu! Aku sudah punya lebih dari cukup." Mora menyela jujur.
"Yakin? Kata-kata mu tadi sudah ku kunci. Kau tak bisa berbohong. Ambillah."
Dengan berat hati, Mora menggenggam recehan uang itu namun di dalam benaknya masih tersimpan hati berbunga-bunga. Ia masih menyembunyikan tawanya mendengar ocehan lelaki itu. Kata-kata yang dikunci? Sungguh terdengar konyol. Mereka kemudian saling berbagi nomor ponsel dan Lucas mengantarnya ke luar perpustakaan. Betapa mungilnya ia ketika membelikan Mora segelas jus apel. Lihat 'kan?
Di malam hari, keluarga Mora sedang makan malam bersama. Sudah lama tak mereka lakukan setelah melewati hari-hari penuh kesibukan semenjak dua bulan yang lalu.
Berbanding halnya Mora sendiri. Meskipun kelelahan raga setelah mengalami peristiwa janggal telah padam, namun hati dan pikirannya tetap bergulat satu sama lain. Memikirkan perkataan wanita di sore hari tadi yang mengusik ketenangannya hingga detik ini.
"Mora, kenapa makan seperti itu? Tidak enak ya?" tanya Marissa menatap anak sulungnya makan dengan lesu.
Mora tersentak, "Ini enak, Bu! Aku sudah lama menginginkan makanan ini." Ucapnya mencoba meyakinkan ibunya.
Sementara Mikael memandangi Mora penuh kecurigaan. Sang ayah tak ingin anaknya mengalami suatu hal buruk setelah meninggalkannya berhari-hari.
Gigitan terakhir, Mora mengunyah kentang goreng dan lekas meminum jus apel. Hampir saja ia menumpahkan segelas jus di genggaman setelah melihat sekilas tangan kirinya.
Entah sejak kapan salah satu tangan Mora tergambar sesuatu. Disitu, tergambar sebuah lingkaran kecil dihiasi garis-garis disekelilingnya. Sekilas nampak seperti matahari, namun ditengahnya terlukis gambaran dua manusia.
Mora tetap bingung dengan gambar itu dan mencoba meraba. Gambar ditangannya berbau darah segar—malah seperti bau darah manusia.
_________________________________________
Selamat malam :D
Mora itu indigo atau anak iseng saja ya? Beberapa kali Chap ini ku revisi agar kalian bisa membacanya lebih segar dan mudah. Aku harap tidak ada typo disini hehehe.
Tunggu kelanjutannya.