Selepas kepergian Beni, hari itu tak ada lagi Lia yang ketakutan. Sejujurnya, Deon sangat sedih karena dirinya harus kehilangan teman kecilnya. Ia bahkan menyalahkan dirinya sendiri karena telah membuat Beni pergi dan menyakiti hatinya. Deon bahkan belum sempat meminta maaf padanya, bahkan Beni tampak sangat membencinya.
"Kakak, kau sedang apa?" tanya Lia yang melihat Deon duduk di teras depan rumahnya dan melamun sendirian menatap rumah Beni yang kosong.
"Ah, tidak. Apakah kau mau bermain?" ujar Deon menawarkan Lia agar bermain dengannya.
"Ayo! Aku ingin bersepeda, sudah lama aku tidak bermain sepeda dengan kakak!" seru Lia.
"Bersepeda? Sore-sore begini?" tanya Deon ragu.
"Iya, apakah kakak tidak mau?" sahut Lia tampak sedih.
"Hey, aku mau! Segeralah bersiap, aku akan mengeluarkan sepedanya dulu. Takutnya, sepeda itu kempes," ujar Deon.
"Asyik!! Baiklah, aku akan segera bersiap!" seru Lia senang dan berlari ke kamarnya untuk bersiap-siap.
Deon tersenyum, ia senang Lia bisa ceria seperti semula. Namun, hatinya tetap merasa bersalah. Akhir-akhir ini, sebelum Beni pergi memang Beni bertingkah laku aneh. Semenjak kepergian paman dan bibinya, Beni semakin menjadi aneh dan kasar.
Andai saja hari itu, Deon mau membantu Beni. Mungkin semuanya akan baik-baik saja. Ya, meski ia harus melihat siksaan demi siksaan soal Beni. Tapi, setidaknya Beni tidak kasar dan menjauh darinya.
Deon kemudian mengalihkan pikirannya. Ia harus bergegas mengeluarkan sepedanya dan mengeceknya. Hari ini adalah hari yang indah bagi Lia. Dan Deon harus menyempurnakan hari-harinya.
Ia kemudian berjalan menuju gudang da mengecek sepedanya. Bannya ternyata lumayan kempes karena sudah lama ia tak memakainya. Masih mending tidak bocor juga. Ia kemudian mendorong sepedanya menuju halaman depan.
"Kakak, aku sudah siap!" seru Lia saat Deon baru saja sampai ke halaman depannya.
"Apakah kau mau menunggu? Aku akan ke bengkel dulu untuk mengisi angin," jelas Deon seketika merubah wajah Lia.
"Yah, baiklah. Jangan lama-lama, aku takut jika sendirian," sahut Lia.
"Tidak akan lama, tunggu saja di luar!" sahut Deon.
Lia kemudian mengangguk, Deon lalu mendorong sepedanya ke bengkel terdekat yang berada tak jauh dari rumahnya. Hanya terhalang 3 rumah darinya, ia akan menemukan bengkel tersebut.
"Apakah kau tahu? Beni menghilang semenjak ia melenyapkan orang tuanya, kabarnya Ann dan Jackson mati dibunuh olehnya," ucap salah satu pria bertubuh tinggi tegap, bernama Lim.
"Darimana kau bisa menyimpulkan Beni membunuhnya? Dia bilang jika ayah dan ibunya meninggalkannya karena mereka bertengkar dan muak padanya," sahut pemilik bengkel tersebut.
"Aku serius, aku hari-hari kemarin melewat ke kebunnya. Dan tak sengaja, aku menemukan tulang-tulang seperti tulang manusia," jelas Lim.
"Hey, bung! Yang benar saja anak bodoh itu membunuh ayah dan ibunya. Kalau dia yang dibunuh, aku baru akan percaya," sahut pemilik bengkel tersebut mengelak ucapan Lim yang mengatakan bahwa Beni membunuh orang tuanya.
"Halo paman," sapa Deon yang baru saja datang dengan sepeda yang ia dorong dan baru sampai.
"Eh, Deon? Ada masalah apa?" tanya pemilik bengkel tersebut.
"Ini paman, sepedaku butuh angin sepertinya. Adikku ingin bersepeda katanya," jelas Deon.
"Oh baiklah, tunggu sebentar!" sahut pemilik bengkel itu kemudian membawa sepeda Deon ke dekat pompa motor.
"Deon, apa kabarmu?" sapa Lim.
"Kabar baik, kak Lim. Kau sendiri?" tanya Deon ramah.
"Aku juga baik. Oh ya, kudengar beberapa hari ini adikmu tidak mau sekolah. Kenapa dia begitu? Apakah dia dirundung?" tanya Lim penasaran.
"Ah, soal itu aku tidak tahu kak Lim. Hanya saja, dia sering bilang takut kepada Beni. Setelah Beni pergi, dia sudah kembali sekolah seperti biasa," sahut Deon.
"Apa? Kenapa dia takut pada Beni?" tanya Lim terkejut.
"Aku tak tahu pasti, namun semenjak kepergian paman dan bibi. Beni mulai aneh juga dengan Lia yang semakin ketakutan. Lia bilang dia melihat sesuatu yang terjadi malam itu antara Beni dan orang tuanya, namun saat aku ke rumahnya tak ada hal apapun yang aneh," jelas Deon.
"Apa kau mengecek kamarnya?" tanya Lim seketika membuat Deon bungkam.
Ya, malam itu ia tak mengecek kamar paman dan bibinya untuk memastikan apakah paman dan bibinya baik-baik saja atau tidak. Ia terdiam, kenapa hari itu ia tak mengeceknya? Ia hanya percaya-percaya saja pada ucapan Beni yang mengatakan bahwa Ayah dan Ibunya sudah tertidur pulas setelah mereka bertengkar hebat.
"Aku.. Tak mengeceknya sama sekali," sahut Deon.
DEG!
Apakah benar yang Lim temukan? Apakah
Beni...? Tidak! Tidak mungkin! Deon berusaha menolak pikiran aneh itu mentah-mentah. Meski perilaku Beni aneh, tapi ia tak akan mungkin tega melakukan hal kejam itu pada orang tuanya.
"Jadi.. Kau langsung pulang setelah Beni mengatakan orang tuanya sudah tertidur?" tanya Lim memastikan. Deon pun mengangguk ragu.
Kenapa hatinya merasa tak enak sekarang?
"Kau tahu, aku kemarin menemukan beberapa tulang manusia di kebunnya. Aku tak berniat menuduhnya, namun kenapa bisa ada tulang-tulang manusia di kebunnya?" tanya Lim bingung.
"Apa?! Tulang manusia?!" kaget Deon tak percaya.
"Tak perlu percaya ucapan dia, Deon. Lim hanya membenci keluarga itu, aku tahu. Semua orang juga tak menyukai mereka, namun kau harus sadar Deon ini saudaranya. Dia paling mengenal dengan baik siapa Beni dan keluarganya," jelas pemilik bengkel menepis pikiran buruk Deon soal Beni.
"Tapi, aku benar-benar melihat dan menemukannya!" seru Lim tak mau kalah.
"Lantas, jika ya kau menemukannya. Kenapa kau tak melaporkannya pada polisi atau kepala desa setempat? Siapa yang akan percaya dengan bualanmu itu, Lim. Hentikanlah bergosip seperti ibu-ibu!" sahut pemilik bengkel.
"Tapi—" ucapan Lim terpotong oleh pemilik bengkel yang menyerahkan sepeda milik Deon yang sudah selesai diisi angin.
"Ah, sudahlah Lim! Ini Deon, semuanya hanya 5 dollar," ucap pemilik bengkel tersebut mengalihkan pembicaraan.
"Ini paman, terima kasih ya!" sahut Deon memberikan uang senilai 5 dollar kepada pemilik bengkel.
"Sama-sama. Oh ya, jangan dengarkan ucapan Lim. Dia sepertinya kebanyakan mabuk, mungkin otaknya sedang error," ucap Pemilik bengkel yang hanya dibalas senyuman saja oleh Deon.
"Baiklah, aku segera pulang. Adikku sudah menunggu, mari paman! Kak Lim!" seru Deon kemudian menunggangi sepedanya menuju ke rumahnya.
Setelah Deon ke rumahnya, pemilik bengkel tersebut kemudian menjitak kepala Lim.
"Aw! Kenapa kau memukulku?!" tanya Lim kesal.
"Habis kau bodoh, jangan buat perkara jika tak ada bukti! Kau tahu, kau bisa saja menyakiti hatinya bodoh!" seru pemilik bengkel.
"Tapi, aku benar melihatnya Sam!" seru Lim kukuh meminta Sam—si pemilik bengkel percaya pada ucapannya.
"Pulanglah, kau terlalu banyak meminum alkohol. Kau bisa menimbulkan masalah jika menyebarkan ucapanmu itu!" suruh Sam kemudian meninggalkan Lim yang kebingungan.