Deon mengunci dirinya juga Lia dalam kamar adiknya. Ia tak sengaja melihat adegan brutal itu. Dan jujur saja, jika kalian bertanya apakah Deon trauma. Jawabannya adalah ya. Sangat trauma.
Ia masih membayangkan bagaimana kepala tetangganya yang bernama Saillen itu terpenggal dan mengeluarkan darah yang bercucuran. Ia melihat bagaimana keluarga itu dibantai habis.
DOR! DOR! DOR!
Gedoran pintu itu terdengar lebih kasar dari sebelumnya. Namun, sepertinya dia marah kepada Deon. Anak itu hanya bisa berharap jika pembunuh itu memilih pergi dan meninggalkannya.
10 menit berlalu..
Tak ada suara apapun seperti gedoran pintu tadi. Ia juga tak mendengar langkah kaki. Deon hendak membuka pintu dan mengecek keadaan, siapa tahu pembunuh gila itu sudah pergi dan ia harap tak kembali.
Saat Deon hendak membuka kunci pintu kamar Lia, gadis itu membisik sejenak.
"Kak, intip dari bawah pintu! Aku takut dia ada di dalam!" bisik Lia memberikan saran.
Deon pun dengan ragu-ragu mencoba menunduk dan menatap dari bawah. Karena, apa yang Lia katakan benar jika seseorang akan terlihat bayangannya dari sana.
Deon mencerna keadaan yang ia lihat. Disana nampak tak ada apapun, ia berusaha yakin bahwa pembunuh itu telah lari dan pergi dari komplek ini.
"Apakah dia masih disana?" tanya Lia penasaran.
"Tidak ada. Kuyakin dia sudah pergi," jawab Deon yakin.
Deon hendak membuka pintu, namun lagi dan lagi Lia mencekalnya sebab ia takut suatu hal buruk terjadi pada kakaknya.
"No, don't open the door! Lebih baik kakak disini saja, jika pun iya dia ada di dalam. Kita tunggu sampai besok, aku benar-benar khawatir suatu malam seperti ini akan berbahaya bagi kita. Baik kita menjaga diri saja," jelas Lia memberi saran.
Entah kenapa Deon merasa Lia jauh lebih pintar daripada dirinya. Apa yang Lia katakan benar, sebab pembunuh itu tak akan mungkin pergi begitu saja dengan mudah. Jika pun ya tak terdengar sama sekali pergerakannya, jelas dia akan menyerangmu tiba-tiba.
"Baiklah, lebih baik kau istirahat lebih dulu. Kakak akan menjaganya," ucap Deon memutuskan.
"Apakah semuanya akan baik-baik saja?" tanya Lia cemas.
"Iya, aku yakin semua akan baik-baik saja. Tidurlah, besok kau harus bangun lebih awal untuk sekolah!" ujar Deon.
Lia pun menurut dan langsung menarik selimutnya ke dada. Ia juga mengunci jendelanya. Hey tunggu, apa pembunuh itu tak mengecek tempat ini? Ah, syukurlah jika tidak karena mereka akan benar-benar aman malam ini.
Sementara Deon dan Lia mengunci dirinya di kamar, pembunuh itu berada di luar. Ia berniat membunuh mereka malam ini, namun karena ia sepertinya telah membangunkan tetangga yang lain. Ia memutuskan untuk pergi dari rumah Deon.
Namun, sialnya dia meninggalkan sebuah tanda yang akan menjadi pencerah bagi Deon untuk menemukan dirinya. Dia benar-benar ceroboh!
- The Silent In Midnight-
Keesokan harinya, Deon terbangun di lantai kamar Lia. Ternyata, semalam ia tak benar-benar menjaga Lia semalaman. Saat bangun, ia benar-benar cemas terjadi sesuatu kepada Lia. Namun, saat ia melirik kasurnya, Lia masih terlelap dengan wajah cantik dan imutnya disana.
"Ah, syukurlah!" seru Deon merasa lega.
Ia menatap jam dan membuka jendela. Ternyata, sudah pukul 6 pagi hari. Para tetangga pun banyak yang sudah mulai beraktivitas kembali. Namun, pagi itu kembali sama seperti pagi kemarin.
Deon juga bahkan mengalami mimpi buruk sialan karena melihat adegan brutal itu terjadi di hadapannya. Saillen, kediamannya kini ramai dikerubungi warga dan terdengar suara polisi datang kesana.
Buru-buru, Deon pun keluar dari kamarnya dan mengecek rumahnya. Ia yakin pembunuh itu sudah pergi. Namun, apakah Deon akan baik-baik saja sekarang?
Ceklek!
Deon mencoba membuka pintu kamar perlahan. Keadaan ruang tengah baik-baik saja, hanya saja disana ada sebuah bekas kapak menuncap dan sepertinya itu ulah pembunuh berantai itu.
Jelas itu akan membuat Deon khawatir untuk pulang sekarang. Apakah ia akan memilih menyusul orang tuanya sekarang? Jelas, Deon tak kuat dengan keadaan yang menyiksa dirinya dan adiknya kini.
Deon berjalan mendekat ke kediaman Saillen. Ia menatap sedih Saillen yang hanya ditinggal kepalanya saja, begitu juga anggota keluarga yang lain. Saillen dikenal dengan orang yang ramah, namun mulutnya memang kadang suka mengucapkan kata-kata sarkas.
"Lagi dan lagi, Deon.." ucap Lim saat Deon baru saja sampai ke tempat kejadian.
"Aku melihatnya semalam," ungkap Deon.
"Apa? Yang benar saja? Lalu kenapa kau tidak menangkap pembunuh itu dan berteriak? Kenapa kau tak menolong Saillen dan keluarganya?!" tanya Lim sedikit emosi.
"Aku datang saat mendengar Saillen berteriak, kupikir dia bukan dibunuh. Dan saat aku datang, aku melihat pembunuh itu sudah memenggal mereka semua. Sepertinya, dia membawa badan mereka entah untuk apa," jelas Deon.
"Sial, kenapa dia bisa sesadis ini?" tanya Lim bingung. Ia mulai reda setelah Deon menjelaskan hal yang sesungguhnya.
"Entahlah, aku tak mengerti. Dia juga mengejarku semalaman, aku tak yakin semalam jika aku masih bisa hidup. Kau bisa lihat, jika di rumahku ada cap bukti bahwa ia menancapkan kapaknya untuk membobol rumahku," jelas Deon.
"Ah, bagaimana bisa aku diam di rumah jika keadaan segila ini? Aish, shit!" rutuk Lim.
"Kepada kalian semua, tolong berjaga-jaga untuk malam ini! Jika kalian mendengar atau melihat kejadian menjanggal, langsung telepon 199. Kami akan datang ke tempat kalian secepatnya, dan jika ada warga yang melihat kejadian ini. Tolong ikut kami untuk menjadi saksi keterangan," ucap salah seorang polisi muda bernama Qei.
"Pak Qei, Deon melihatnya tadi malam!" seru Lim. Deon langsung membelalakkan matanya, kenapa Lim sangat lemes sekali mulutnya?
"Oh? Kau anak muda? Apa yang kau lihat semalam?" tanya Qei.
"Emh, aku melihat Saillen sudah terbunuh setelah mendengar teriakan. Pembunuh itu juga sempat mengejarku dan ia memberikan jejak," jelas Deon.
"Wah, itu akan mempermudah polisi untuk menangkapnya!"
"Iya, sebelumnya dia tak pernah memberikan tanda sama sekali!"
"Tapi, setiap korban pasti dipenggal, kenapa ya?"
"Ini benar-benar mengerikan. Apakah setiap hari aku harus melihat manusia tanpa tubuh di pagi hari dan bau amis yang menyengat?"
"Aku sudah tak siap lagi hidup di komplek ini,"
"Tanda? Bisakah kau menunjukkannya pada kami?" tanya Qei penasaran.
"Mari ikut saya," ajak Deon.
Qei dan seluruh masyarakat setempat pun langsung mengikuti Deon pergi. Dan benar, di pintu itu terdapat sebuah bekas kapak yang hendak membobol rumah ini.
"Dia mengejarku, dan kuyakin aku akan menjadi target selanjutnya," ucap Deon cemas.
"Kami akan membantumu, dan menjaga tempat ini untuk aman. Pintumu akan kami perbaiki dan kami bawa sebagai bahan bukti, disana akan ada sidik jarinya. Mungkin saja akan menjadi petunjuk," jelas Qei.
Deon mengangguk, ia harap pembunuhan ini berakhir sekarang. Ia tak kuat lagi untuk bertahan dalam siklus hidup yang terus diteror setiap malam ini.