Chereads / TINTA MERAH (PARANORMAL) / Chapter 4 - [3 — Seseorang Dalam Foto]

Chapter 4 - [3 — Seseorang Dalam Foto]

Malam ini kian menggelap dalam kilau lampu remang-remang. Desiran angin dingin menyapu daun kering bersama hilangnya bayangan manusia di jalanan sunyi tak berbunyi.

Mora lebih memilih untuk mengurung diri di kamar daripada bercengkrama dengan kedua orang tua ataupun bersama Emily. Tentu saja, genggaman tangannya tak pernah terlepas dari komik seram bersama sorot lampu tidur, dalam dekapan selimut tebal.

Hanya suara sekumpulan cicak dan seekor tokek-berukuran sedang dengan bintik hitam-yang menemani malam dingin nan sepi itu. Mereka saling melempar ocehan seperti manusia, namun terdengar bak ayam berkokok. Jendela bergerak pelan tatkala angin mencoba meniup kamar bernuansa gelap itu.

Jemari Mora tak pernah berhenti menggonta-ganti buku yang ia baca. Gadis itu mudah bosan jikalau isi cerita merupakan hal umum yang sering dibicarakan. Matanya tak akan terkecoh dengan tampilan visual hantu dalam buku kecuali melihatnya secara langsung.

Kakinya terasa berat digerakkan, seolah sedang diperas oleh sesuatu. Tunggu, bukankah Mora telah mengunci pintu?Jangan-jangan seseorang memasuki kamarnya lewat jendela. Lalu, siapa yang berani memasuki jendela rumah?

"Oh, ayolah! Jangan takut Mora," gumam Mora sedikit memekik. Ia menoleh ke pinggir selimut dan menatap seekor tokek tertidur diatasnya.

"Aku kira monster!"

Mora memasang matanya kembali, berharap tak salah lihat. Tokek itu kini nampak berbulu serta berkaki seribu. Mengingatkannya pada hewan kecil yang jijik dan menggelikan. Ia tersungkur ke lantai setelah tokek itu tersenyum menyeringai. Apa tokek bisa tersenyum dengan mulutnya yang oval?

Pintu terketuk begitu pelan seperti angin yang iseng mengajak bercanda. Mora bergegas membukakan pintu berkayu tua itu dan tak menemukan apa-apa. Emosinya kian naik turun antara ingin marah dan ketakutan. Ia memutar kenop pintu secepat mungkin, sebelum benda itu tertutup sepenuhnya, samar-samar pandangan Mora menangkap seekor hewan mungil.

Laba-laba kecil berwarna hitam keluar dari dalam kamarnya.

Belum sempat rasa ketakutannya keluar hebat, Marissa datang seraya membawakan sepiring potongan apel segar berbentuk bulan sabit. Mora berpura-pura tenang sambil melahap sepotong apel berharap kejadian tadi tak terulang kembali.

"Ibu tadi mendengar suara gaduh. Ada apa?" tanya Marissa mengelap bibir sang buah hati yang terlihat pucat.

"Ah, hanya kucing yang melompat ke jendela, Bu," jawab Mora tersenyum palsu.

Marissa menaikkan alisnya, "Kamu tidak berbohong, Ra? Mana ada kucing yang bisa terbang ke jendela lantai dua?" tegasnya cukup keras.

"Bukannya ada poh—"

"Ayahmu sudah menebang sebagian pepohonan di dekat sini. Kamu belum tahu?" timpal Marissa. Tatapan lembutnya tergantikan dengan seringaian tajam seperti tokek di atas ranjangnya tadi.

Mora bergerak mundur perlahan setelah memandang lekat Marissa yang kini mulai berubah layaknya monster. Pupil dari matanya keluar seperti irisan mata tokek yang meleleh menjadi segumpal cairan hitam. Mulut ranumnya mengering sangat pucat membentuk bibir cicak. Monster menyeramkan hadir di depan mata kepalang Mora sendiri.

Gadis berambut panjang itu berlari mematikan lampu tidur seraya menahan napas memburu. Ia masih bisa mendengar bisikan kecil silih berganti. Mora merasakan langkah monster itu menaiki ranjang tidur miliknya, bermotif bunga sakura yang telah beberapa kali dicuci. Raut wajahnya berkerut cemberut di tengah gelapnya kamar.

"Dasar hantu kotor!" umpatnya dalam hati.

Pintu gerbang terdengar dari luar, itu tandanya kedua orang tua Mora baru saja datang dari pekerjaannya. Ia harus berpikir cepat sebelum Marissa dan Mikael mulai bertanya ini-itu yang tentunya menambah beban pikiran Mora.

Tanpa rasa takut sedikitpun, Mora beranjak dari duduknya lantas menyalakan lampu tidur. Monster itu hilang dari pandangan. Mora tak sebodoh itu, ia menelisik ke bawah ranjang dan menatap makhluk itu sedang menyeringai dengan bersimbah darah. Meski sedikit ngeri, tetap saja itu menambah emosi Mora.

"Hei, monster! Gara-gara kau, lantai ku menjadi kotor! Cepat pergi!"

Bentakan Mora seolah hanya angin belaka bagi makhluk itu. Ia mulai melompat cepat, mencakar dinding putih dengan erangan penuh amarah. Mora menghantam pipi monster itu dan merelakan buku komiknya terbelah menjadi dua.

Monster berpipi merah meraung begitu keras. Entah sedang marah atau takut dengan komik Mora.

Mora mencekik tokek di atas ranjang tidurnya yang mungkin saja merupakan benih kebusukan dari monster itu. Dengan jahil, tangan Mora melempar hewan itu hingga ke ujung dunia diiringi teriakan keras dari monster yang bersembunyi. Makhluk itu akhirnya benar-benar meninggalkan kamar kesayangannya.

"Semoga ini hanya mimpi...."

Tangga berdetak saat Marissa menghampiri anak sulungnya itu yang sedang tengkurap seperti bayi besar. Komik dan segala hiasan dindingnya berserakan dimana-mana, memunculkan beribu pertanyaan bagi Marissa. Mora bahkan berkata baik-baik saja terkait kondisinya saat ini yang berbanding terbalik dengan kamarnya.

Meski monster telah menghilang, tetap saja Mora bergidik ngeri. Kali ini perutnya terasa sangat sakit. Mungkin saja ia tidak mengunyah apel segar tadi, melainkan ulat menjijikan yang masih berbau di mulutnya.

"Pagi, Mora!"

Sapaan itu tak dibalas balik oleh seorang gadis. Matanya nampak kosong sedikit semu, memikirkan sesuatu.

"Hei, kau lapar? Jam istirahat nanti aku akan mentraktir mu!"

Gadis itu mengangguk cepat. Siapa yang tidak menerima tawaran menggiurkan itu? Kalian juga pastinya bukan?

Julia memelas, "Mo, katakan apa yang terjadi denganmu," ucapnya memohon. Mora menghirup napas segar sebelum akhirnya memukul jidatnya dengan pulpen.

"Sebelum aku bercerita, berjanjilah kau tak akan berteriak, Jul!" tukas Mora.

"Janji," balas Julia. Ketika Mora dalam ancang-ancang siap, seorang guru memasuki kelas lebih dulu dan ia terpaksa kembali ke bangku belajar.

Semua siswa sibuk mengetuk kepala, menggigit pulpen bahkan menjambak rambut hingga terlepas. Mereka berusaha keras mencari jawaban dari pertanyaan fisika yang sangat ribut. Beribu jawaban tak pasti menghampiri para pemalas bertingkah lembut. Sang guru memekik keras dibalik pakaian kusut. Hanya Mora yang sedari tadi tetap diam memikirkan lelembut.

"Ra, boleh aku pinjam pulpen mu?" celetuk Elvena di telinga Mora.

"Silakan."

Mora menatap sekilas Elvena dari atas dahi hingga leher yang ternyata tumbuh kotoran disitu. Tahi lalat berbentuk bundaran kecil menempel tanpa takut.

Setelah selama beberapa jam berkutat dengan selembar kertas dan tangan yang penuh keringat, bel istirahat berdentang kencang. Perut-perut lapar memenuhi ruang kelas saat para siswa berhamburan menuju kantin. Sementara Mora lebih memilih melahap bekalnya di dalam kelas seorang diri.

Di balik celah jendela, Elvena menguras sebagian air mata dengan menangis. Entah apa yang membuatnya pilu sedemikian, bagai hati teriris. Mora mengintipnya meletakkan separuh rasa miris.

"Kenapa dia?" gumam Mora.

Julia menarik lengan Mora, seolah ingin memberitahu sesuatu. "Mo, kau pasti senang setelah melihat berita ini," ucapannya begitu meyakinkan benak SII gadis pecinta komik.

"Sungguh?! Aku akan membelinya!"

Sebuah brosur berwarna putih bertuliskan sepatah kata yang memuat lima tumpukan komik gratis itu menarik perhatian Mora. Toko buku terdekat di sekolahnya mengadakan acara terbatas yakni pembagian komik gratis dalam waktu sehari saja. Mora tentu tak ingin melewatkan kesempatan emas ini.

Mora berusaha melewati kerumunan orang-orang saling berdesakan yang mempunyai satu tujuan untuk mengambil komik gratis. Beruntung, Mora mendapatkan lima set komik horor tebal lantas membawanya pulang. Karena tidak fokus, ia menabrak seseorang tepat didepannya. Alhasil, buku dalam dekapannya jatuh berantakan.

"Ah, maaf!" seru pria itu. Tangan besarnya ikut memungut komik Mora yang berjatuhan.

Mora menggeleng, "Aku bersalah,"

"Tidak, saya yang tidak sengaja menabrak anda," sahutnya lagi.

Mora memutar bola matanya malas ke arah lain. Orang itu ikut-ikutan saja mengalah. Ia melihat kamera yang melingkar di di leher lelaki itu dengan sepasang earphone di telinganya.

"Anda seorang reporter?" tanya Mora.

Pria itu mengangguk, "Saya sedang sibuk. Jika anda punya berita menarik bisa menghubungi nomor saya," ucapnya dan memberikan sebuah kartu nama.

Mora tersenyum simpul mengamati kartu itu di lengannya. Ia ingin tertawa karena merasa lelaki itu bodoh memberi kartu tak berguna kepada gadis belia seperti dirinya.

"Lebih baik ku simpan saja."

Marissa tersenyum-senyum setiap kali menyentuh pigura foto yang baru saja ia dapatkan entah darimana. Saking fokusnya, wanita itu tak menyadari seseorang telah mengawasinya dari tadi.

"Mora! Kenapa diam disitu?"

"Ah, aku hanya senang melihat ibu tersenyum."

Mora menyentuh foto berukuran persegi panjang yang terbilang baru. Di foto itu, terpampang Marrisa berfoto bersama para perias dan kontestan lainnya yang tak kalah cantiknya pula. Awalnya, tak ada yang aneh dengan foto itu. Penglihatan Mora menangkap seorang wanita berambut panjang nan berkulit pucat, namun dengan raut wajah cemberut tak tersenyum ria. Selain itu kedua tangannya melingkar di leher seolah sedang menahan amarah.

"Ibu, kenal dia?" tanya Mora menunjuk ke arah foto itu.

Marissa mengernyit, "Tidak. Ibu jarang melihat wanita cemberut seperti nenek buyut."

Marissa tertawa terbahak-bahak hingga dahak dari tenggorokannya terhempas keluar. Sementara Mora berkutat dengan wajah gadis melotot marah di pigura foto yang tersimpan di laci Marissa. Kepala Mora terasa berkerut, ia tak tahan menatap foto itu lama-lama seolah gadis di dalam foto sedang melototinya tajam.

_________________________________________

Hello!

Sudah lama aku tak menyapa reader! Maaf sekali update story ku lumayan sedikit lama karena tumpukan tugas yang menghadang dan real life semakin gersang. Ku harap kalian selalu menanti :)

Sembari menunggu, yuk tebak-tebakan, siapa kira-kira di foto itu? Ku tunggu Jawaban kalian!