Malam ini terlihat Rizal sedang sibuk mengerjakan tugas kuliahnya di depan laptop. Hari jarinya menari nari dengan cepat di atas keyboard. Karena merasa lelah, ia mengaitkan semuan jarinya lalu menariknya ke depan dan ke belakang. Sendi sendinya mulai berbunyi.
Hawa dingin mulai terasa pada tubuh laki-laki berambut cepak itu. Ia merasa ada yang sedang memperhatikannya. Ia mencoba mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan kamarnya. Namun tidak ada apapun di sana.
Rizal lalu kembali mengerjakan tugasnya yang belum selesai. Layar laptopnya sempat mati ketika ia beristirahat sejenak tadi. Namun ketika Rizal membuka layarnya lagi, betapa terkejutnya ia melihat tulisan 'aku datang' pada halaman word dengan tulisan berwarna merah seperti darah.
Rizal mengernyitkan dahihya, ia mundur dari layar laptopnya dengan rasa takut yang luar biasa. Rizal tetap berusaha tenang sambil memperhatikan tulisan itu.
"Aneh," gumamnya pelan.
Kemudian suasana jadi semakin mencekam. Angin mulai berhembus kencang, gorden pada jendela kamar Rizal mulai terbuka sendiri. Rizal lalu bangkit dari tempat duduknya dan berjalan untuk menutup kembali gorden itu.
Belum sempat kembali ke meja belajar, gorden kembali terbuka. Rizal jadi kesal. Ia mengeram sambil menutupnya lagi dengan kasar.
Ketika Rizal kembali ke meja belajarnya, ia sangat terkejut. Jantungnya seperti akan meloncat keluar. Ia melihat sosok Yoga dengan wajah seram dan bau anyir sedang berdiri di depan layar laptopnya.
"Mau apa lo?" tanya Rizal yang mulai merasa kesal karena terus terusan diganggu oleh arwah Yoga.
"Gue mau lo mati!"
"Apa maksud lo? Memangnya gue salah apa hah?" Rizal mencoba tenang, meskipun sebenarnya ia sangat ketakutan.
"Karena lo sudah berani ikut campur urusan gue dan Dani! Jadi sekarang lo juga harus mati!" kata Yoga sambil tertawa cekikikan.
"Gue cuma nggak mau lo ganggu Dani lagi. Lo ganggu kita semua. Lo sudah tenang di alam sana."
Yoga merasa tidak terima dengan ucapan Rizal tadi. Matanya memerah, ia mulai mendekat ke arah Rizal. Kedua tangannya terulur ke depan dan bersiap untuk mencekik leher Rizal.
"Lo harus mati!"
Arwah Yoga terbang ke atas langit kamar Rizal. Lalu ia menyerang Rizal dengan brutal. Dari atas langit kamar, Yoga mengayunkan tangannya ke arah Rizal dan mengangkat tubuh Rizal ke atas lalu melemparkan tubuh Rizal ke arah lemari. Kepala Rizal terbentur lemari. Ia mulai kesakitan minta tolong.
Tidak berhenti sampai di situ, Yoga mencekekik leher Rizal dan membuat tubuh Rizal yang jadi tidak berdaya lagi. Rizal hampir kehabisan nafasnya.
"Lo harus mati!"
Rizal mencoba melepaskan cekikan di lehernya, tapi sayang kekuatan Yoga jauh lebih besar.
Rizal tak dapat banyak berbuat lagi. Ia hanya pasrah jika dirinya harus mati di tangan Yoga.
Kalung penangkal pemberian dukun itu juga sudah ia buang. Karena ia pikir Yoha sudah tidak akan datang lagi menganggunya.
Ketika nyawanya di ambang batas, Rizal memejamkan matanya lalu ia mencoba melanjutkan ayat kursi agar arwah Yoga segera pergi.
Mendengar lantunan ayat kursi itu, Yoga melepas tangannya dari leher Rizal. Ia menutup kedua telinganya yang terasa panas.
"Panas!" katanya sambil menutup telinga.
Perlahan Yoga menghilang.
Rizal terbatuk batuk karena cekikan Yoga yang sangat kuat. Ia juga bersyukur masih bisa hidup dan bisa terbebas dari jeratan Yoga tadi.
"Urusan kita belum selesai!"
Rizal mendengar suara itu. Tapi arwah Yoga sudah tidak kelihatan lagi.
"Gue nggak bisa diam begini aja. Masalah ini harus segera diselesaikan. Yoga harus kembali ke alamnya dengan tenang."
Rizal merogoh kantongnya, mencari ponselnya lalu mencoba menghubungi Dani.
"Halo, ada apa?" tanya Dani dengan nada ketus.
"Barusan Yoga datang. Dia mau bunuh gue!" kata Rizal masih menekan lehernya yang sakit.
"Lo serius? Jangan bercanda..."
''Gue serius. Ngapain juga gue bercanda masalah begini."
"Maafin gue, ini semua salah gue," ucap Dani dengan nada suara yang lemas.
Terdengar ada perasaan bersalah dari kalimat Dani itu.
"Udah nggak usah minta maaf. Sekarang gimana caranya agar Yoga kembali dengan tenang ke alamnya dan berhenti gangguin kita semua."
"Gue tahu caranya Zal," sahut Dani masih dengan suara yang lemas.
"Apa?"
"Gue harus mati! Agar semuanya selesai. Yoga nggak akan datang dan gangguin kalian semua."
"Gila lo! Kalau gitu sama aja kita kalah sama iblis."
"Hanya dengan cara itu semua ini berakhir. Gue harus mati sesuai dengan janji gue kepada Yoga. Baru setelah itu Yoga akan tenang."
"Dan, jangan macam-macam deh," ucap Rizal mulai panik.
Dani tak menjawab lagi teleponnya. Ia mematikannya.
Rizal jadi berpikir kalau Dani akan melakukan hal yang nekat.
"Jangan-jangan dia mau nekat lagi bunuh diri," gumam Rizal panik dan gemetaran.
Tapi jam sudah menunjukan pukul satu malam. Rasanya tidak sopan jika Rizal harus datang ke rumah Dani tengah malam begini.
Ia hanya berdoa agar Dani baik-baik saja dan tidak melakukan tindakan yang nekat.
Dani merasa semua masalah yang menimpa teman-temannya itu adalah karena kesalahan yang sudah ia perbuat kepada Yoga. Sehingga Yoga marah dan mengganggu mereka semua.
Dani merasa lelah, ia bangkit dari tempat tidurnya lalu berjalan menuju ke meja belajarnya.
Dani mencari sesuatu yang bisa ia gunakan untuk mengakhiri hidupnya.
Tak menemukan sesuatu apapun di sana, Dani melangkah keluar dari kamarnya. Ia berjalan menuju kd dapur.
Mengambil sebuah pisau dari lemari.
"Ayo... Matilah bersamaku!" kata Yoga yang tiba-tiba muncul di belakang Dani.
Yoga membisikkan kalimat itu terus menerus di telinga Dani.
Dengan tangan yang bergetar, Dani mulai menempelkan pisau itu ke pergelangan tangannya.
Lalu pria itu menelan ludahnya, memejamkan matanya, dan mulai menggoreskan pisau ke bagian tangan kirinya.
Belum sempat merasakan apapun, tiba-tiba pisau itu terjatuh.
Dani membuka kembali matanya dan mendapati ibunya sudah berdiri di hadapannya.
"Dani! Apa yang mau kamu lakukan tadi hah? Kamu sudah gila ya?" teriak Wati dengan wajah yang sangat cemas dan ketakutan.
"Biarin aku mati Bu. Masalah ini akan selesai jika aku sudah mati."
Dani meneteskan air matanya.
"Masalah apa? Ada apa sebenarnya dengan kamu?" teriak Wati sambil mengguncangkan kedua bahu Dani agar membuat putranya itu sadar.
Beruntung tadi Wati terbangun dari tidurnya. Karena merasa haus, maka ia berjalan menuju ke dapur untuk mengambil minum.
Tapi ia justru melihat Dani sudah memegang sshug pisau.
Dani mencoba mengakhiri hidupnya dengan pisau itu. Namun usahanya gagal karena Wati tiba-tiba datang.
"Aku yang sudah menyebabkan Yoga meninggal dunia, Bu."
Wati semakin tidak mengerti. Ia mengerutkan keningnya dan mengangkat alisnya menatap wajah Dani yang terlihat pucat itu.
"Apa maksud kamu bicara seperti itu?" tanyanya pelan.
Dani hanya diam, dan menunduk. Ia masih takut untuk mengakui semua kesalahannya.