Deon menatap langit malam ini yang jauh lebih cerah dari hari biasanya. Gemintang bahkan bertaburan di atas langit berwarna biru tua keabuan itu. Cahaya rembulan bahkan menyelusup menerangi malam yang gelap ini.
Deon duduk di teras depan. Dengan ditemani cookies dan teh hangat. Deon tipikal laki-laki irit, tidak merokok, mabuk dan minum kopi. Ia memang tak tertarik dengan hal-hal seperti itu. Berbeda dengan ayahnya.
Deon lebih mengedepankan pikirannya bagaimana agar keluarganya benar-benar menganggapnya adalah anak, bukan babu atau budak mereka. Yang dimana apapun harus Deon lakukan demi menuruti kemauan mereka. Padahal, mereka saja jauh dari kata sempurna sebagai orang tua.
Deon sama sekali tak dendam. Hanya saja, kenapa mereka terlalu menuntut kesempurnaan? Bahkan baik keluarga Beni dan Deon itu sama saja. Sebab, mereka terlahir dari garis keturunan yang sama. Hanya saja, Beni lebih tersakiti dibanding dirinya.
Bertahun-tahun, Deon harus bisa tutup mata soal Beni. Ia dilarang peduli, iba bahkan menolong Beni saat Beni sedang dalam kesusahan. Dia harus buta mata. Tanpa mempedulikan keadaan sekitar dan menciptakan diri yang dingin tak tersentuh.
Itulah kenapa Deon kehilangan banyak cinta. Hidupnya terasa kosong tanpa kasih sayang dari sekitarnya. Di sekolah, ia dijauhi banyak teman karena terlalu nolep. Lebih tepatnya, Deon dimanfaatkan hanya demi kepintarannya.
Miris. Tapi itulah takdir yang sesungguhnya. Malam ini terasa sunyi sekali, bahkan tak ada lagi keributan yang menghiasi malam ini setelah paman dan bibinya menghilang tanpa kabar entah kemana.
Malam itu, Deon tengah melamunkan masa depan. Dimana Deon memikirkan mau jadi apa nanti dirinya dan bagaimana membahagiakan adiknya satu-satunya. Namun, matanya terpicing kala melihat ada bayang hitam berjalan ke belakang kebun dan membakar sesuatu.
Entah apa, namun baunya begitu menyengat. Kemudian, orang itu hilang di belakang rumah Beni.
'Apakah itu Beni?' tanya Deon dalam hati.
Ia kemudian beranjak dari kursinya dan berjalan menuju ke rumah Beni. Api itu bahkan terus menyala berkobar, entah apa yang dibakar oleh orang tadi namun baunya aneh dan terasa menyengat.
Tok! Tok! Tok!
Deon mengetuk pintu rumah Beni. Tak ada jawaban sama sekali. Sampai ketukan pintu yang ketiga, Beni keluar dengan wajah datarnya.
"Apakah kau tak tahu sopan santun? Ini sudah malam, mau apa kemari?" tanya Beni ketus saat Deon awalnya senang karena Beni mau membukakan pintu.
"Eum.. Maaf, kukira kau belum tidur. Apa aku mengganggumu?" tanya Deon tak enak seraya melirik ruangan rumah Beni yang tak ada perubahan sama sekali.
"Ya, kau mau apa kemari? Aku benar-benar mengantuk, bisakah kau kemari esok pagi saja?" ucap Beni ketus kemudian hendak menutup pintu, namun Deon berhasil menahan pintu agar Beni tak jadi menutupnya.
"Tunggu!" pinta Deon menahan pintu tersebut ditutup.
"Ck! Apalagi?" tanya Beni kesal.
"Apa yang kau bakar disana? Kenapa baunya sangat menyengat dan aneh sekali?" tanya Deon membuat Beni seolah terdiam mematung.
"Oh, itu bangkai ayam. Kemarin, ayam-ayamku mati sebab aku tak tahu bagaimana mengurus ayam yang sakit. Akhirnya, kubengkalaikan dan biarkan dia membusuk lalu kubakar. Jika kau mau, ambil saja ayam busuk itu!" tukas Beni kemudian menutup pintu tanpa pamit sama sekali.
Deon hanya bingung. Semakin hari, Beni semakin menjauh darinya semenjak Aisha menghinanya. Di matanya, seolah tersirat kebencian bagi Beni terhadap Deon.
Deon merasa bersalah memang, karena hari itu ia tak bisa membantu Beni. Tapi, apa yang harus ia perbuat? Ia juga lelah dengan keadaan yang terus menyiksa batinnya.
"Dasar manusia aneh!" maki Deon kemudian kembali ke rumahnya. Ia memilih menutup pintu dan masa bodoh soal Beni. Mungkin, Lia hanya semakin jijik melihat manusia yang kini tampak angkuh dengan penyakitan menjijikkannya.
***
"Cuih, mau apa sih dia kemari? Mengganggu saja! Aku hanya membakar sisa-sisa daging mereka yang tak bisa kujual. Sepertinya, disini aku tidak aman! Aku harus segera pindah ke kota besok!" ucap Beni seraya mencuci tangannya supaya tidak bau anyir setelah mengurusi daging yang akan ia pasarkan besok.
Beni kemudian mengelap tangannya. Ia kemudian berjalan menuju ke kamarnya. Ia berjalan menuju laci dimana dirinya menyimpan ribuan dollar uang di lacinya.
3 hari berjualan, ia bahkan dapat omzet yang jauh dari perkiraan. Ternyata, menjual daging itu lebih menguntungkan dan konsumen banyak menyukainya.
"Dengan begini, aku akan cepat kaya dan melakukan operasi untuk wajahku dan penyakitku. Aku tak mau terus-terusan dihina orang banyak karena penyakit sialan ini!" ucap Beni seraya melihat tangannya yang seperti sisik ular.
Beni kemudian menghitung uangnya kembali. Ia benar-benar bangga karena dapat menjual banyak daging dan mendapatkan banyak keuntungan. Kini, ia mulai angkuh. Ia tak membutuhkan lagi kasih sayang dari orang lain.
Bahkan dari si sialan Deon yang tak mau membantunya saat dirinya hendak dicincang oleh ibunya sendiri. Beni menatap foto-foto dimana disana ada dirinya saat bayi.
Bersama dengan keluarganya dan juga dengan Deon. Ia tersenyum smirk, tak ada lagi tangis. Yang ada dalam hatinya hanyalah sebuah kebencian. Ia bahkan tak ingat lagi bagaimana susah senangnya mereka dahulu.
Semuanya musnah saat Deon memakinya dan menendangnya hari itu, perlakuan kasar itu tak bisa Beni lupakan sampai kapanpun. Beni mengingat kembali rangkaian kejadian mengenaskan yang menimpa dirinya saat semuanya telah berlalu.
Dimana ayah dan ibunya selalu menyiksanya. Menendang, memukul dan memperlakukan Beni seperti hewan. Makan dengan makanan sisa yang busuk dan dicampur dedak. Muntah dan mual tiap hari sudah menjadi kebiasaan Beni sebab memakan makanan yang tak layak setiap harinya.
Kini, semuanya tak ada lagi. Tak ada yang melarangnya. Memakinya, menghinanya dan menendangnya. Semuanya telah menjadi abu masa lalu. Beni akan memulai kehidupan baru yang akan ia jalani di kota besok.
Ia akan berangkat esok pagi, meninggalkan desa yang menyimpan banyak sekali cerita masa lalu kelam bagi dirinya. Ia bahkan sama sekali tak mau mengingatnya.
Beni akan lupakan semua kenangan di kota ini. Kenangan dimana dirinya tumbuh di negeri yang penuh dengan ketidak adilan. Dimana semuanya telah berubah, menjadi dunia yang terlalu memandang fisik dibanding harga diri.
Semua akan memperlakukanmu semena-mena. Bahkan lebih hina dari seorang hewan jalang sekalipun. Beni akan kembali ke tempat ini, entah kapan. Tapi, ia akan kembali setelah semuanya siap.
Ia tak bisa ikhlaskan orang-orang yang mengganggu masa kecilnya. Orang-orang yang telah merusak pribadinya. Orang-orang yang telah menghancurkan dunianya. Beni akan tinggalkan semua, namun tidak sepenuhnya. Sebelum, semuanya akan menanggungjawabkan kesalahan mereka masing-masing. Kesalahan di masa lalu yang menyiratkan luka sepanjang hidup Beni.