Bimo dan Rizal masih beradu pandang. Mereka sedang memikirkan cara untuk bisa menyelesaikan masalah ini.
"Gimana caranya kira bisa memutuskan janji itu?" tanya Bimo sambil menaikkan alisnya.
"Nanti gue pikirin, sekarang kita beresin aja dulu kamar ini. Sebelum ibunya Yoga datang dan kaget melihat kamar Yoga yang sudah kaya kapal pecah ini."
Bimo mengangguk lalu mereka merapikan kembali kamar Yoga yang berantakan.
Setelah semua beres, mereka segera keluar dari kamar Yoga.
Anehnya pintu kamar Yoga yang tadi sempat terkunci itu sekarang bisa dengan mudahnya dibuka.
Rizal dan Bimo segera berpamit kepada Anggi yang tengah duduk di rumah tengah sambil menonton televisi.
"Kami pamit ya Bu," ucap Bimo sambil menjabat tangannya. Disusul oleh Rizal dari belakang juga menjabat tangannya.
"Sudah ketemu bukunya Nak?"
Mereka kompak mengangguk lalu segera keluar dari rumah Yoga sebelum mendapatj hal hal yang aneh lagi.
***
Dani sedang terlelap di kamarnya. Ia tidak menyadari bahwa ada Yoga yang selama ini selalu menemani tidurnya. Bahkan menemani Dani kemanapun ia pergi.
Mata Yoga yang merah itu melotot, melihat ke arah punggung Dani yang membelakanginya.
"Kamu harus mati Dani!"
Ia sudah tidak sabar ingin melihat nyawa Dani melayang dan pergi bersamanya.
Yoga sudah tidak sabar lagi jika harus menunggu ulang tahun Dani yang masih beberapa minggu lagi itu.
"Gue akan mempercepat kematian lo, Dani!" kata Yoga sambil mendekatkan kedua tangannya ke arah Dani.
Yoga lantas mencekik leher Dani.
Dani yang tadi sedang terlelap, tiba-tiba tersadar karena merasa ada sesuatu yang mencekik lehernya.
Dani berusaha untuk melepaskan cekikan itu, tapi lehernya tercekat dan ia tidak bisa bersuara.
Cowok itu tak menyerah, ia masih terus berusaha untuk melepaskan cekikan itu dari lehernya.
Dani baru menyadari kalau ternyata Yoga yang sudah mencekik lehernya itu.
"Lepasin gue!" teriak Dani sambil terus berusaha untuk melepaskan tangan Yoga dari lehernya.
"Lo harus mati sekarang juga!" kata Yoga semakin mencekik Dani dengan erat membuat Dani jadi hampir kehabisan nafasnya.
"Tapi kan gue bilang nanti. Pada saat hari ulang tahun gue. Jangan sekarang!" kata Dani yang merasa kesal kepada Yoga.
Bukankah Yoga juga sudah menyetujui kalau ia akan menjemput Dani nanti ketika Dani ulang tahun. Tapi kenapa malah sekarang Yoga sendiri yang mengingkarinya?
"Sebentar lagi empat puluh hari kematian gue. Itu artinya gue akan kembali ke alam gue dan sebelum hari itu tiba, gue ingin lo sudah ikut dengan gue."
Dani terus berusaha melepas cekikan Yoga dari lehernya.
Semakin Dani berusaha untuk melepasnya semakin Yoga mempererat cekikan itu. Dani tak dapat lagi melawan. Ia pasrah dan siap jika dirinya akan mati sekarang juga. Toh semua yang terjadi pada Yoga memang salah Dani. Yoga celaka dan meninggal dunia karena kesalahan Dani waktu itu.
Secara tidak langsung Dani telah membuat sahabatnya sendiri jadi meninggal dunia.
Dani memejamkan matanya, ia juga meneteskan air mata. Sebentar lagi pasti dia akan mati. Dia sudah siap dengan takdir yang akan menimpa dirinya.
Dani membayangkan wajah ayah dan ibunya yang selama ini sudah sudah payah merawatnya hingga ia bisa kuliah seperti sekarang.
Dani memejamkan matanya lebih dalam lagi, ia merasa nyawanya akan dicabut oleh pencabut nyawa.
Ia juga sudah ikhlas jika harus mati dengan kondisi yang tak seharusnya. Kondisi mati di tangan sahabatnya sendiri.
Tak berselang lama, Dani terjatuh dari atas ranjangnya. Kepalanya membentur lantai. Dani membuka matanya, menatap ke langit langit kamar dan meraba tubuhnya.
"Gue masih hidup?" tanya Dani sambil memukul mukul pipinya seakan tak percaya kalau ia masih berada di alam dunia nyata.
"Berarti tadi itu cuma mimpi ya? Kok serem sih? Dan jelas banget kaya nyata," ucap Dani sambil bangkit dan kembali ke ranjangnya.
Dani menghela nafas panjang, ia merasa lega karena apa yang ia alami tadi hanyalah mimpi buruk.
Dani juga tak tahu kalau mimpi itu bisa jadi pertanda buruk yang sebentar lagi akan mengintai dirinya. Hanya tinggal menunggu waktu, sosok pria berwajah hancur dengan bau anyir yang berdiri di belakangnya sedang mengincar kematiannya.
Dani kembali melanjutkan tidurnya yang tadi sempat terganggu oleh arwah Yoga.
Keesokan harinya.
Setibanya di kampus, Dani mencoba menceritakan apa yang terjadi padanya tadi malam pada Dimas.
"Apa? Lo mimpi dicekik Yoga?" teriak Dimas dengan nada suara yang sedikit tinggi.
Dani mengangguk pelan, ada rasa takut ketika ia menceritakan hal ini kepada Dimas.
"Bukan cuma itu aja. Tapi dia juga bilang kalau dia akan mengajak gue mati."
Ucapan Dani tadi membuat mata Dimas jadi terbelalak. Ia mulai menyelidik maksud dari perkataan Dani tadi.
"Lo punya janji sama dia?" tanyanya dengan sangat berhati-hati.
Mau tidak mau Dani jadi mulai menceritakan semuanya kepada Dimas. Mulai dari awak kejadian kecelakaan itu sampai arwah Yoga yang bergentayangan.
Sesekali Dimas bergidik merinding mendengarnya.
Bagaimana tidak, Dani juga bercerita kalau selama ini arwah Yoga selalu menemaninya tidur, ia juga selalu ada di kamar Dani dan duduk di atas lemari pakaiannya.
"Mending usir dia deh Dan," ucap Dimas memberikan saran.
"Dia bukan Yoga!" teriak Bimo yang tiba-tiba datang dan telah mendengar semua obrolan mereka.
"Hah? Maksud lo?" tanya Dani mengangkat alisnya karena merasa tidak mengerti apa maksud dari ucapan Bimo itu.
"Dia bukan Yoga. Dia hanya jin yang sedang menyerupai wajah Yoga untuk mengganggu manusia." Bimo menepuk bahu Dani dan mencoba memberi pengertian.
Kini Bimo duduk di samping Dani. Ia mencoba menenangkan pikiran Dani yang kacau.
"Gue udah coba tanya ke ustadz. Katanya seseorang yang sudah meninggal dunia itu beda alam dengn kita. Jika kita merasa ada yang mengganggu atau melihat roh nya bergentayangan, itu hanya jin. Iblis dan jin bisa menyerupai wajahnya seperti manusia. Kecuali orang yang meninggal karena bunuh diri. Katanya roh nya akan gantung sampai kiamat dan tidak akan diterima di alam sana."
"Jadi sekarang gue harus gimana?" tanya Dani mulai ketakutan. Matanya memerah. Secara tidak langsung ia sudah membuat janji dengan jin yang menyerupai wajah Yoga.
"Nanti kita cari solusinya sama-sama ya," ucap Dimas mencoba merangkul bahu Dani dan menenangkan pikirannya.
"Tapi gue sudah terlanjur janji sehidup semati sama dia."
"Kita pasti bisa menemukan cara untuk memutus janji itu," sahut Bimo juga merangkul bahu Dani agar bisa lebih tenang.
Dani hanya mengangguk dan berharap masalah ini bisa segera berakhir.
"Pokoknya lo harus bilang sama kita kalau ada apa-apa."
Dani kembali mengangguk sambil tersenyum.