Suara denting sendok saling bersentuhan memenuhi suasana pagi ini. Tak ada percakapan, hanya ada suara deru nafas yang terdengar satu sama lain. Sebegitu canggungnya hubungan keluarga antara Deon dan orang tuanya.
"Ekhem! Uhuk! Uhuk!" Ayah Deon tiba-tiba berdeham kemudian tersedak oleh makanannya sendiri. Deon hanya menatap bingung ayahnya sedangkan ibunya sibuk langsung menasehati ayahnya.
"Makanya, kalau kau mau bicara. Minumlah dulu, selesaikan makanmu! Jadi tersedak 'kan?" ucap Ibu Deon seraya memberikan minum.
Ayah Deon tak mengindahkan ucapan Ibu Deon. Ia kemudian mengelap bibirnya dengan tisu karena makan pagi ini terasa berantakan.
"Aish! Sial sekali," gerutu Ayah Deon seraya mengelap bajunya yang lumayan basah karena tadi sempat menyenggol air minumnya saking terburu-buru.
Lia dan Deon hanya menunduk, fokus dengan sarapan mereka tanpa berniat mengobrol bersama kedua orang tuanya. Seperti itulah hubungan mereka yang justru tak seperti hubungan antara anak dan orang tuanya.
"Ekhem!" Ayah Deon berdeham kembali. Namun, tak diindahkan oleh keduanya. Mereka fokus dengan sarapan pagi yang harus segera diselesaikan karena udara di rumah ini terlalu menyesakkan.
"Deon," panggil Ayah Deon yang seketika mengalihkan pandangan Deon.
Anak laki-laki itu menatap ayahnya. Satu-satunya sang diktator yang ada dalam hidupnya. Dialah yang selalu mengatur ke dalam hidup Deon.
"Ayah mau bicara," ucap Ayah Deon lagi.
"Bicaralah. Sejak kapan kau suka basa-basi seperti ini," sahut Deon kemudian melahap makanannya kembali.
Ayah Deon menghela napasnya kasar. Deon memang selalu berhasil menaikkan pitamnya dalam waktu sepersekian detik.
"Ekhem! Jadi, mulai besok ayah dan Ibu akan ke luar kota. Terpaksa, kalian tinggal berdua dan jagalah adikmu dengan benar! Kami akan kembali seminggu ke depan," jelas sang Ayah.
"Baiklah, bukankah aku kakak yang baik Lia?" tanya Deon pada Lia yang dibalas anggukan oleh Lia dengan lugunya.
"Baguslah. Jangan bawa gadis itu kemari. Dia hanya benalu," tambah Ayahnya.
"Untuk apa aku membawa pembuat onar," sahut Deon lagi kemudian meminum susunya.
"Baguslah, satu lagi. Kau tak boleh dekati Beni. Dia mulai sedikit gila sekarang, jadi menjauhlah bahkan dari keluarganya sekalipun," pinta Ayahnya.
"Kenapa aku harus menjauhinya?" tanya Deon bingung. Karena, selalu seperti itu perintah dari ayah dan Ibu Deon.
"Kami khawatir dia akan menyakitimu. Dia tidak waras, lihatlah cara dia hidup. Apa kau yakin dengan pukulan setiap hari dia akan baik-baik saja?" tanya Ibu Deon yang membuat Deon meringis ngilu.
Ia ingat bagaimana caranya Bibi dan Pamannya menyiksa Beni dengan brutalnya. Dan satu, apa yang Deon dapatkan karena Deon melanggar perintah ayah dan ibunya. Sehingga, terpaksa Deon harus mendapatkan hukuman yang setimpal supaya jera.
"Oh, kalian khawatir padaku," ucap Deon seraya mengenakan sepatunya.
"Jelas kami mencemaskanmu, Deon. Kau itu anak kami!" tegas Ayah Deon.
"Ya, ya. Aku anak kalian, baiklah aku berangkat! Lia, sampai jumpa!" pamit Deon tanpa salam pada ayah dan ibunya dan pergi begitu saja.
"Anak itu semakin tidak sopan saja!" gerutu Ayah Deon emosi.
"Lupakan saja dia. Lebih baik kau antar Lia sekolah, dia bisa kesiangan nanti," suruh Ibu Deon.
Ayah Deon kemudian langsung bergegas bersiap mengantarkan Lia. Meski dalam hatinya, ia masih emosi pada sikap Deon yang tak sopan.
***
Saat Deon berangkat, sudah biasa jika dipagi hari akan ada pemandangan memuakkan yang harus terbiasa ia lihat. Beni kini tengah mereka siksa dengan menendang kepala mereka secara tak manusiawi. Belum, Beni dipukuli habis-habisan hanya karena tidak pulang semalaman. Padahal, Deon melihat Beni pulang namun tak ada yang membukakan pintu sama sekali.
Belum dengan hinaan verbal yang diberikan kepada Beni. Entah itu ungkapan sial atau kata-kata kotor yang menambah Beni semakin dendam.
Deon berjalan dengan santai menggunakan earphone yang selalu ia kenakan kemana-mana. Sebab, dengan lagulah Deon akan merasa lebih tenang melihat tindakan orang tua yang memperlakukan anaknya seperti hewan.
Beni yang hanya bisa merintih dan menangis. Ia menatap Deon yang berjalan dengan santai tanpa membantu Beni sama sekali. Ia menyimpan dendam yang terus bertambah dalam hatinya.
Saat orang yang kau kira akan menyayangimu, kini meninggalkanmu. Maka, akan tercipta kebencian yang teramat sangat dalam benakmu.
***
Deon berangkat ke sekolah dengan santai. Ia melihat Aisha tengah menggoda laki-laki lain selain dirinya. Hubungan mereka usai hanya karena Deon memiliki saudara seperti Beni.
Dari awal, Deon sudah menduga jika Aisha adalah gadis yang tak baik. Ia melihat fisik dan juga uang Deon. Dan apa yang ayahnya katakan itu benar. Di usia seperti ini, baiknya Deon mengejar apa yang menurutnya lebih penting.
Aisha mungkin akan berpikir jika Deon akan marah dan cemburu. Namun, dia hanya cuek dan dingin seperti biasanya. Bahkan tak memandang wajah Aisha yang sedang menunjukkan kepameran bahwa ia bisa tanpa dirinya.
Aisha yang geram langsung mendekati Deon. Berharap bahwa Deon akan cemburu dan memohonnya untuk kembali. Dengan begitu, ia akan mudah mempermalukan Deon lebih dalam lagi.
"Oh, hai Deon!" sapa Aisha seraya menghalangi pintu masuk ke kelas Deon.
Deon yang menggunakan earphone tak mempedulikan itu sama sekali. Ia mencoba masuk melewati Aisha namun gadis tengil itu masih menghalanginya.
"Bisakah kau minggir?" tanya Deon pada Aisha.
Aisha pun langsung mengambil earphone Deon dan mematikannya. Dia benar-benar kesal karena Deon tak menghiraukannya. Laki-laki ini benar-benar sialan memang!
"Mau apalagi?" tanya Deon kesal.
"Heh.. Aku sudah bisa tanpamu. Apakah sekarang kau sudah bisa tanpaku?" tanya Aisha seolah meremehkan Deon.
"Lalu, untuk apa kau tahu itu? Haruskah aku memohon kau kembali?" tanya Deon bersikap remeh padanya.
"Oh jelas! Kau itu harusnya malu dengan keluarga terkutukmu itu!" hina Aisha.
"Cih, kau lebih hina bahkan dari saudaraku, Aisha! Dia memang buruk rupa, tapi dia tidak buruk hati," tegas Deon kemudian mengambil paksa earphone miliknya dari Aisha.
Sedangkan gadis itu, ia kesal setengah mati kepada Deon. Laki-laki itu harus Aisha permalukan. Terlebih dengan keluarganya yang memiliki latar belakang tak sebagus kehidupannya.
Entah kenapa, Aisha menjadi jijik dan kesal kepada Deon. Terlebih, nilai mereka memang selalu berdekatan. Dan Aisha selalu berada di bawah tingkat Deon yaitu peringkat Dua di seluruh kelasnya.
Semenjak kejadian itu, Aisha memulai perang agar dapat meraih posisi itu. Supaya tak ada lagi yang menyukai Deon dan benci juga jijik terhadapnya. Ego Aisha yang terlalu tinggi membuat Aisha terjebak dalam masalahnya sendiri. Ia tidak tahu, dibalik hal itu ada seseorang yang juga menyimpan dendam berat kepadanya.
Dendam yang akan membahayakan hidup dirinya dan keluarganya. Aisha benar-benar menghadapi orang yang salah!