"Haris, kamu ngapain di sini?" tanya Alessa dengan wajah bingung dan nada terkejut.
"Kamu Alessa atau Alena?" Haris malah balik bertanya dengan wajah yang sama bingungnya. Dengan memegangi wajahnya yang habis terkena tas Alessa, Haris terus mengaduh sakit.
"Alessa!" jawabnya dengan sangat ketus.
"Aku kesini karena ada janji sama Alena. Kenapa malah kamu yang dateng?" Kali ini, Haris malah menunjukkan wajah curiga pada Alessa.
Apa-apaan dia ini? Dikiranya, Alessa ingin mencari kesempatan untuk bersama dengannya? Laki-laki yang tidak tahu fashion dan gayanya no---.
Tunggu dulu. Alessa melihat dari atas hingga bawah tubuh Haris. Dia tidak norak. Kali ini, gayanya lebih bagus dari sebelum-sebelumnya.
Bukan hanya lebih bagus. Laki-laki itu juga terlihat lebih keren dengan kaos berwarna putih dan celana pendek jeans berwarna hitam.
"Di mana, Alena?" tanyanya lagi dengan nada yang begitu mendesak Alessa untuk segera menjawab pertanyaannya yang sama seperti sebelumnya.
Alessa tergugu. Ia bingung harus menjawab apa karena dia sendiri pun tidak tahu di mana dan kemana perginya Alena.
Lebih parahnya lagi, ternyata Alena memiliki janji dengan Haris dan malah pergi dengan kekasihnya, Hasbi. Tiba-tiba saja kepalanya sakit memikirkan hal yang tiba-tiba seperti ini.
"Hallo Nona ...." Haris melambaikan tangannya tepat di depan wajah Alessa.
"Alena ada urusan sebentar. Buru-buru juga dia perginya sebelum kau datang." Alessa terpaksa berbohong. Dengan senyum yang ia paksakan, Alessa berharap agar Haris mempercayai dirinya.
"Lalu, kenapa kau yang datang? Maksudku, kau menguntit saudara kembarmu sendiri?" tanyanya dengan wajah yang makin terlihat sangat curiga pada Alessa.
Jelas saja pertanyaan Haris membuat Alessa kesal. "Untuk apa aku menguntit saudara kembarku sendiri? Aku diajak oleh Alena kemari. Jika dia sejak awal dia mengatakan padaku ingin bertemu denganmu maka aku tidak akan ikut. Siapa yang ingin jadi obat nyamuk. Lagi pula, mana mungkin juga aku bisa mempercayai orang sepertimu menjaga saudara kembarku. Secara kan, saudara kembarku itu cantik. Laki-laki sekarang tidak ada yang bisa dipercaya."
"Aku tidak seperti laki-laki yang ada di dalam pikiran kamu!" sanggahnya dengan wajah tidak terima.
"Terserah padamu. Jika kau tidak suka duduk denganku dan tidak ingin bertemu dengan Alena, pulang saja. Aku bahkan lebih suka kau pulang dari pada kau ada di sini," tutur Alessa seraya duduk dan tidak memedulikan Haris.
Ia sengaja berkata seperti itu agar Haris langsung pulang dan dirinya juga bisa pulang dengan taksi online. Hatinya terus berdoa agar Haris memilih pilihan yang Alessa inginkan.
Namun, matanya lagi-lagi membulat sempurna. Laki-laki itu duduk di hadapannya dengan wajah tidak berdosa.
"Aku duduk di sini karena Alena, bukan karena perempuan aneh seperti kamu!" Haris menatap Alessa dengan wajah tidak senang.
Aneh? Aneh katanya? Alessa naik darah. Karena Haris, dirinya harus dimarahi oleh Risa kemarin.
Bahkan, awal pertama bertemu saja dia sudah membawa masalah bagi Alessa. Sudahlah pakaiannya yang memang aneh, kenapa dia sekarang malah mengatakan bahwa Alessa yang aneh.
"Kau jangan pura-pura lupa, ya! Kau lah yang aneh! Bahkan, kau belum mengganti gorenganku yang jatuh." Alessa mengungkit masalah antara mereka berdua.
Harus berdecak. Lalu, ia mengeluarkan senyuman yang benar-benar meremehkan Alessa. "Segerobak gorengan aku bisa ganti untukmu."
"Orang-orang kaya memang selalu sombong," gumamnya dengan nada ketus.
"Kau juga orang kaya. Berarti, secara tidak langsung kau mengatai dirimu sendiri sombong." Haris mengatakan itu dengan nada dan mimik wajah yang begitu menyebalkan bagi Alessa.
Hanya saja, saat hendak menjawab apa yang Haris katakan. Seorang waitress datang dengan membawa buku menu.
"Cappucino!"
Haris dan Alessa saling melirik dengan tatapan yang sama-sama kesal karena mereka menyebutkan nama minuman di waktu yang hampir bersamaan.
"Kau mengikuti aku!" seru Haris dengan wajah yang begitu membuat Alessa sangat kesal.
"Jangan kepedean, ya!"
"Maaf, hanya minuman saja?" Wanita yang menjadi waitress di kafe itu pun mengajukan sebuah pertanyaan dengan nada yang ragu-ragu.
Alessa membaca menu tersebut lagi untuk menentukan makanan apa yang akan ia makan.
"Omelet."
Lagi dan lagi Alessa juga Haris mengucapkan menu tersebut secara bersamaan dengan Haris. Apa-apaan ini?
Wanita tersebut pergi dengan senyum setelah mencatat apa yang Alessa dan Haris pesan. Sementara di meja tersebut, terasa sangat kental aura permusuhan diantara keduanya.
"Kau selalu mengikuti aku. Ngefans banget kamu sama aku?" tanya Haris dengan nada yang menyindir Alessa.
"Aku? Ngikutin kamu? Gak salah?" Alessa menatap Haris dengan tatapan meremehkan. "Kau lah yang selalu mengikuti aku, Haris!"
"Kapan? Orang udah jelas-jelas kamu yang selalu ngikutin aku, kok," elaknya dengan mengejek Alessa di ujung kalimatnya.
"Pertama kali kita bertemu, kau bahkan mengikuti aku sampai ke rumahku. Lalu, sekarang, kau juga datang di kafe yang sama denganku. Padahal, aku yang lebih dulu tiba di sini," jawab Alessa tanpa memedulikan Haris sama sekali. Ia berbicara dengan menatap ponselnya.
"Pertama, aku datang ke rumahmu bukan untuk mengikutimu. Melainkan, aku ke rumahmu untuk bertemu Pak Harsit karena akan dijodohkan dengan anaknya. Untung saja bukan anaknya yang judes ini," jawab Haris dengan melirik-lirik tidak senang ke arah Alessa. "Lalu, aku kemari bukan untuk mengikuti dirimu. Aku datang kemari untuk bertemu calon istriku."
Alessa tidak peduli. Sekarang, yang ia inginkan hanyalah Alena datang ke tempatnya dengan segera.
Sudah berkali-kali Alessa mengirimi saudara kembarnya itu pesan singkat, tapi sama sekali tidak ada balasan.
Ia sudah bertanya di mana keberadaan Alena, bahkan juga lengkap dengan sumpah serapah yang Alessa kirimkan. Hanya saja, Alena tidak membalaskan satu pesan darinya.
"Kau ini sok sibuk. Aku ada di depanmu, tapi kau malah bermain ponsel. Tidak sopan sekali," sindir Haris dengan mata yang melirik-lirik tak senang pada Alessa.
Mendengar itu, jelas saja Alessa merasa tidak senang. Dirinya dikatai tidak sopan oleh pria yang sudah membuat gorengannya jatuh dan tidak meminta maaf pula.
"Kau berbicara tentang kesopanan setelah kau menjatuhkan makananku tanpa kata maaf. Jujur saja, aku sama sekali tidak tertarik untuk berbicara denganmu, Haris." Alessa menjawab perkataan Haris dengan nada ketus dan tatapan yang mata yang tidak senang.
"Nona ... Kau lupa bahwa aku sudah meminta maaf padamu waktu itu? Lebih tepatnya aku berusaha untuk meminta maaf padamu. Bukan hanya itu, aku juga sudah ingin mengganti gorengan yang jatuh milikmu. Kau malah menuduhku melakukan sebuah pelecehan karena aku memegang tanganmu." Haris menuturkan kejadian yang sebenarnya.
Alessa kehabisan kata-kata untuk menyerang pria di depannya ini. Namun, tetap saja Alessa tidak ingin mengalah.
"Intinya, kau lah yang memulai lebih dulu karena sudah menabrakku," jawabnya dengan acuh tak acuh.
"Hai ... Maaf ya bikin nunggu lama."
Alessa dan Haris menatap ke arah sumber suara. Itu Alena. Dia datang dengan wajah yang begitu tanpa dosa.