"Tidak, aku tidak mengenalinya," jawab Alessa yang kemudian masuk berjalan cepat menuju kamarnya.
Alena tentu saja menjadi bingung karena sikap Alessa yang tidak seperti biasa sejak tadi. Sejak ia pulang, hingga sekarang saat Alessa tiba-tiba menyebut kata 'Dia' pada pria yang akan dijodohkan pada Alena.
Namun, Alena tak berpikir lebih jauh karena baginya itu tidaklah penting. Lagipula, setahu Alena, teman-teman Alessa hanya seputar sekolah tempatnya mengajar dan sekolah tempat anak autis-- ralat, anak istimewa kata Alessa.
"Haris ... Ini Alena, anak gadis saya yang akan kami jodohkan sama kamu. Alessa sayang, ini Haris," ucap Harsit dengan senyum sumringah. Tampaknya, ayah dari dua saudara kembar itu sangat bahagia.
Alena mengernyitkan keningnya. Memang, pria di depannya termasuk pria tampan. Namun, ia menyayangkan cara pria itu memilih model pakaian.
Baginya, jaman sekarang adalah jaman di mana semua orang menolak memakai pakaian berwarna terang. Namun, pria di depannya malah memakai warna merah cabe sebagai setelan jas yang ia kenakan.
"Duduk dulu, biar ngobrolnya seru dan nyambung." Harsit membawa Alena serta Haris untuk duduk di sofa besar miliknya. Begitu juga dengan Risa, ibu sambung mereka.
Awalnya, Haris serta Harsit hanya membahas tentang bisnis keluarga yang sedang mereka jalani bersama. Mendengar itu, seketika Alena merasa bahwa perjodohan ini hanya agar bisnis yang keduanya jalani tidak putus ditengah jalan. Singkatnya ... Seperti perjanjian bisnis.
"Ini minumannya ...."
Alessa membawa teko berisikan teh serta empat gelas dan satu sendok serta wadah tempat menaruh gula batu. Seperti biasa, dalam rumah ini Alessa selalu kebagian tugas membuat air minum dan mengantar kepada tamu saat ada tamu yang berkunjung.
"Ini anak saya juga, kembarannya Alena, namanya Alessa." Harsit menjelaskan tentang Alessa.
Alena tidak banyak berbicara selain hanya menjadi pendengar saja bagi dua orang yang menurut Alena gila kerja.
"Less, tampan sih, tapi norak." Alena berbisik pelan saat Alessa berdiri di belakang sofa tempat Alena duduk.
Alessa tak memberikan respon selain hanya membulatkan matanya terkejut dengan apa yang Alena katakan. Lalu, ia mencubit pelan pundak Alena dan menyuruhnya untuk diam.
Alena tahu, meski mereka kembar, tapi sifat mereka bertolak belakang. Alessa sangat pandai menyimpan perasaan, sedangkan Alena begitu blak-blakkan.
"Alena, bawa Haris ke taman belakang. Kalian harus mengobrol kan setidaknya untuk saling tahu satu sama lain," ujar Harsit yang membuat Alena hanya mengangguk patuh meskipun dalam hatinya ia begitu ingin menolak.
Dengan berat hati, Alessa membawa pria dengan nama Haris itu menuju ayunan besi di halaman rumahnya. Tak ada percakapan antara mereka selama perjalanan menuju taman. Bahkan, hingga beberapa menit mereka duduk juga tak ada percakapan.
"Namaku, Alena," ucap Alena singkat membuka percakapan.
"Aku Haris, anak bungsu dari keluarga Hartono." Haris menjelaskan namanya dan nama keluarganya.
Alena tahu, keluarga Hartono adalah keluarga yang benar-benar terkenal di dunia bisnis. Namun, Alena tak pernah menyangka bahwa anak dari keluarga Hartono memiliki selera yang begitu rendah seperti ini.
"Kau menyukai tempat seperti club malam?" tanya Alena lagi. Setidaknya, jika memang benar Haris tidak memiliki selera bagus, ia bisa di dandani saat Alessa membawanya ke club malam.
"Maaf, aku tidak pergi ke tempat seperti itu. Aku lebih menyukai teh hijau daripada alkohol," jawabnya dengan senyum tipis.
Alena salah bertanya. Ternyata, selain pakaiannya yang tidak memiliki mode, ia juga anak rumahan. Alena tidak membayangkan jika harus berada di rumah sepanjang hari jika benar akan dinikahi oleh Haris.
"Kau seorang model? Aku sering melihatmu di majalah fashion," tuturnya dengan menatap wajah Alena.
Alena mengangguk. Tidak bisa dipungkiri bahwa Haris memang tampan, ia akui itu. Hanya saja, penampilannya begitu kuno.
"Aku dengar-dengar, kau pernah bersekolah di Amerika?" tanya Alena berharap bahwa Haris memiliki salah satu gaya barat agar sepadan dengannya.
Harsit tersenyum tipis dan mengangguk. Berarti, apa yang ia dengar tentang anak keluarga Hartono memang benar. Ia pernah bersekolah di Amerika.
Namun, Alena tak habis berpikir bahwa Haris tidak suka keluar masuk klub malam. Sungguh, Alena benar-benar tidak habis pikir pada laki-laki di depannya.
"Kau tidak minum alkohol selama di Amerika?" tanya Alena lagi. Ia benar-benar tidak percaya jika ada anak muda yang tidak minum alkohol. Ya, selain Alessa sih.
"Tidak, aku hanya pergi kuliah dan pulang langsung ke rumah. Setiap malam aku belajar bisnis secara virtual dengan ayahku. Lalu, saat weekend aku ke perpustakaan untuk belajar bisnis sendiri," jawabnya masih dengan senyum di wajahnya.
Alena terdiam. Ia berpikir bahwa Haris mungkin akan lebih cocok dengan Alessa. Bukan tanpa alasan, tapi Alena merasa bahwa Haris dan Alessa banyak memiliki kesamaan.
Ia tersenyum, jika Alena dapat mendekatkan Alessa dan Haris. Ia akan bisa melanjutkan hubungannya dengan Toni, kekasihnya.
Tidak, Alena tidak mengatakan bahwa Haris adalah laki-laki jahat. Hanya saja, bagi Alena, Haris bukan termasuk tipenya. Ia berpikir, jika Haris saja seperti itu, entah bagaimana dengan keluarganya.
Alena tidak ingin saat menikah dengan Haris, ia malah seperti burung dalam sangkar. Usianya masih sangat muda, bahkan teman-teman yang usianya dua sampai tiga tahun darinya masih banyak yang belum menikah.
Jika memang menikah pun, Alena ingin masih bisa bersenang-senang bersama teman-temannya. Masih bisa melakukan pekerjaannya sebagi seorang model. Alena berpikir lebih jauh, bagaimana jika sudah menjadi menantu dari keluarga Hartono, pakaiannya juga diatur.
"Aku akan membawa keluargaku, besok. Aku sudah sangat ingin melamar dirimu. Ibuku juga sudah sangat menantikan pernikahan anak-anaknya," ucapnya dengan mata berbinar.
"Oh benarkah? Aku mengenal keluarga Hartono dari berita. Bukankah kau memiliki seorang kakak laki-laki? Apa dia sudah menikah?" tanya Alena ingin tahu.
Namun, pertanyaan Alena malah membuat Haris terdiam. Apa pertanyaan Alena salah?
Ia bahkan tidak merasa bahwa pertanyaan yang ia ajukan itu tidak salah. Berbagai media selalu menyebutkan bahwa keluarga Hartono memiliki dua orang putra. Namun, yang menjadi kebanggaan keluarga itu selalu Haris.
"Dia berada di negara lain. Belum, dia belum menikah," jawabnya setelah berpikir lama.
Benarkah? Namun, gelagat Haris seperti seseorang yang sedang berbohong. Bahkan, dari matanya, Alena juga melihat kebohongan
"Apa kau dan kembaranmu itu kembar identik?" tanya Haris yang Alena tahu ia sedang mengalihkan pembicaraan.
"Iya, kami kembar identik. Lahir hanya berbeda lima menit. Hanya saja, aku dan Alessa berbeda sikap dan sifat. Kau mengenalinya?" Alena tiba-tiba teringat saat Alessa terkejut melihat Haris yang datang sebagai pria yang akan dijodohkan oleh dirinya.
"Tidak, aku tadi bertemu dia dan tak sengaja menabraknya. Lalu, gorengan yang dia pegang tidak sengaja terjatuh. Saat aku melihatnya, aku pikir itu adalah kau, karena Ayahmu menunjukkan fotomu kemarin," jelas Haris dengan tawa diujung kalimatnya.
Entah kenapa, meski mereka memang kembar, tapi Alena tidak suka jika ada.ornag yang mengira bahwa Alessa adalah Alena. Mereka berbeda. Alena selalu menganggap dirinya sebagai putri raja. Sedangkan Alessa cuma honorer dan guru di sekolah anak-anak autis. Apa bagusnya itu?