Sepulang Haris dari rumahnya, Alena masih terus memikirkan cara agar Haris dan Alessa bisa mendekat. Sungguh, bagi Alena pria seperti Haris bukan tipenya.
"Haris anak yang baik, kamu beruntung dapetin dia," ucap Risa yang membuat Alena memalingkan wajahnya.
Ya, Risa memang selalu masuk ke kamar Alena tanpa izin. Seperti sekarang ini.
"Mama ... Kayaknya, aku gak cocok deh sama Haris." Alena mengeluarkan uneg-uneg di dalam hatinya.
Namun, wajah Risa kini berubah menjadi wajah bingung. "Kenapa? Kan belum dijalanin, jadi belum tahu cocok atau enggak."
"Dia itu kuno banget, Ma! Masa dia tahunya tarian tradisional aja. Nanti mau pesta, masa pake tari tradisional. Malu Ma!" Alena menumpahkan isi hatinya pada Risa.
Meski Risa hanya ibu sambung, tapi bagi Alena, Risa sama seperti ibu kandung yang menyayanginya tanpa batas. Jadinya, ia juga lebih senang bercerita pada Risa seperti sekarang ini.
"Iya, Mama tahu perasaan kamu." Risa sepertinya mencoba mengerti perasaan sang anak.
Alena terdiam. Saat berbicara pada Haris tadi, pria itu tampak menggebu-gebu ketika menceritakan tarian khas daerahnya, yaitu tari piring.
Namun, bagi Alena, tarian tradisional seperti itu sangatlah kuno. Ia hanya tahu menari di bawah lampu disko kelap kelip yang diiringi musik DJ.
"Ya sudah, pikirkan saja dulu tentang ini. Nanti, saat kamu sudah dapat pilihan yang tepat, baru kamu putuskan," ucap Risa dengan mengelus puncak kepala Alena.
Setelah melakukan itu, Risa keluar dari kamarnya. Ia benar-benar berpikir keras untuk mendekatkan saudara kembarnya dengan laki-laki bernama Haris tersebut.
***
"Selamat datang di rumah kami."
Harsit begitu senang menyambut keluarga Haris yang datang dengan penuh senyuman. Namun, Alena tampak tak begitu senang karena seperti yang ia lihat bahwa keluarga Haris sangat kuno.
Pria tua yang memakai kursi roda itu sudah bisa Alena tebak bahwa itu adalah ayahnya karena wajah Haris begitu mirip dengan pria tua tersebut. Lalu, wanita paruh baya yang memakai hijab gaya tahun 90an itu sudah pasti itu adalah ibunya Haris.
Sungguh, semua anggota keluarganya sangat kuno. Jika semua orang kaya berlomba-lomba memakai pakaian mahal bermerk terkenal, ibunya Haris memakai baju kebaya yang serba tertutup dengan warna orange dan dipenuhi dengan manik-manik di seluruh brukatnya.
Bahkan, sendal yang ia gunakan juga jauh dari kata modis. Ia menggunakan sendal tanpa merk yang terbuat dari kayu dan kain batik sebagai penjepitnya.
"Silahkan duduk," ujar Harsit yang mempersilahkan keluarga Haris untuk duduk.
Meski sangat ingin memasamkan wajahnya, tapi ia harus terus tersenyum demi ayahnya. Ia terpaksa harus senyum pada kedua orang tua Haris.
"Ini Alena, ya?" tanya ibunya Haris dengan memegang-megang pundak baju Alena.
Karena ibunya Haris berbau minyak gosok, dan baunya sangat menyengat. Tentu saja Alena yang tidak suka langsung menepis tangan ibunya Haris.
"Bau minyak gosok." Alena berbicara dengan wajah seolah jijik dengan tangan dan bau minyak gosok pada ibunya Haris.
"Apa-apaan ini?!" Ibunya Haris tampak tak terima. Ya, jelas saja tidak terima, karena Alena sudah bersikap kurang ajar.
"Maaf, Bi, Alena memang tidak menyukai bau minyak gosok dan sejenisnya. Makanya sejak kecil, ia tidak memakai minyak telon atau minyak kayu putih," jelas Alessa yang membela kembarannya.
Melihat bahwa Alena memiliki kembaran, ibunya Haris tampak terkejut.
"Apa mereka ini kembar?" tanya ibunya Harsit seraya duduk dan menunjuk Alessa dan Alena.
"Iya, aku memiliki dua orang putri kembar. Itu Alessa, dan satunya lagi Alena. Sedangkan yang akan kami jodohkan pada Haris adalah Alena," jawab Haris yang diangguki oleh Risa.
"Maaf ya, Bu, anakku itu memang tidak menyukai bau menyengat seperti itu, aslinya, dia orang yang baik," ujar Risa yang membela Alena.
Alena tersenyum simpul seolah menyesali perbuatannya. Padahal, ia sebenarnya begitu jijik ketika ada yang memegang bajunya dengan bau-bauan aneh.
Meski mereka sedang berbicara serius, ibunya Haris tampak masih melirik-lirik Alena dengan tatapan tajam. Ia tak peduli, karena ia akan mendekatkan Alessa pada Haris dan dia akan menikah dengan kekasih yang ia cintai.
"Selamat siang, maaf datang terlambat." Alena menoleh. Ia sudah menebak bahwa itu adalah Haris.
Namun, ia benar-benar terkejut saat melihat penampilan Haris yang benar-benar tidak fashionable. Jika kemarin ia memakai jas berwarna merah, kali ini ia datang dengan setelah berwarna pink terang dan celana kain berwarna putih. Lebih parahnya lagi, Haris memakai sendal jepit yang sudah usang.
Alena semakin ilfeel tentunya. Memang benar Haris pria berpendidikan, tapi gayanya begitu menjijikan bagi Alena. Pria lulusan universitas terkenal Amerika berpakaian layaknya anak gembel dari kampung pemulung.
"Masuk, Nak, masuk." Harsit mempersilahkan Haris untuk masuk.
Melihat Haris yang masuk dengan tersenyum pada Alena, dengan terpaksa juga ia harus tersenyum. Namun, parfume yang digunakan oleh Haris benar-benar menyengat di hidungnya.
Alena tahu itu bukan parfume mahal, melainkan parfume refill yang diisi ulang dengan aroma bubble gum. Entah berapa kilo yang sudah Haris gunakan hingga rasanya Alena ingin muntah menghirup aromanya.
"Less, wanginya bikin aku mual." Alena mengadu pada Alessa yang berdiri di sampingnya.
"Kau tidak boleh berkata dan bersikap seperti itu. Mereka itu keluarga yang kuat dengan adat dan budanya. Bisa-bisa kau nanti diblacklist sebagai calon menantu," jelas Alessa yang membuat Alena memonyongkan bibirnya.
Alena tak menyukai sikap kepura-puraan seperti Alessa. Jika Alena tak menyukai sesuatu, maka ia akan mengatakan bahwa ia tidak suka. Seperti saat dipegang oleh ibunya Haris tadi.
"Ayahnya Haris menderita lumpuh sejak tiga tahun yang lalu. Bagian bawahnya tidak bisa bergerak. Kami menginginkan seorang menantu yang bisa mengurusi keluarga kami," kata ibunya Haris dengan senyum tipis.
Mendengar hal itu, jelas saja Alena tampak tidak terima. Ia merasa bahwa keluarga Haris hanya mencari menantu untuk dijadikan pembantu.
"Ak---"
"Jangan katakan apapun meski kau sangat marah. Kau tahu, memang itulah tugas seorang menantu." Alessa menahan tangan Alena untuk memberi kode agar Alena tak mengucapkan kalimat apapun yang akan mengacaukan perjodohan tersebut.
"Aku bukan pembantu Less, aku saja di sini memiliki pelayan pribadi. Aku tidak mau harus menjadi pembantu di rumah orang lain," kata Alena dengan nada tertekan.
"Saat kau menikah, orang tua Haris adalah orang tuamu juga." Alessa berkata tepat di telinga Alena.
Sungguh, ia mengira bahwa menikah dengan orang kaya, maka akan hidupnya akan semakin seperti ratu. Namun, kenyataannya, ia malah harus mengurusi ayahnya Haris yang sudah lumpuh.
Untuk sesaat Alena ragu untuk menolak perjodohan ini. Namu,n sekarang, ia tak memiliki alasan lagi untuk tidak menolak perjodohan dengan keluarga Haris.
Ia benar-benar akan mencoba mendekatkan Alessa pada Haris. Tak apa, bukankah Alessa juga sudah sangat sering berkerja bersama pembantu di rumah.
"Kenapa kau tidak menjodohkan kami dengan putrimu yang satu lagi? Siapa namanya? Alessa," ucap ibunya Haris secara tiba-tiba.
Sontak saja perkataannya itu membuat semua orang yang ada di sana terkejut.