Deon terbangun di pagi harinya setelah menjalani malam yang sangat menyebalkan hari ini. Ia terbangun karena mendengar suara deruman mobil dari depan rumahnya.
"Apakah itu paman dan bibi?" tanya Deon seraya mengucek matanya dan membuka gorden jendelanya.
Tampak dari kejauhan, Beni sedang mengakut barangnya entah hendak pergi kemana. Sejak kapan bocah itu bisa mengendarai mobil? Bukankah sedari kecil bocah itu hanya mendekam di kandang ayam dan mendapatkan banyak perlakuan buruk dari orang tuanya?
Deon kemudian bergegas keluar dan menghampiri Beni yang sedang sibuk memasukkan barang-barangnya ke garasi. Deon berlari mendekati Beni yang semakin hari semakin aneh kelakuannya.
"Beni, kau mau kemana?!" tanya Deon kebingungan sedangkan Beni tak menghiraukan keberadaannya sama sekali.
"Hei, Beni! Apakah kau tidak mendengarkanku?" tanya Deon mulai kesal.
Ia kemudian mencengkeram bahu Beni yang seketika pemiliknya langsung diam dengan membawa box yang dengan sengajanya ia jatuhkan ke lantai. Berhamburanlah semua leggo yang sudah ia bungkus semalaman. Mainan disaat dirinya sendiri dan gundah.
"Apalagi yang kau mau?! Tak bisakah kau enyah dari pandanganku?!" tanya Beni kesal.
Ia kemudian menendang leggo sialan yang Deon punguti ke dalam kardus. Dengan gerak cepat, ia membungkus kembali permainan itu dan memberikannya kepada Beni.
"Beni, bisakah kau menjawabku sebentar? Kau mau kemana? Dan mau kau kemanakan barang-barang ini? Apakah kau akan pindah?" tanya Deon beruntut yang membuat Beni berbalik menatapnya malas.
"Kalau aku pergi dari sini, memangnya apa urusanmu? Kau bukan siapa-siapa aku lagi!" tukas Beni kemudian merebut box berisi leggo yang sudah Deon bawakan.
"Tapi, kenapa? Apakah ada yang mengganggumu?" tanya Deon cemas pada Beni.
"Kalianlah pengganggunya! Kau adalah penghancur semuanya! Kalianlah yang membuatku membenci diriku sendiri!" teriak Beni yang seketika menjadi tatapan bagi banyak warga sekitar yang lalu lalang disana.
"Beni, bisakah kau turunkan nada bicaramu? Aku bertanya baik-baik, apakah kau marah sekali padaku? Jika ya, aku ingin minta maaf karena hari itu aku tak bisa menolongmu. Aku takut pada ayah, aku lelah mendapatkan siksaannya!" jelas Deon masih dalam kondisi yang sabar.
"Lantas, apa peduliku? Orang tuaku tak menyukaiku, baik kau dan maupun warga disini. Mereka selalu mencemoohku, menghinaku, melakukanku seperti hewan! Pantaskah aku bertahan di lingkup tempat gila seperti ini?" tanya Beni emosi.
Dadanya benar-benar bergemuruh. Ingatan-ingatan masa lalunya menyeruak ke dalam otak dan benaknya. Beni tak bisa lupakan hari itu. Hari dimana ia mulai membenci seluruh dunia dan isinya.
"Maafkan aku, Beni," cicit Deon sedih.
Ia tak mungkin kehilangan Beni. Ia ingin Beni disini dan menemaninya. Ia akan kembali baik kepada Beni jika anak itu tetap mau tinggal disini. Sebab, hanya Beni teman satu-satunya yang Deon miliki.
"Simpan maafmu! Aku buru-buru!" ucap Beni kemudian memasukkan barang-barangnya.
"Lantas, bagaimana jika ayah dan ibumu kembali dan menanyakanmu? Aku harus menjawab apa. Kau pergi kemana? Mereka juga pasti akan marah padaku!" tukas Deon meminta Beni mendengarkan perkataannya.
"Bilang saja aku pergi, apa susahnya? Lagipula mustahil manusia-manusia setengah iblis itu kembali, mereka sudah mati!" ucap Beni sedikit bergumam di kata-kata akhirnya.
Bahkan, Deon saja tak tahu apa kata terakhir yang Beni ucapkan itu. Ia hanya menatap Beni bingung.
"Enyahlah!" usir Beni kemudian ia segera menutup bagasi dan masuk ke dalam mobilnya.
Ia kemudian pergi meninggalkan pekarangan rumah sialannya. Sedangkan Deon, ia mematung. Beni sebenci itu padanya. Bahkan, ia tak pernah lagi memasang wajah ramah kepada dirinya. Deon benar-benar menyesal karena pernah berbuat jahat padanya dulu, demi keegoisannya.
***
Beni menyalakan mesin mobilnya dan melaju meninggalkan pekarangan rumah lamanya. Ia akan pergi ke kota, menjalani kehidupan baru dan suasana baru disana. Ia tak tahu kapan akan kembali ke tempat sialan itu.
Beni sama sekali tak peduli soal Deon yang menahannya pergi. Biarkan Deon merasakan bagaimana rasanya kesepian tanpa teman. Bagaimana dulu dirinya diasingkan oleh banyak orang.
Beni benar-benar tak bisa melupakan ingatan masa kelamnya yang menjadi bencana bagi dirinya. Ia ingin benar-benar lupa, dan ia ingin semuanya berakhir sekarang.
35 menit berlalu...
Beni tiba di pusat kota. Dimana disana banyak sekali fasilitas yang jauh lebih memadai dibanding komplek desanya. Ia kemudian mengenakan jaket panjang yang lebih mirip jas outer itu.
Ia tutupi identitasnya rapat-rapat supaya orang-orang tak mengenalnya. Supaya, orang-orang mau mengenalnya sebagai manusia biasa yang normal. Bukan sosok yang penyakitan.
Ia kemudian menurunkan barang-barangnya dari bagasi. Dibantu oleh satpam lobi setempat, Beni menyewa apartment. Uang yang ia hasilkan dari menjual daging dapat Beni andalkan untuk kelangsungan hidupnya.
Setelah selesai, ia kemudian masuk ke dalam apartmentnya yang megah. Beberapa uang di sisa kartu ATM dan kredit milik ayahnya masih tersimpan dengan rapi.
"Aku harus segera melaksanakan operasi, jika tidak. Aku tak akan kaya, aku tak akan dihormati!" ucap Beni pada dirinya sendiri.
Laki-laki itu kemudian berjalan menuju ke balkon. Menatap kota yang begitu ramai sekali manusia lalu lalang mencari harta. Bahkan, Beni tahu dimana dirinya berada sekarang. Di sebuah tempat elite kalangan orang-orang atas.
Darimana dia mendapatkan uang itu? Jelas dari tabungan ayah dan ibunya, ditambah ia menjual daging dalam 3 hari yang dapat melebihi omsetnya.
"Harusnya, aku terus berjualan daging itu. Pasar banyak yang menyukainya dan aku harus bergegas mendapatkan yang baru," ucap Beni pada dirinya sendiri.
Ia tersenyum manis dalam dunia yang banyak sekali ia telan kepahitan. Tercipta, diri Beni yang lain. Bukan Beni yang polos dan selalu mengalah dalam setiap keadaan.
Disini, Beni mulai membangun dirinya yang jauh lebih kuat. Membangun sebuah kepercayaan diri bahwa ia layak hidup sebagai manusia normal biasa pada umumnya.
Beni hanya ingin merasa dihargai. Beni ingin merasakan bagaimana terlahir kembali sebagai manusia yang pantas diadili. Manusia yang mendapatkan kehormatan bagi banyak orang.
Beni ingin ciptakan dunia baru. Meski, dalam hatinya tersirat luka yang teramat dalam yang tak mampu disampaikan dengan kata-kata. Beni menghela napasnya kasar, dunia benar-benar membuatnya gila!
Ia kemudian berjalan menuju kamarnya. Mengistirahatkan badannya yang lelah. Kali ini, adalah kali pertamanya Beni merasakan bagaimana tempat tidur yang nyaman dan empuk. Kasur yang harum, dan sprei juga selimut yang hangat menyelimutinya.
Beni benar-benar bahagia. Dengan keberhasilannya dan pencapaiannya, ini belum seberapa. Semuanya masih banyak yang harus Beni selesaikan. Beni belum kelar dengan masa lalunya, dan selamanya ia takkan memaafkan orang-orang di masa lalunya. Orang-orang yang telah membuatnya gila, bahkan hampir kehilangan akal seluruhnya. Sebab, manusia-manusia jahannam yang tak punya hati nurani kepadanya.