Deon baru saja pulang dari sekolah. Biasanya, ia menaiki bus jika di rumah ada orang tuanya. Namun, ia kini membawa kendaraan sendiri. Dan tak lupa, ia juga menjemput adiknya yang baru saja pulang sekolah.
Saat sampai, Deon melihat Lia tengah berbincang manis dengan laki-laki yang Deon ingat jika dia adalah penjual daging yang banyak dikunjungi para ibu-ibu. Semenjak kapan mereka begitu dekat?
Di tangannya, terdapat es krim vanilla yang sepertinya dibelikan oleh laki-laki itu. Lia tampak bahagia dan tertawa dengan senang.
"Lia," panggil Deon.
Lia yang tadinya asyik berbincang pun berbalik menatap kakaknya yang baru saja datang menjemputnya.
"Kakak!" seru Lia senang.
Gadis kecil itu menghampiri kakaknya yang menatap laki-laki tanpa nama yang tersenyum ramah kepadanya. Deon pun membalas senyuman ramah itu, supaya dia tidak berpikir jika Deon adalah manusia sombong.
"Hei, kau beli ini darimana? Jangan bilang kamu meminta kepada laki-laki itu?" tanya Deon seraya berjongkok menghadap Adik kecilnya.
"Tidak kok! Aku dibelikan es krim oleh kakak itu, dia baik sekali dan sangat lucu. Sedari tadi, dia yang menemaniku menunggumu," jawab Lia jujur.
"Hm? Benarkah?" tuding Deon curiga.
Lia mengangguk pasti seraya menjilat es krimnya. Deon pun berdiri dan berjalan mendekati laki-laki itu.
"Terima kasih sudah menemani adikku, oh ya. Ini uang untuk es krim yang kau belikan untuk adikku," ucap Deon seraya menyodorkan uang 2 dollar kepada laki-laki tersebut.
"Ah, tidak perlu. Lagipula, aku menyukai anak kecil seperti Lia. Aku memberikannya karena dia sangat lucu," jawab laki-laki tersebut ramah.
"Ah, begitu ya. Terima kasih kalau begitu, kami pamit pulang ya! Sampai jumpa!" pamit Deon.
Laki-laki itu hanya mengangguk seraya tersenyum kepada Deon.
"Lia, pamitlah kepadanya," suruh Deon pada Lia.
"Kakak, makasih es krimnya ya! Ketemu besok lagi!" seru Lia senang.
"Iya, dadah Lia!!" sahut laki-laki itu seraya melambaikan tangannya.
Lia pun naik ke jok motor Deon, setelah itu Deon pun melajukan motornya dan pergi dari sana.
Laki-laki itu hanya menatap kepergian mereka sebelum kemudian mereka hilang di belokan pertigaan jalan. Ia lantas memajukan kembali mesin dagangannya. Ia harus berkeliling agar dapat banyak uang.
- The Silent In Midnight -
Sepanjang perjalanan pulang, Deon memikirkan laki-laki tadi yang menemani Lia. Suaranya tak asing, postur tubuh itu ia merasa kenal. Namun, wajah itu masih nampak asing.
Deon juga ingat, semenjak ada kejadian pembunuhan itu. Beni jarang terlihat berkeliling, entah kemana perginya manusia itu. Di pasar pun, ia jarang berjumpa dengan manusia aneh itu.
"Lia," panggil Deon seraya menyetir.
"Iya, kak. Kenapa?" tanya Lia seraya mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan.
"Kau kenal dia?" tanya Deon to the point.
"Siapa? Kakak yang tadi?" tanya Lia balik.
"Iya," jawab Deon singkat.
"Oh, dia suka berjualan di depan sekolah. Dia tadi menemaniku menunggumu sembari bercerita. Dia sangat baik, kenapa memangnya?" tanya Lia bingung.
"Jauhi dia. Apa kau bisa?" pinta Deon.
"Apa? Tidak mau! Dia baik padaku, kenapa aku harus menjauhinya?" ucap Lia kesal.
"Kau tak tahu dia benar-benar baik atau tidak, Lia. Kau harus berhati-hati dengannya!" tukas Deon kukuh.
"Tidak mau!" jawab Lia kekeuh.
Deon hanya menghela napas. Memang ya, memarahi gadis kecil yang angkuh itu susahnya minta ampun.
Ia pun memilih melajukan motonya lebih cepat agar segera sampai ke rumah. Lagipula, dia lapar dan hari mulai sore. Dia harus cepat-cepat pulang dan memasak untuk Lia dan dirinya.
***
Sesampainya di rumah, seperti biasa Lia masuk ke kamar duluan. Gadis itu tampak marah kepadanya. Dilihat dari cara jalannya jika anak kecil itu menghentakkan kakinya ke lantai dengan wajah yang ditekuk dan bibir yang cemberut.
"Dasar bocah!" gumam Deon seraya menggelengkan kepalanya tak mengerti dengan sikap Lia yang masih seperti itu.
Deon pun memasukkan motornya ke garasi. Sebelum kemudian, seseorang datang dengan pakaian rapi dan ia tahu jika itu adalah polisi.
"Selamat siang, Deon!" sapa Qei.
"Siang, ada apa kalian kemari?" tanya Deon bingung seraya menurunkan pintu garasi dan menguncinya dengan rapat.
"Mohon maaf sebelumnya, namun anda saya tangkap atas tuduhan pembunuhan berantai yang dilakukan di komplek ini," ucap Qei yang tanpa aba-aba langsung memborgol lengan Deon.
"Hah? Apa-apaan ini?! Saya tidak bersalah, anda jangan menuduh saya tanpa bukti seperti ini!" seru Deon tidak terima.
"Kami sudah memiliki banyak bukti yang merujuk kepada anda. Bahkan tuduhan demi tuduhan pun mengarah kepada anda. Sisanya, silahkan anda jelaskan semuanya di kantor polisi," jawab Qei tegas.
"Tidak! Lia akan dalam bahaya jika aku meninggalkannya. Aku tidak bersalah! Lia! Lia! Tolong aku, Lia!" teriak Deon memberontak.
Lia pun keluar dan matanya melotot tak percaya. Kenapa kakaknya tiba-tiba diborgol dan ditangkap?
"Jangan tangkap kakak! Kakak tidak bersalah, kalian salah orang!!" teriak Lia kemudian berlari mendekat ke arah Deon.
Namun, hal itu ditahan oleh Qei agar Lia tidak membantu Deon dalam masalah ini.
"Kalian bodoh! Mana bukti yang bisa buat aku yakin jika aku adalah pelakunya! Gadis kecil ini bisa mengatakan yang sesungguhnya!" teriak Deon tak terima.
"Pembunuhnya adalah anda. Banyak jejak kaki yang mengarah kepada anda. Dan anda harus kami tangkap selama beberapa waktu, untuk adik anda. Kami akan mengamankannya dengan baik," jelas Qei tetap bersikukuh.
"Tidak! Kakak saya tidak bersalah! Pembunuhnya adalah Beni, bukan kakak!" teriak Lia.
Deon dan semua polisi pun terdiam menatap apa yang baru saja Lia katakan. Gadis itu pun menutup mulutnya karena terkejut dengan reaksi mereka.
"Aku melihatnya malam itu, dia membunuh bibi dan pamanku," ujar Lia kembali.
"Tidak. Cukup drama ini, semua bukti sudah mengarah kepada Deon. Terpaksa, kami harus membawanya. Ayo bawa dia, sudah tak ada waktu lagi!" suruh Qei pada polisi yang lain.
"Kakakku tidak bersalah! Kakak! Kakak!!" teriak Lia seraya menangis dengan histeris.
Deon sangat sakit dengan kenyataan ini. Bagaimana bisa ia menerima tuduhan yang sama sekali bukan ia yang melakukannya? Siapa yang tega melakukan ini? Lim? Atau siapa?
Padahal, yang ada dirinya adalah korban yang paling merasa takut. Keamanan di kompleks yang katanya sudah dijaga ketat itu tidak berfungsi sama sekali. Apakah ini semua taktik Qei?
Apa Qei pembunuhnya? Tapi, apa yang Lia katakan membuat Deon ambigu. Beni? Benarkah manusia lemah itu yang membunuhnya? Namun, rasanya tidak mungkin. Tapi, Lia juga tak mungkin mengada-ngada cerita soal ini.
Deon tatap adik kecilnya yang ditinggal sendiri di pekarangannya seraya menangis histeris. Bagaimana bisa ia meninggalkan separuh jiwanya? Lia adalah penyemangat hidupnya. Adik satu-satunya yang Deon sayangi.