"Kita mau kemana?" tanya Alessa saat sudah masuk ke dalam mobil yang akan dikendarai oleh Alena.
Alena tampak terkejut melihat penampilan Alessa. Entah apa yang membuatnya menjadi seperti itu. Hanya saja, Alessa tak merasa ada yang berubah.
"Kau cantik sekali, Alessa ...." Alena yang tadi fokus pada ponselnya kini menatap tak berkedip pada Alessa.
Sedangkan Alessa hanya menatap bingung ke arah Alena yang melihatnya dengan tatapan seperti itu. Ia merasa, penampilannya kali ini sama seperti hari sebelumnya.
Ya, memang ada yang berubah sedikit. Kali ini Alessa menambahkan blush on dan eye shadow agar wajahnya terlihat lebih fresh. Lali, menggunakan lip balm agar bibirnya terlihat tidak pucat.
Lalu, ia membuat gaya ikatan rambutnya dengan cepolan biasa. Namun, ia membiarkan anak rambutnya terjuntai bebas di sisi kanan dan kiri. Tidak lupa, ia meng-curly anak rambut yang ia biarkan terjuntai.
"Kau membeli gaun ini di mana?" tanya Alena yang memegang gaun berwarna pink muda itu.
"Beberapa waktu lalu saat aku ke mall bersama rekan guruku. Ada apa?" tanya Alessa yang menampilkan wajah bingung.
"Bagus sekali. Berapa harganya? Dari kainnya, aku percaya bahwa ini tidak lebih dari tiga ratus ribu." Tidak ada yang salah dari perkataan Alena.
Namun, entah kenapa mood yang sudah Alessa bangun sejak tadi pagi rusak begitu saja ketika mendengar perkataan Alena. Nada yang biasa saja, tapi Alessa mengartikan kalimat itu dengan arti bahwa Alena sedang merendahkannya.
"Kau yang paling tahu segala jenis kain." Alessa menjawab dengan nada datar. Moodnya sudah rusak, ia ingin turun saja rasanya.
"Kau marah padaku? Aku tak bermaksud seperti itu. Bukankah apa yang ku katakan memang benar a---"
"Kau ingin pergi sekarang atau aku yang turun?" Alessa sengaja memotong perkataan Alena karena ia tahu jelas sifat saudara kembarnya. Ia sama sekali tak ingin disalahkan meskipun ia memang salah.
"Oke, kita jalan sekarang. Senyum dong." Alena mencolek dagu Alessa yang sudah tersapu dengan bedak tabur berwangikan aroma mawar.
Dengan terpaksa Alessa harus menunjukkan senyum terpaksa. Alena melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang membelah jalan ibukota. Tak lupa, Alena menghidupkan lagu berbahasa inggris yang kekinian.
"Kita sebenarnya mau kemana sih?" tanya Alessa lagi. Ia benar-benar merasa penasaran, rasa penasaran yang sudah tak lagi bisa ia bendung.
"Kepo banget sih ... Ikut aja kali. Sama saudara sendiri masa khawatir gitu. Aku juga gak bakal jual kamu kok," jawab Alena yang masih tidak ingin memberitahu mereka akan kemana.
Meski Alena mengatakan bahwa ia tidak akan menjual Alessa, tapi entah kenapa Alessa menjadi was-was.
"Kau tidak sedang berbohong padaku, kan?" tanya Alessa yang mulai takut.
"Ya Tuhan, Alessa! Pertanyaanmu ada-ada aja. Ya enggak lah!" Alena tertawa kencang setelah mengucapkan kalimat tersebut.
Apa yang lucu? Bukankah itu adalah hal yang wajar Alessa tanyakan? Apalagi Alena yang tiba-tiba mengatakan bahwa dia tidak akan me jual Alessa tanpa ada yang bertanya.
"Gak usah ketawa, lagipula kalau kamu jual aku juga gak bakalan laku, sih." Alessa memandang ke luar jendela.
Memang benar apa yang ia katakan. Alessa saja yang terlalu PD dan takut berlebihan pada Alena. Jika Alena menjual Alessa, apa bakal ada yang mau?
Alessa meringis mengingat itu. "Aku kan tidak secantik dirimu. Mungkin saja laki-laki yang akan membeli juga bakal jijik meski hanya melihatku saja."
"Kau cantik, Less ... Kita ini kembar, kau tidak boleh berkata seperti itu." Alena menatapnya dengan serius. Itu bisa Alessa lihat dari sudut matanya. "Lagipula, aku bahkan tidak pernah memiliki niat sedikitpun untuk menjualmu, Less. Aku tidak sejahat yang kau pikirkan."
Alessa menatap saudara kembarnya. Benarkah apa yang ia dengar kali ini? Benarkah itu Alena yang bicara?
Ia merasa tak percaya dengan pendengarannya barusan. Gadis pembangkang dan berhati keras kali ini berbicara seperti itu?
"Alena, kau kah itu?" tanya Alessa dengan tak berkedip.
"Aku tak sedang bercanda, Less." Alena menatap lurus ke depan melihat ke jalanan.
Mendengar itu, Alessa terdiam. Jika saudarinya sudah seperti itu, maka artinya dia memang serius.
"Aku tahu kau sudah ingin menikah, tapi sebelum nikah jangan bersikap dewasa lebih dulu, dong." Alessa mencubit pipi Alena yang begitu mulus.
Mendengar itu, Alena tak bergeming. Tubuhnya menegang, dan tampak salah tingkah.
Memang, seperti yang Alessa lihat, bahwa saudari kembarnya itu tidak menyukai Haris. Seorang model seperti Alena, mungkin bisa saja merasa gengsi karena harus dijodohkan dengan pria udik seperti Haris.
Namun, jika saja Alessa boleh jujur, Haris itu tampan. Hanya saja, dia tidak bisa memilih fashion yang harus ia kenakan. Pakaian yang ia gunakan selalu berwarna terang dan tidak nyambung.
"Tidak usah salah tingkah seperti itu. Haris itu tampan loh, Len. Dipoles dikit saja pasti kece, kok." Alessa berusaha menghibur saudari kembarnya.
"Iya sih, tapi ya gimana, Less. Masa anak orang kaya gayanya begitu. Kita aja yang gak kaya-kaya banget, bisa bawa diri." Alena terlihat sangat nyolot ketika membahas Haris. Padahal sebelumnya ia sedang sangat serius.
Memang sih, apa yang dikatakan oleh Alena benar. Contohnya saja Alessa. Meski ia tak cantik dan tak berbadan ramping seperti Alena, tapi Alessa selalu berusaha berpenampilan rapi. Berbeda dengan Haris yang berpenampilan seperti itu.
"Bukankah yang terpenting etikanya bagus, akhlaknya baik? Soal penampilan kan bisa dirubah pelan-pelan. Apalagi bila istrinya, Alena." Alessa lagi-lagi berusaha membujuk Alena.
Alena tak menjawab. Ia hanya memajukan bibirnya dengan mata yang fokus menatap ke jalan.
Mobil yang Alena kendarai kini berbelok ke arah kiri. Ia tahu, ini jalan ke arah kafe yang sedang ramai di media sosial.
Kafe dengan nuansa pemandangan alam kononnya. Memang benar, seperti yang sudah sering berseliweran di sosial media, kafe tersebut memiliki kolam ikan yang besar dan pengunjung bebas memancing tanpa harus bayar sewa. Kecuali jika ingin membawa pulang ikan yang sudah terpancing barulah dipungut biaya perkilonya.
"Al, kalau kamu bilang dari awal kita mau ke sini, aku gak mungkin pake dress. Kamu juga kenapa pake dress?" Alessa merasa menyesal karena memakai dress.
"Gak ada larangan kali Less kalau ke sini gak boleh pake dress," jawab Alena dengan sangat santai. "Ayo turun."
"Al, aku pakai hak, loh." Alessa menatap kakinya yang sudah terpasang hak setinggi lima senti.
"Ya emangnya kenapa?"
"Ngeri, Al."
"Pelan-pelan, Less. Sebentar aja, itu juga tangga mulus kok. Abis itu kita duduk aja di atas sana. Aku juga pake hak, kok." Alena menunjukkan hak yang sudah ia gunakan. Hak dengan tinggi tujuh senti dan bukan jenis hak tahu.
"Pegangin, ya?"
Alena mengangguk dan tersenyum pasrah. Setelah itu, Alessa turun dari mobil dan mencoba untuk berjalan pelan. Ia bisa, tapi tidak lancar dan takut.
Ia takut jatuh, apalagi di tempat ramai seperti ini. Rasanya tak lucu jika ia harus jatuh.
Menaiki tangga satu demi satu. Alessa mencoba dengan perlahan, hingga anak tangga terakhir. Lalu, ia menuju pada sebuah meja yang kosong dengan payung besar yang terbuka.
"Di sini aja ya?"
"Terserah saja," jawab Alena yang lagi-lagi fokus pada ponselnya.
Alessa duduk, diikuti oleh Alena. Beberapa menit kemudian, seorang waiters datang dengan membawa sebuah buku menu.
Alessa belum tertarik untuk makan apapun, ia hanya memesan segelas cokelat panas. Begitu juga dengan Alena.
"Sudah lama di sini?"
Alessa memandang ke sumber suara. Memandang bingung ke arah pria yang kini ada di hadapan saudara kembarnya. Siapa dia?