Chereads / Cinta Tiga Hati / Chapter 2 - Pria Berjas Merah

Chapter 2 - Pria Berjas Merah

Alessa sudah berada di jalan pulang dari mengajari sekolah tempatnya mengajar anak-anak penyandang disabilitas. Langkahnya begitu terburu-buru karena ia sudah sangat terlambat untuk pulang.

Ayahnya serta ibu sambungnya berpesan bahwa ia harus pulang sebelum pria yang akan melamar Alena tiba di rumah. Pastinya, itu karena Alessa harus turut andil dalam menyiapkan segalanya.

Alessa memilih berjalan kaki dari sekolah menuju rumahnya karena memang lokasinya tidak jauh. Terlebih lagi, ia memang tidak pandai menyetir mobil.

"Alessa ... Kok buru-buru sekali?!" tanya seorang penjual gorengan di daerah rumahnya.

"Iya, Bu buru-buru mau ada acara keluarga." Alessa menjawab dengan cepat dan segera berlalu pergi.

"Aduhh ... Neng, ini gorengannya udah ibu siapin gratis untuk si Neng." Ibu itu berjalan cepat mengejar Alessa.

Mendengar itu, Alessa mendadak berhenti. Memang, gorengan wanita paruh baya itu selalu di beli oleh Alessa saat pulang maupun saat akan pergi ke sekolah. Ia selalu membeli banyak untuk dibagi-bagikan pada murid-muridnya.

"Ini Neng. Gratis untuk si Neng. Di makan, ya!" Ibu itu memberikannya dengan senyuman.

"Terima kasih, Ibu. Aduh ... Jadi enggak enak. Beneran gratis ini?" tanya Alessa yang masih tidak percaya.

"Benar. Ini khusus untukmu." Ibu penjual gorengan itu tersenyum dan memegang erat lengan tangan Alessa. "Maaf, Nak. Ibu lupa. Bajumu jadi berminyak."

Wajah ibu itu tampak bersalah. Namun, Alessa sama sekali tidak marah. Ia malah tersenyum dan menenangkan wanita paruh baya itu.

"Tidak apa-apa, Bu. Tidak masalah," ucap Alessa menenangkan. "Kalau gitu, aku permisi dulu, ya. Sudah terlambat. Terima kasih gorengannya."

Ibu itu mengangguk. "Kalau saudara kembarmu yang diginiin, pasti dia akan sangat marah dan memaki-maki ibu."

Alessa hanya tersenyum saja mendengar perkataan dari ibu penjual gorengan itu. Bagi Alessa meskipun kembar, buka. Berarti sikap dan sifatnya harus sama kan?

Meski Alessa sering mendengar keluhan dari beberapa orang mengenai sifat dan sikap Alena, tapi tidak masalah baginya. Bukan berarti Alessa menyukai hal itu. Hanya saja, Alessa memang seperti itu sejak dulu. Sudah berkali-kali Alessa menasehati dirinya, tapi Alena tetap tidak merubah sikapnya.

Bugh ....

Seseorang menabrak Alessa yang membuat gorengan di tangannya terjatuh dan tergeletak di tanah. Padahal, ia sama sekali belum mencicipi satu pun dari banyaknya gorengan itu.

Jelas saja Alessa menjadi marah. Ia menatap pria berjas merah itu dengan tatapan sinis.

"Apa kau tidak memiliki mata hingga kau menabrak diriku?!" hardik Alessa yang menatap sinis pria di depannya.

"Maaf, Nona ... Anda yang menabrak saya," elak pria itu dengan wajah tenang.

Wajah tenang yang pria itu keluarkan malah membuat Alessa semakin kesal.  "Apa kau tidak merasa bersalah karena sudah menabrak seorang gadis bahkan kau membuat makanan gadis itu terbuang sia-sia. Sungguh, aku begitu lapar sekarang."

"Baiklah, jika makanan itu yang membuatmu kesal denganku, maka akan aku ganti. Ayo!" ajak pria itu yang masih menunjukkan wajah tenang dan sekarang malah menarik lengan Alessa dengan sangat pelan.

Namun, bukannya senang, Alessa semakin emosi. Dia menepis tangan pria itu yang memegang tangannya.

"Kau ini ya, sudah bersalah malah memegang-megang tanganku!" Setelah mengucapkan kalimat itu, Alessa kemudian pergi dengan perasaan marah.

"Aku sudah sangat terlambat, tapi pria itu mengganggu jalanku. Aku sangat lapar, tapi dia menjatuhkan gorenganku. Sudah seperti itu, tidak meminta maaf pula. Dasar!" Alessa terus mengoceh seraya berjalan pergi meninggalkan pria berjas merah itu.

"Pamali menyebut-nyebut lapar saat sedang berjalan!" Pria itu berteriak ketika Alessa sudah berjalan sedikit jauh darinya. Namun, Alessa jelas saja masih mendengarnya.

Wajah Alessa masih saja masam bahkan ketika sudah berada di rumah. Ia melihat seluruh rumah sudah sangat rapi. Bahkan, kini halamannya rumahnya juga begitu rapi.

"Alessa, kemana saja dirimu?" tanya Risa saat berpapasan dengan Alessa di pintu utama rumahnya. "Kenapa wajahmu seperti itu?"

"Tidak ada. Aku baru saja pulang mengajar," jawab Alessa yang masih sangat kesal dengan pria berjas merah tadi.

"Alessa, tolong siapkan apa yang belum siap!" seru Risa saat Alessa menaiki tangga menuju kamarnya.

Alessa tak menjawab. Meski ibu sambungnya itu memakai kata tolong, tapi itu artinya Alessa tidak bisa menolak apapun yang ia suruhkan.

Namun, hari ini entah kenapa rasanya begitu malas. Tidak seperti biasanya saat Alessa yang dengan sendirinya mengerjakan pekerjaan rumah.

Ia kembali menuju lantai bawah untuk melihat apa yang belum dikerjakan. Tidak ada, semuanya sudah rapi. Untuk sekejap, Alessa merasa bahwa ia bisa tenang.

"Less ... Kenapa wajahmu begitu kesal? Kau kesal karena aku akan segera berjodoh?" tanya Alena tiba-tiba yang muncul dari arah pintu utama. "Bajumu kotor sekali. Apa anak-anak autis itu yang melakukannya?"

Alena menggelengkan kepalanya. Ia tidak begitu tidak terima ketika Alena selalu memanggil anak-anak berkebutuhan khusus dengan sebutan autis. Bagi Alessa, mereka itu istimewa.

"Len, mereka bukan autis. Mereka istimewa," jelas Alessa dengan wajah datar. "Udah dibilangin berkali-kali juga."

Alena membuat wajah seakan tidak percaya. Hal itu justru membuat Alessa tambah kesal. Gara-gara pria berjas merah, ini lagi karena Alena yang mengatai anak istimewa dengan sebutan autis.

"Iya udah, maaf. Beneran mereka yang buat baju kamu begini?" tanya Alena lagi.

"Tidak. Ibu-ibu penjual gorengan di depan. Lagian, kan kamu yang mau dijodohin, bukan aku." Alessa menjawab dengan wajah datar.

"Emang sih, ibu-ibu penjual gorengan di depan suka megang-megang. Mungkin dikiranya aku itu kamu, suka salah dia," jelas Alena dengan nada kesal.

Alessa tahu kenapa Alena begitu kesal mengingat ibu-ibu penjual gorengan. Kemarin, awal-awal ibu itu berjualan, ia tak mengetahui bahwa Alessa dan Alena adalah kembar. Jadi, saat Alena yang membeli gorengan, ibu itu memegang tangan Alena dan membuat gadis cantik itu marah.

"Kamu udah siap?" tanya Alessa mengalihkan pembicaraan tentang ibu penjual gorengan.

"Udah, kan sudah cantik." Alena memutar tubuhnya.

Memang benar apa yang dikatakan oleh Alena, dia sudah cantik. Alessa saja yang tidak menyadari bahwa kembarannya itu sudah bersiap-siap.

Alena memakai dress brukat berwarna merah muda yang terdapat manik-manik. Lalu, riasannya kali ini tidak semenor yang biasanya ia gunakan saat melakukan pemotretan.

"Iya kau memang cantik," ucap Alessa dengan senyuman yang begitu tulus.

"Kau seharusnya bersiap-siap juga, soalnya ayah bilang, sebentar lagi pria itu datang," tutur Alena yang kini mulai mendorong-dorong tubuh Alessa agar segera masuk ke dalam kamarnya dan mengganti pakaian.

"Alena, ini laki-laki yang ayah katakan sudah tiba." Perkataan Harsit sukses membuat adik beradik kembar itu berbalik untuk melihat pria yang dimaksud oleh ayahnya.

Namun, mata Alessa membulat sempurna ketika melihat pria yang dibawa oleh ayahnya. Ia tidak mengenalinya, tapi ia tahu laki-laki itu beberapa menit yang lalu.

"Dia?!" Kata itu keluar begitu saja dari mulut Alessa ketika melihat pria berjas merah yang menabrak dirinya tadi.

Meski Alessa mengucapkan kalimat itu dengan pelan, tapi Alena pasti mendengarnya. Ia menatap Alessa dengan tatapan bingung.

"Kau mengenalnya?" tanya Alena yang tak menatap Alessa dengan raut wajah bingung.