"Ayah, Reyno! Lagi pada ngapain?" sapa Cantika sebagai basa-basi. Padahal ia sudah membuntuti Reyno semenjak berangkat dari rumah.
Bramantio dan Reyno terperanjat ketika melihat Cantika yang tiba-tiba datang ke hadapannya. Mereka berdua saling mendongak penuh tanya. Dari mana Cantika bisa mengetahui mengenai pertemuan hari ini.
"Yang! Kok kamu bisa ada di sini?" tanya Reyno penuh curiga.
"Aku ketemuan sama temen-temen aku, Yang. Tempatnya di sini, kok bisa samaan ya," jawab Cantika dengan nada manjanya. Ia memang sedikit cerdik dalam membuat alasan.
"Kamu ketemu, Ayah? Kok enggak bilang-bilang sih sama aku. Katanya ketemu temen kamu gimana sih," sindir Cantika pada Reyno seraya duduk di kursi dekat suaminya.
"Hm iya, memang benar tadi aku ketemu teman aku, tapi enggak sengaja ketemu Ayah di sini," tukas Reyno yang sesekali melirik ke arah Bramantio berupaya menyembunyikan perbincangannya hari ini.
Sampai akhirnya perbincangan Bramantio dan Reyno harus terhenti karena adanya Cantika. Sepertinya mereka harus mengatur ulang lagi jadwal pertemuan untuk meluruskan masalah ini.
Hari ini Reyno cukup terkejut dengan penuturan Bramantio, ia sama sekali tidak menyangka jika Sabrina harus menjalani penderitaan selama 3 tahun karena ulahnya.
Reyno adalah salah satu orang yang membuka jalan penderitaan Sabrina. Mulai dari memutuskan hubungan sepihak tanpa perasaan iba, menikahi adik tirinya bahkan membuat Sabrina terkurung di sel jeruji besi dengan kesalahan yang tidak pernah ia perbuat.
Pikiran dan perasaannya semakin berkecamuk manakala ia di hantui oleh rasa bersalahnya terhadap Sabrina. Terlebih setelah ia mengetahui jika sampai detik ini keluarganya tidak mengetahui dimana keberadaan Sabrina.
Ia mencoba mencari informasi kepada teman-temannya demi mencari keberadaan orang yang telah ia hancurkan hidupnya.
Namun, hasilnya selalu nihil. Tidak ada satupun kenalannya yang mengetahui keberadaan Sabrina.
Hal ini menyulut emosi Cantika, manakala ia mengetahui jika suami yang sangat ia cintai tengah berjuang mencari mantan kekasihnya.
"Apa maksud kamu, Yang? Aku mendengar sendiri dari obrolan kamu di telpon dengan temanmu. Jadi benar kamu tengah mencari Sabrina?" geram Cantika pada Reyno penuh dengan emosi seraya menaikan nada bicaranya.
"Apa-apaan kamu Ren? Kamu masih sayang sama dia!" sambung Cantika seraya membulatkan bola matanya menggambarkan emosi yang tengah meluap dalam perasaannya.
"Enggak, Yang. Aku cuma bantuin Ayah aja. Kasian Ayah selalu sedih mengingat keberadaan kakak kamu," sanggah Reyno dengan lembut dan mencoba meraih tangan Cantika.
Cantika menghempaskan genggaman tangan Reyno dan memalingkan wajahnya. Seketika Reyno memeluknya dari belakang dan mencoba menetralkan perasaan istrinya.
"Sudah, Yang. Aku sangat mencintai kamu. Kamu adalah wanita satu-satunya yang ada dalam pikiranku," rayu Reyno tepat di dekat daun telinga Cantika.
Lagi-lagi Reyno selalu saja berhasil meluluhkan perasaan Cantika.
Rasa cintanya yang begitu besar pada Reyno selalu saja memadamkan emosi yang begitu menyala di hati Cantika.
Tanpa memikirkan perasaan Cantika, Reyno berjanji di dalam hatinya akan menebus semua kesalahannya pada Sabrina. Rupanya benih cinta pada Sabrina masih selalu tersimpan jauh di lubuk hatinya yang paling dalam. Reyno sadar betul jika memang sebenarnya ia mencintai dua wanita sekaligus yakni kaka beradik, Cantika dan Sabrina.
Sementara Bramantio masih dengan kondisi yang sama, rasa yang sama, mengkhawatirkan satu-satunya putri kandungnya yang entah dimana keberadaannya, sehat apakah sakit, perasaan itu terus berkecamuk dalam pikiran Bramantio.
Tiba-tiba terdengar bunyi notifikaai d layar ponsel Bramantio, gegas ia membuka aplikasi pesan berwarna hijau di layar ponselnya.
[Yah, besok kita ketemu di taman Suropati jam 7 malam. Tolong Ayah jangan balas pesan ini dan segera menghapusnya. Saya pun sama akan segera menghapus pesan ini agar Cantika tidak mengetahui rencana kita.] Pesan yang di kirimkan Reyno pada mertuanya, Bramantio.
Gegas Bramantio menghapus pesan yang masuk dari menantunya, Reyno.
Melihat pesan dari Reyno seakan ada titik terang yang mulai Bramantio rasakan.
Dan tiba di hari yang sudah di tunggu-tunggu oleh Bramantio, sesekali ia melirik benda bundar berwarna perak di lengan kirinya, waktu menunjukan pukul 18.30 rasanya ia sudah tidak sabar menunggu kedatangan Reyno.
Ia sudah siap duduk sendirian di taman suropati di sebuah kursi besi berwarna putih, kursi yang sama yang dulu pernah duduk berdampingan bersama Sabrina sebelum Sabrina terjerembap ke dalam lubang lara. Sesekali matanya berkaca-kaca tatkala mengingat tentang keberadaan putrinya sekarang.
Sampai akhirnya yang di tunggu-tunggu tiba juga di lokasi, Reyno mengucapkan salam, meraih serta mencium punggung tangannya sebagai kebiasaan rasa hormatnya pada mertua.
"Ren apa Cantika tidak tahu kamu pergi ke sini?" tanya Bramantio pada Reyno, memastikan jika Kejadian kemarin tidak terulang kembali.
"Tidak, Yah. Hari ini Cantika belum pulang dari Salon, tadi siang pergi sama mamah saya ke mall dan sekarang masih di salon katanya," jawab Reyno dengan nada datar.
"Jadi gimana, Ren? Kamu sudah bisa menjelaskan permbicaraan kita kemarin yang sempat terpotong," tegas Bramantio pada Reyno.
"Iya, Yah. Maka dari itu saya mengajak Ayah bertemu di sini," jawab Reyno.
"Pada saat itu, saya memang salah. Di tengah perjalanan menuju kembali ke kantor seusai makan siang saya melihat mobil berwarna merah dengan nomor polisi yang saya tahu itu milik Sabrina," lanjut Reyno.
"Terus apa yang terjadi!" Bramantio semakin antusias.
"Saya berusaha mengejar mobilnya, saya hanya ingin berbicara karena ada yang harus saya ungkapkan, saya terus menerus menarik pedal gas motor saya akan tetapi mobil Sabrina juga tak mau berhenti dan kecepatannya semakin kencang. Setelah saya berhasil melewati mobil Sabrina, terlihat sekilas jika di dalam mobil itu ternyata bukan Sabrina yang mengemudikannya, melainkan seorang wanita lain yang tak begitu jelas terlihat dan kecelakaan itu terjadi sampai saya tidak tahu apa-apa," tutur Reyno menjelaskan kronologi yang sebenarnya.
Mendengar menuturan Reyno seketika Bramantio tertunduk dan mulai terlihat bulir bening luruh tak terbendung di pipi lelaki paruh baya itu. Ia sudah tidak mampu membendung air matanya lagi, ternyata memang benar apa yang sudah Sabrina jelaskan 3 tahun lalu. Dirinya memang tidak bersalah. Ia mencoba mengusap lembut wajahnya yang sudah terlanjur basah oleh air mata.
"Memang kepentingan apa yang hendak kamu bicarakan pada Sabrina, Ren? Sampai-sampai kamu berbuat nekad kejar-kejaran di jalan raya yang jelas-jelas berbahaya," lirih Bramantio dengan kondisi wajah semakin sedu.
"Maafkan saya, Ayah. Saya telah menyakiti hati Ayah," ujar Reyno.
"Menyakiti apa maksudnya, Ren?" balas Bramantio
"Sejujurnya saat saya melamar Cantika, saya baru saja seminggu memutuskan hubungan dengan Sabrina," jelas Reyno seraya menundukan kepalanya karena tak kuasa menahan rasa bersalahnya pada Bramantio.
"Apa?" Bramantio terperanjat mendengar penjelasan dari Reyno.
'Sabrina putriku, sungguh malang sekali nasibmu. Kamu rela melepaskan orang yang kamu cintai demi adik tirimu,' batin Bramantio semakin berkecamuk.
"Cantika mengatakan jika ia telah menjalani hubungan selama 5 bulan sebelum akhirnya kalian menikah!" Bramantio mulai sedikit menaikan nada bicaranya.
"Iya, Ayah. Maafkan saya. Saya menghianati cintanya Sabrina dan berselingkuh dengan Cantika. Saya sama sekali tidak tahu jika Cantika adik dari Sabrina," jawab Reyno seraya meraih kembali kedua tangan Bramantio.
"Cukup, cukup, Ren! Ayah tidak mau mendengar lagi ucapan kamu. Ayah harap Cantika tidak mengetahui hal ini, ini akan sangat menyakiti perasaannya." Dengan bibir bergetar menahan luka, Baramantio menghempaskan kedua tangan Reyno.
"Kamu dengan jelas telah menyakiti kedua putri Ayah sekaligus, Ren!" Dengan hati yang sangat pedih, Bramantio berdiri sesekali mengusap wajahnya dengan kasar yang terlanjur basah oleh air yang terus mengalir dari bola matanya.
"Maafkan saya, Ayah. Saya akan menebus kesalahan Saya," lirih Reyno mencoba menarik tangan Bramantio agar tak segera pergi.
"Cukup, Ren. Tidak usah! Kamu urus saja istrimu, jangan kamu ulangi kesalahanmu lagi!" Bramantio menghempaskan tangan Reyno dan berjalan melangkahkan kakinya, pergi menjauhi tempat duduknya bersama lelaki yang selama 3 tahun telah menjadi menantunya.
Bramantio pulang ke kediamannya membawa sejuta luka di hatinya, betapa pedihnya mengingat putrinya yang berhati mulia itu telah masuk terperosok kedalam lubang penderitaan yang begitu menyiksa jiwa dan raganya.