Bus kota melaju begitu cepat, menghempaskan dedaunan kering dari pepohonan yang telah memasuki musim semi. Rodanya berputar seiring waktu dan melintasi beberapa ruas jalan yang hampir mengagetkan seorang gadis di pinggir trotoar. Matanya terpejam beberapa kali supaya debu tidak membuatnya perih.
Gadis itu sibuk memainkan ponselnya dengan berbalut tas yang tergantung anggun di lengannya. Mengetik pesan, mungkin. Jalannya lenggak-lenggok di atas trotoar seperti penari kuno. Sesekali, ekor matanya menatap jalanan lengang nan sepi. Hatinya resah bercampur gelisah, menunggu sesuatu tak pasti akan datang.
Sebuah bus berwarna putih berhenti tepat didepan sepatu mungil gadis itu yang langsung menerobos masuk, tak memedulikan lambaian manis dari tangan kondektur. Matanya sibuk mencari tempat duduk yang hampir penuh.
Para penumpang berdesak-desakan, ketika bus berhenti di beberapa titik. Pengemis dan penyanyi jalanan mencoba meraup upah di tengah kebisingan bus, meski banyak caci maki yang mereka terima. Tak lupa, segerombolan pencuri bersembunyi dengan tangan-tangan jahilnya, bersiap merenggut harta.
"Mora!"
Gadis itu menoleh ke arah jendela, sedikit mengibaskan rambut hitamnya. Dari kejauhan, seorang perempuan sebaya dengannya meneriakkan nama gadis itu. Mora tersenyum lebar ketika sinar matahari menembus kaca.
Saat ini, Mora asyik membaca komik seram diujung bus sembari melingkarkan kedua daun telinganya dengan headset. Mora memang penyuka cerita berbau mistis sedari kecil, bukan berarti ia ingin bertemu dengan makhluk tak terlihat itu. Tujuannya hanyalah sekadar menguras rasa takut yang selalu terpendam.
"Berhenti." Celetuk salah satu penumpang.
Bus berhenti diiringi mesin yang mengepulkan asap dan udara pengap. Seorang pria dengan topi bundar keluar dari dalam bus. Perhatian Mora teralihkan setelah mengintip seseorang melalui celah jendela. Ia beranjak dari tempat duduknya, seraya mengedarkan pandangan. Buru-buru tangannya menekan kartu kredit dan bersiap menuruni tangga. Langkahnya terhenti ketika sopir berkumis tebal itu mencekal tangannya dengan tatapan tajam.
"Kartu ini sudah tidak bisa dipakai. Ayo, ganti!" ucapnya ketus.
Mora mendelik, "Bagaimana bisa? Kartu ini baru saja aku beli, dua tahun yang lalu." Terang gadis itu.
Sang sopir tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban Mora. Tangannya tertopang di dagu dan kembali menatapnya sinis. "Bayar! Kalau kau tidak punya, silakan menyerah pada polisi!"
Mendengar lontaran pedas dari sopir, dengan berat hati Mora merogoh saku miliknya, mencari dompet kecil berwarna merah muda. Kini, Mora melangkah bebas diikuti teriakan keras dari para penumpang dibalik jendela. Ia berlari mendekati kedai kopi bernuansa antik dengan patung-patung hewan yang berjejer rapi. Seorang gadis berpostur remaja, menggunakan celemek kecil dan melempar senyum ke arahnya.
"Hei, Kent!" seru Mora.
Mereka saling berpelukan dan merangkul pundak, seolah tak pernah bertemu setelah sekian lamanya. Seekor semut menggigit pipi Mora yang akhirnya menghentikan pelukan itu.
"Kamu, ini! Jangan main pelukan. Padahal kita sudah bertemu dua tahun yang lalu." Ujar Kent, terkekeh geli.
"Sifatmu juga masih sama denganku! Ayo, peluk lagi!" canda Mora.
Kent, teman seperjuangan Mora sejak kecil. Gadis dengan tinggi hampir melebihi beberapa inci itu memang telah menjadi sahabat bagi gadis pendiam seperti Mora. Awalnya, mereka tak sengaja bertemu di ladang perkebunan sapi yang ternyata ayah mereka berdua mengelola tempat itu bersama. Sampai, Mora memekik menginjak kotoran sapi dan Kent membantu membersihkannya. Sejak saat itu mereka menjalin pertemanan meski beberapa tahun ini jarang bertemu akibat urusan sekolah.
Mora dan Kent bersekolah di tempat berbeda. Uniknya, mereka menginjak di kelas yang sama dan cita-cita yang sama pula. Kent, perawakannya lebih mendekati laki-laki dibanding perempuan. Apalagi, sifatnya sama keras kepalanya seperti lelaki pada umumnya, tetapi ia masih memiliki hati selembut kapas.
"Bagaimana usaha mu, Kent?" tanya Mora yang asyik menyeruput susu panas. Bibir merahnya tampak melepuh bagai mentega diatas kompor.
"Biasa saja. Beberapa Minggu ini kedai ayahku mengalami pasang surut." Ujar Kent. Jari-jarinya sibuk mengolah susu mentah dengan berbagai mesin. Nantinya, minuman tulang itu dapat dikonsumsi tanpa kuman.
Mora terkekeh, "Seperti pantai saja!"
"Memang. Kamu tahu? Ombak laut tak pernah lelah meski selalu menggulung mengikuti alur kehidupan." Sahut Kent dengan nada berwibawa.
Mimik wajahnya sedikit berkerut dan Mora menangkap gerakan itu. Kent sedang berlagak layaknya seorang dosen yang menjiplak. "Ya, aku tahu itu! Lalu, mengapa dia tak pernah berhenti?"
Kent berpaling, "Tanya saja langsung dengan ombaknya."
Pita suara tak pernah berhenti untuk tertawa dari mulut Mora. Gadis itu nampak kesurupan sampai-sampai sisa susu di gelas itu memenuhi sekujur wajahnya. Kent panik dan hampir menghubungi dokter setempat.
"Satu jus anggur, please."
Seorang pria bertudung memasuki kedai diiringi suara gemerincing dari pintu. Pakaiannya berjubah cerah, mirip penyihir zaman kuno dan topi bundar yamg melingkar di kepalanya. Namun, berbanding terbalik dengan sepatu berwarna-warni yang ia kenakan.
"Dia penyihir, 'kan?" bisik Mora. Dalam benaknya telah berprasangka buruk dengan lelaki itu semenjak menginjakkan kaki diatas kedai tak berdosa ini.
Kent menyumbat bibir Mora, "Ssstt! Dia itu pelangganku."
"Pelanggan?"
Kent mengangguk, "Dia itu jarang berkomunikasi. Aku tak pernah berbicara banyak dengannya."
Mora memandang pria itu yang terduduk di kursi paling ujung. Alisnya sedikit terangkat setelah menyadari sesuatu. Deretan kursi lainnya tertata kosong dan dia memilih ujungnya. Entah, mungkin saja itu posisi duduknya ternyaman untuk saat ini. Namun, perkiraan itu belum sepenuhnya menjawab teka-teki Mora.
Perlahan, gadis itu melangkah setiap detik ketika Kent mengantar pesanan jus anggur. Salah satu temannya telah menegur Mora beberapa kali untuk tidak bertingkah bodoh. Namun, sifat keras kepalanya masih terbelenggu dan lebih mementingkan keinginannya sendiri. Ia duduk di salah satu kursi dan jaraknya kini hanya tiga jengkal saja dengan pria bertudung.
"Hati-hati." Gumam Kent, berlalu meninggalkan sahabatnya setelah berucap sepatah kata. Mora nampaknya tak mengerti dan menganggap itu hanyalah angin lalu.
Mora menatap lekat-lekat wajah lelaki itu. Meski ia tak bergeming dengan segelas anggur dihadapannya, pertahanan Mora tak akan goyah. Mata mereka saling bertemu dan bertatapan cukup lama. Bagai terhipnotis, Mora terjatuh dari kursinya dan mencium lantai kedai yang sangat berdebu. Sekarang ia mirip orang bodoh yang baru saja terbangun dari mimpi.
"Huek!" celetuk Mora membersihkan wajahnya terselimuti oleh debu. Bisa-bisanya pertahanannya runtuh begitu saja.
Belum sempat terduduk, lelaki itu menunjuk ke arah depan, tepatnya kursi sebelah Mora. Ia tidak mengerti dan hanya menatapnya bingung. Tiba-tiba tengkuknya terasa dingin, seperti ada seseorang yang meniup lehernya.
"Aneh!" umpat Mora.
"Kamu mengejekku?" sahut pria itu yang akhirnya bersuara setelah bungkam beberapa jam.
Mora tersentak, "Tidak."
"Aku bisa mendengar ocehan dari mulutmu."
"Oh, ya? Memangnya aku berkata apa?" Mora tertantang dengan ucapannya.
Lelaki itu tersenyum, "Aneh."
Mora terkejut bukan main. Otaknya tak bisa diperas lagi walau mencoba berpikir dua kali. Seakan pria itu bukan orang biasa dan menyimpan sesuatu yang tak diketahui. Apalagi, pakaiannya membuktikan hal itu. Dengan geram, Mora meninggalkan pria misterius itu dengan segenggam amarah.
"Lehermu tidak sakit lagi, 'kan?" celetuknya.
Mora menoleh dan terbelalak. Benar, leher panjangnya yang tadinya bengkak, sembuh seketika. Seolah ada perawat tak terlihat yang mengobatinya. Pria berjubah cerah itu melempar senyum manis, lengkungan senyum pada bibir yang mengerikan bagi Mora.
~~~
"Ibu!"
Mora berlari kecil, memeluk sang pemilik surga di telapak kaki dengan senyum mengembang. Wanita itu mengelus lembut rambut hitam milik Mora seraya menepuk perutnya yang kurus.
Marissa, seorang model kecantikan sekaligus ibu Mora. Umurnya baru saja menginjak puluhan tahun dan sebentar lagi akan menginjak genap dewasa. Marissa sangat menyukai make up dan telah menjadi barang pokok kedua setelah beras. Kehidupannya tak pernah terlepas dari parfum, bedak dan alat pengharum lainnya. Hampir setiap hari bibirnya penuh dengan polesan lipstik tebal dan Mora ingin saja mual, setiap kali mencium bau menyengat itu. Tak jarang, Marissa selalu memenangkan seluruh kompetisi modelling.
"Ibu akan pergi ke kontes kecantikan malam ini. Mora ingin ikut?" tanya Marissa melumuri pipinya dengan bedak bayi.
Mora mengangguk, "Aku juga ingin membeli beberapa buku lagi."
"Bukannya, buku milikmu sudah hampir banyak? Kamu bisa membuat perpustakaan kecil di kamar." Pungkas Marissa. Mora hanya memutar bola matanya malas, gadis itu memang haus akan lembaran cerita.
Seorang gadis memeluk Mora erat-erat. Mata cokelat terangnya berwarna bening bak bunga matahari. Mora membalas pelukan Emily, adik kesayangannya yang baru saja beradaptasi dengan lingkungan sekolah.
Marissa tersenyum menatapnya, "Sayang, jaga rumah baik-baik ya! Ayah juga akan menemanimu."
"Jangan lupa beli oleh-oleh, Bu!" sahut Emily yang berlari penuh kegirangan. Mora tertawa kecil melihat tingkah adiknya itu seraya mengambil beberapa baju.
Mobil hitam berkilau dengan tampilan elegan nan mewah tersuguh didepan rumah minimalis, telah menjadi tontonan biasa bagi Mora. Ibunya memang menyewa mobil itu yang harganya menjulang tinggi dan tak memungkinkan membelinya sebagai barang tetap. Namun, gayanya seolah menyiratkan ialah pemilik transportasi pribadi itu.
Burung elang berterbangan dengan hembusan angin dingin diselimuti tetesan hujan yang mulai turun ke bumi. Mereka saling menukik dan menyambar mangsa, menangkap topi-topi bundar dari pedagang keliling. Mora mengetuk jendela mobil yang basah oleh embun senja. Matahari telah terbenam di ufuk barat, tergantikan gemerlap lampu gedung yang menyinari sebagian lorong gelap.
"Lantai tujuh..." gumam Marissa saat para satpam membukakan pintu untuknya. Langkahnya sangat cepat menaiki anak tangga dan memasuki lift.
Mora menutup telinganya ketika berdiri diantara keriuhan orang-orang yang ingin menyaksikan pertunjukan kontes itu, seolah mereka hanya akan bisa bertemu sekali saja dengan para bidadari buatan itu. Ekor matanya menangkap Marissa yang tampil anggun nan cantik. Seluruh juri tersihir dengan senyuman terukir di mulutnya, bahkan ada pula penonton pingsan di tempat. Tangannya melempar biji-bijian jagung dari keranjang sebagai bagian dari aksinya.
Belum sempat petugas membersihkan biji berserakan itu, kontestan selanjutnya datang lebih dahulu dan berjalan ke tengah podium. Saat sepatu berlian miliknya menginjak biji kecil, alhasil ia terjerembab ke depan meja juri dengan teriakan histeris.
Buru-buru petugas medis membantunya berdiri. Marissa menghampirinya dan mengutarakan permintaan maaf. Wanita disebelahnya hanya tersenyum tipis dan berlalu meninggalkan podium sedikit tertatih-tatih. Seorang perempuan setengah baya mendatanginya, mungkin saja sang ibu. Ia sedikit kikuk dan tidak bersahabat.
Kepulangan Marissa disambut sorak-sorai para penggemar di pinggir jalan. Hujan tak mereka hiraukan. Yang terpenting, bidadari dari gedung salon menampakkan diri.
Marissa masuk ke dalam mobil setelah melewati karpet merah bersama Mora. Namun, kali ini ibunya yang menyetir. Mora tercengang agak ragu untuk mempercayai bahwa sang ibu pintar menggerakkan stir mobil mewah ini. Seorang bodyguard di sebelahnya memasang muka senyum seraya memberikan kunci.
"Here we go. Mora semangati ibu!"
"Ah, semangat." Mora berseru, tetapi suaranya terdengar biasa saja.
Mobil melaju pelan-pelan, spedometer semakin mengarah ke kanan, Mora menelan ludahnya. Takut kalau-kalau ibunya melepas kecepatan yang begitu tinggi. Justru, Marissa tergila-gila sekarang. Ia tertawa sendiri, menatap jalanan malam yang sepi.
Baru setengah jalan, mobil sewaan itu tertabrak sesuatu. Otomatis Marissa melancarkan pedal rem dengan sangat kuat. Mora melayang ke depan, menghantam jok mobil.
"Ada apa, Bu?"
"Mungkin, kucing? Lihat! Kucing hitam berjalan di sana. Beruntung bukan manusia."
Seekor kucing berlarian ke arah tong sampah, mata tajamnya menoleh ke arah lampu pijar dari mobil sewaan dan berlalu begitu saja. Marissa melanjutkan perjalanan yang sempat tertunda.
"Yah, pengalaman menarik. Kapan-kapan ibu pinjam lagi!" gurau Marissa, melangkah masuk ke dalam rumah.
Mora masih berdiri kokoh di depan mobil itu. Meraba bodinya yang sedikit lecet akibat hantaman kucing. Bodyguard senantiasa menunggu gadis itu untuk mengecek mobil, padahal sebetulnya tidak perlu.
Ketika tangannya meraba buliran air-air hujan, aroma anyir menusuk hidung. Kali ini, Mora merasa bahwa ada air sekental kecap yang membasahi mobil itu. Namun, memangnya ada hujan kecap? Tidak mungkin. Buru-buru Mora menyalakan flash pada ponselnya.
"Da—darah?!"
Benar. Itu tidak salah. Segumpal darah merah segar membasahi sebagian bodi depan mobil. Jika kucing menghantam mobil, tentu hanya menyisakan bekas lecet saja. Namun, dengan darah sebanyak ini, tak menutup kemungkinan bahwa yang tertabrak ialah manusia.
_____________________________________________
Haloo, reader baru! Selamat datang di cerita hororku ini. Tangan dan otak karungku gatel, minta ditulis terus. Jadilah sebuah horor Story yang sudah ku buat matang-matang.
Awal-awal memang agak membosankan, tapi kedepannya kalian akan terlarut dalam samudra dalam dengan mbak kunti. Khekhe, lawakanku kurang garing yaw...
Semoga suka ya!