Sepulangnya dari kantor polisi, Deon langsung masuk ke dalam kamarnya. Ia lagi-lagi harus membolos sekolah demi ini. Anak itu yakin, jika kedua orang tuanya pulang. Ia akan kembali disiksa habis-habisan karena kembali nakal dan meninggalkan jam-jam pelajaran yang berharga untuk masa depannya.
"Sial, kenapa kasus ini tak ada habisnya, sih?" tanya Deon pada dirinya sendiri.
Ia melihat kondisi rumah Saillen dari jendela kamarnya. Kini, di komplek perumahannya tersisa 2 rumah kosong tak berpenghuni. Kedua rumah itu sama-sama memiliki cerita tragis, yakni pembantaian seluruh keluarga yang ada di sana.
Jujur saja, Deon cemas dan khawatir. Pembunuh itu sepertinya akan beraksi kembali malam ini. Sebab, dua keluarga yang telah menjadi korban itu tak mungkin dibiarkan begitu saja.
"AMANKAN KOMPLEK KAMI!!"
"AMANKAN KOMPLEK KAMI!!"
"AMANKAN KOMPLEK KAMI!!"
Deon yang tadinya hendak merebahkan tubuhnya sejenak dibuat kaget dengan para warganya yang hendak mendemo pengatur keamanan komplek dan ketua dari kelurahan ini.
"Ada apa ini? Apakah mereka mendemo pak Kepala lurah karena masalah ini?" tanya Deon bingung.
Deon lantas bergegas menyusul para warga dan mengunci rumahnya rapat-rapat. Ia mengikuti kemana warga akan pergi bersama spanduk-spanduk yang berisi ancaman.
Setelah berjalan sejenak, benar dugaan Deon. Mereka menuju rumah ketua Lurah ini dan mendemo soal pengamanan komplek ini yang mulai tak stabil dan memberikan kewas-wasan bagi para penghuninya.
"Keluar pak Lurah! Anda harus tanggung jawab atas keamanan ini!!" teriak Lim, dia selalu andil dalam hal apapun di komplek ini.
"Tenang dulu, ini ada apa sebenarnya?" tanya pak Lurah yang baru saja keluar dari rumahnya.
"Kami sudah tak nyaman disini! Kami minta keamanan komplek ini kembali dijaga ketat!"
"Iya pak, kami tidak sanggup tinggal disini jika terus ada pembantaian!"
"Tenang dulu semuanya, tenang! Bukankah polisi akan menjaganya nanti malam dan akan memberikan keamanan ekstra untuk komplek ini. Saya mohon maaf jika kalian merasa takut akan kejadian yang menimpa keluarga James dan Saillen, tapi saya juga sama halnya. Saya juga sedang mencari dalang pelaku dari semua ini," jelas pak Lurah.
"Jelas-jelas Deon pelakunya, pak! Mana mungkin pembunuh itu membobol rumahnya namun dia baik-baik saja!" tuduh salah satu warga.
Seketika Deon yang berada di baris paling belakang merasa bingung. Bagaimana mungkin mereka menuduh Deon yang ternyata korban sesungguhnya?
"Tenang dulu warga-warga! Kita tidak boleh berasumsi tak pasti, pak polisi yang menginterogasi sudah mengatakan jika Deon bukanlah pelakunya. Sidik jarinya juga tidak ada sama sekali tertinggal, ia hanya meninggalkan kulit terbakar. Dan Deon dinyatakan sehat dari hal itu," jelas pak Lurah.
"Atau mungkin.. Ini ulah Beni? Bukankah hanya dia yang punya kulit terbakar di komplek ini? Tapi, kemana dia pergi?" tanya salah satu warga.
"Tidak, sudah! Kita jangan berasumsi yang tidak benar. Begini saja, bapak-bapak yang ada di komplek ini akan saya bagi jam kerja untuk melakukan pos kamling agar warga bisa aman. Ditambah, saya akan menjaga pintu masuk dan keluar komplek dengan penjaga yang kekar disertai polisi. Setuju?" usul Pak Lurah.
"Setuju!!" teriak para warga serempak.
"Sekarang. Kalian kembali ke rumah masing-masing, saya akan berkeliling ke rumah kalian untuk mengecek setiap warga laki-laki. Tua muda harus andil dalam hal ini, dan lagi nanti malam bapak-bapak dan anak muda harus berkumpul sebelum fajar terbenam untuk pembagian keamanan. Bisa dimengerti?" tanya pak Lurah.
"Bisa!!"
"Yasudah. Ayo kita pulang!"
"Iya, aku belum memasak untuk anakku!!"
"Aku juga belum mencuci, kerjaan rumah banyak sekali,"
Satu per satu warga kembali ke rumahnya. Sebagian ada yang terkejut dengan kehadiran Deon disana yang terpaku melihat mereka berlalu begitu saja tanpa rasa bersalah. Terutama Lim.
"Eh, Deon? Kapan kau kembali? Apakah kau sejak tadi disini?" tanya Lim berbasa-basi.
"Sudahkah beraktingnya? Apakah kau tak akan berhenti menuduh saudaraku? Lagi, bagaimana bisa mereka menuduhku yang jelas-jelas korban?" tanya Deon bernada kesal.
"Hey bung! Jangan dimasukkan hati ucapan warga yang tak tahu apa-apa itu! Lagipula, semuanya akan aman sekarang. Pak Lurah sudah mengatasinya," sahut Lim.
"Entahlah, sepertinya aku setuju dengan Beni jika orang disini tak punya etika sama sekali," jelas Deon kemudian meninggalkan Lim yang bergeming karena mendengar pernyataan Deon.
- The Silent in Midnight-
Seperti biasanya, Deon menjemput Lia pulang dari sekolah. Sembari menunggu bel pulang berbunyi, Deon menyeruput es yang dibelinya di depan sekolah Lia.
Deon yang asyik meminum es di kala panas terik matahari itu tiba-tiba tertarik dengan seorang pedagang yang dikerubungi oleh banyak pembeli. Dan kebanyakan adalah gadis cantik juga ibu-ibu.
"Wah, dia laris sekali. Sepertinya pedagang itu tampan. Hm... Apa aku membeli daging juga ya untuk Lia? Sudah lama juga tak membeli ayam untuk kujadikan sup," gumam Deon.
Ia pun meninggalkan motornya sejenak. Dan berjalan mendekat ke arah pedagang yang ramai diburu oleh pembeli itu.
"Bang, saya minta ayamnya 1 kilo," pinta Deon pada pedagang tersebut.
Pedagang itu menengadah dan tiba-tiba wajahnya tampak gugup. Entah kenapa, padahal pria itu menurut Deon tampan. Memiliki kulit putih, rambut undercut, mata yang sipit dan hidung yang mancung. Sempurna.
"Oh, ayam ya? Sebentar," ucapnya.
Deon tiba-tiba terperanjat. Suaranya... Suara itu... Suara itu mirip sekali dengan Beni, saudaranya. Tapi.. Mana mungkin pedagang ini Beni? Dari segi wajah saja jelas-jelas berbeda, kulitnya saja mulus tanpa luka bakar sama sekali. Dan sangat putih melebihi Deon.
Jelas itu tidak mungkin Beni, bukan? Deon seketika kembali sadar kala pedagang itu menyodorkan barang beliannya.
"Ini kak, totalnya 50 dollar," ujarnya.
Deon pun langsung merogoh sakunya dan membayar ayam tersebut. Ia lantas berlalu begitu saja, namun hatinya merasa ada yang sedikit aneh.
Pedagang itu tampak gugup kala Deon datang membelinya. Padahal, saat ia melayani para gadis cantik pun ia tidak segugup itu. Atau... Pedagang itu gay?
Ah.. Tidak-tidak! Apa sih Deon? Pikiran macam apa itu!
Setelah kembali, ia melihat adiknya Lia baru saja keluar dari gerbang sekolahnya. Buru-buru, Deon langsung memanggil adiknya.
"Lia!!" panggil Deon seraya melambaikan tangan pada Lia.
"Kakak!!" seru Lia senang.
Lia lantas menghampiri Deon. Mereka berbincang sejenak. Namun, disaat mereka tengah berbincang. Tanpa mereka sadari, ada orang yang tengah mengamati mereka dari kejauhan. Ia tersenyum sinis dan bergumam,"Berbahagialah kalian sekarang, sebab waktu kalian hidup hanyalah beberapa hari lagi. Aku hanya menundanya sejenak," ucap orang tersebut.
"Ayo pulang!" ajak Deon pada Lia.
"Apa yang kau beli?" tanya Lia kepo.
"Ayam, sudah lama kau tak makan ayam bukan?" tanya Deon.
"Yeay! Akhirnya makan ayam lagi!! Ayo cepat pulang!" seru Lia bahagia.
"Baiklah, naik dan peluk erat-erat ya!" sahut Deon.
Lia mengangguk, kemudian Deon menstarter motornya dan melaju menuju ke rumahnya.