Pertanyaan dari ibunya Haris benar-benar membuat suasana menjadi canggung. Terlebih lagi bagi Alessa sendiri.
Ia sama sekali bingung harus menjawab apa mengenai hal ini. Wajah ayahnya terkejut, sementara wajah mamanya tampak tidak suka dan menjeling ke arah Alessa.
"Ya, lagian gak ada juga sih yang mau berjodoh sama laki-laki culu----"
Alessa segera memijak keras kaki saudara kembarnya agar ia tak terlalu jauh berbicara buruk mengenai Haris.
Meski Alessa sendiri juga tidak menyukai Haris, tapi itu bukan alasan untuk dirinya menyukai saudari kembarnya menghina Haris di rumahnya. Bahkan, di depan keluarganya dan kelurga Haris.
"Alessa tolong kamu ke dapur ambil camilan, ya." Alessa hanya mengangguk mendengar perintah mamanya.
Alessa tahu, Mamanya tidak menyukai Alessa berada di sana pasti karena mamanya Haris mengatakan hal yang tadi.
Gadis itu berjalan gontai menuju dapur. Ia memang sadar bahwa mamanya itu tidak menyukai Alessa hingga ia bersikap seperti itu pada Alessa.
Sekalipun memang perjodohan itu diatur untuknya, ia juga tidak akan mau. Terlebih lagi bahwa calonnya adalah Haris.
Bukan karena laki-laki itu kuno, tapi karena laki-laki itu yang membuat gorengan gratisan dirinya itu jatuh dan sama sekali tidak meminta maaf.
"Kamu jangan coba-coba cari perhatian ya sama keluarga Haris!" Alessa benar-benar terkejut saat melihat mamanya berada tepat di depan wajahnya.
"Tidak seperti itu, Ma." Alessa berusaha menjelaskan apa yang terjadi.
Bahkan, Alessa tidak tahu kenapa Mamanya itu berkata seperti itu padanya. Sejak tadi, Alessa bahan tidak melakukan apapun hingga mamanya berpikir bahwa dirinya mencari perhatian dari keluarga Haris.
"Lalu, apa yang kamu lakuin tadi? JIka bukan cari perhatian, ya kamu cari muka!" ketusnya dengan wajah judes yang begitu kentara.
Alessa tahu, ini pasti karena ucapan ibunya Haris. Namun, itu bukan salahnya kan? Alessa juga tidak mau jika harus ikut dalam masalah perjodohan-perjodohan ini.
"Tidak seperti yang Mama pikirin, Ma. Aku bahkan tidak melakukan apapun, tapi Mama juga masih menyalahkan aku? Mau Mama apa sih?" tanya Alessa dengan mata berkaca-kaca.
Ia ingat dengan sangat jelas bahwa dulu mamanya sangat menyayangi mereka berdua hingga akhirnya Alena yang terjun sendiri ke dunia modeling. Sejak itulah mamanya berubah kasih sayang pada Alessa.
"Awas kamu!"
Setelah mengucapkan kalimat ancaman tersebut, Risa selaku mamanya pergi meninggalkannya. Tanpa bisa Alessa tahan, bulir bening itu menetes membasahi pipinya.
Ia menyayangi mamanya itu seperti ia menyayangi ibu kandungnya sendiri. Meski hanya ibu sambung, Risa memiliki tempat yang sama di hati Alessa bersama dengan ibu kandungnya.
Alessa begitu menyayangi Risa karena ia sama sekali tidak pernah merasakan bagaimana rasanya memiliki seorang ibu. Hingga akhirnya Risa datang dan membuat dirinya memiliki sosok pengganti ibunya yang meninggal sejak ia dilahirkan.
"Kau menangis? Ada apa?"
Alessa menoleh. Ternyata Haris yang ada di sana. Tiba-tiba saja matanya membulat ketika mengetahui bahwa Haris yang bertanya padanya.
"Kau ini ya, sudah tidak bisa mengucapkan kalimat maaf, tidak bisa pula sopan di rumah orang lain!" seru Alessa dengan wajah marah.
Kesedihan yang tadi menyelimuti dirinya, kini hilang tiba-tiba saat melihat Haris. Apa yang dia lakukan di dapur rumahnya? Apa dia sedang mengintip dirinya?
"Kenapa kau marah? Aku hanya ingin meminjam kamar mandimu saja." Haris menjawab dengan wajah yang bingung.
Sekarang Alessa merasa malu karena tebakannya salah. Lebih tepatnya Alessa sudah merasa kepedean tingkat dewa hingga bisa-bisanya ia menebak bahwa Haris ingin mengintipnya.
Untungnya Alessa hanya mengatakan itu dalam hatinya saja, tidak ia sebutkan secara langung. Jika tidak, maka entah sampai kapan ia harus menyimpan rasa malu itu.
"Boleh aku tahu di mana kamar mandinya?" tanya Haris lagi di tengah-tengah Alessa melamun.
Alessa berdehem dahulu untuk menghilangkan rasa malu yang sudah ia sebabkan sendiri. "Lurus saja, kamar mandi ada di ujung. JIka kau ingin menggunakan wc, itu ada di luar rumah ini."
Namun, bukannya mengerti, Haris malah menunjukkan wajah bingung. Apa penjelasannya tidak bisa dimengerti oleh pria yang ada di hadapannya.
"Apa rumah sebesar ini tidak memiliki sebuah wc yang berada di dalam rumah?" tanyanya dengan wajah bingung.
Alessa memukul keningnya dengan tangan yang tidak memegangi toples camilan. "Tidak di luar rumah ini juga. Maksudku, posisi wc di rumah memang berada di luar, tapi ya di teras gitu. Itu wc untuk pembantu karena kami memiliki wc masing-masing di kamar kami."
"Kau memberikan aku wc untuk pembantu?" tanyanya lagi dengan wajah seolah menolak.
"Apa salahnya?" tanya Alessa dengan wajah bingung.
"Aku seorang tamu!"
"Tapi wc itu juga bukan wc yang seperti ada di dalam pikiranmu."
"Memangnya kau bisa membaca apa isi di dalam pikiranku?" tanyanya lagi.
Cukup sudah, Alessa menyerah. Ia sudah tidak kuat lagi meladeni pria di depannya itu.
"Terserah padamu saja. JIka kau ingin menggunakan wc, gunakan saja wc itu. Jika tidak mau, juga tidak masalah," ucap Alessa dengan wajah kesal. "Tahan saja hajatmu itu sampai kau pulang jika kau ingin wc yang mewah. Karena kau tidak akan pernah menemui wc mewah di sini. Karena ini bukan rumahmu."
Alessa sedang kesal, bahkan sekarang suasana hatinya ditambah kesal oleh pria yang akan menjadi iparnya.
"Aku mengasihanimu, Alena."
Alessa meletakkan dua toples camilan di meja. Bahkan, tatapan tajam mamanya tidak berubah saat melihat Alessa.
Sekarang, Alessa bahkan tidak diperbolehkan untuk duduk dan berkumpul bersama mereka oleh mamanya itu.
"Masuk!" Meski tanpa suara, Alessa bisa membaca gerak bibir Risa.
Tidak apa, mungkin saja Risa takut jika pinangan ini akan rusak atau gagal karena dirinya. Lebih tepatnya lagi karena ucapan ibunya Haris yang lebih menginginkan Alessa menjadi menantunya dari pada Alena.
Alessa mengalah. Ia berbalik dan akaan masuk ke dapur untuk merebus mie instan pedas. Itu lebih baik jika ia harus berad di tengah-tengah mereka dan terus ditatap sinis oleh mamanya.
"Alessa mau kemana, Nak?"
Pertanyaan itu membuat Alessa menoleh. Itu pertanyaan dari ibunya Haris. TIdak mungkin ia berjalan terus kan?
"Mau ke dapur Tante." Alessa menjawab dengan senyum tulus.
Ia menjawab seadanya karena ia tidak ingin mamanya marah dan mengira dirinya sedang cari muka.
"Ngapain ke dapur, Nak?" tanyanya lagi.
Alessa bingung harus menjawab apa. Pasalnya, ia tidak mungkin menjawab bahwa ia ke dapur karena diusir oleh mamanya. Tidak, meski Risa tidak menyukainya, tapi ia tidak bisa membuat mamanya itu malu.
Namun, ia sekarang bingung harus menjawab apa sekarang.
"Dia mau buang hajat, Ma!" seru Haris yang tiba-tiba datang dan menjawab pertanyaan dari ibunya untuk Alessa.