Chereads / Battle of Heaven / Chapter 10 - Melangkah Mundur

Chapter 10 - Melangkah Mundur

"Aku menitipkan Jophile padamu, Evan." Gabriel meletakan tangan kanannya di atas punggung tangan Evan.

Pemuda itu mengangguk. Ia akan menerima perintah dari Gabriel, bagaimana pun juga ia tidak akan membiarkan Jophiel tersakiti. Gabriel kembali ke bentuknya yang semula dan berjalan mundur ke garis perbatasan dunianya, sedangkan Jophiel masuk ke punggung tangan Evan.

Ia memutar gulungan tersebut untuk kembali ke bentuknya yang semula. Berbarengan dengan itu, waktu pun kembali berjalan. Leon dan Selena bersitegang dengan Azazel setelah iblis itu menghina manusia dengan sebutan ras lemah.

Gabriel tersenyum ke arah Evan dan mulai mengepakkan sayapnya lebar-lebar. Ia pergi dari bukit tersebut diiringi pasukan malaikat yang perlahan menarik diri. Ia tidak ingin melanjutkan perseturuan tersebut, Gabriel memercayakan semuanya kepada Evan dan Jophiel.

"Pasukan! Bersiaplah!" teriak Leon dari atas bukit, menyuruh mereka mengangkat senjata dan mulai memupuk keberanian.

"Persiapkan mereka, makan para manusia menjijikan itu," ucap Azazel kepada sesosok phoenix yang terbang memberitahu pasukan iblis.

Jumlah pasukan manusia lebih banyak dari pasukan iblis, tetapi ukuran tubuh pasukan iblis beragam, mulai dari yang terkecil hingga terbesar. Selena menghampiri Evan dan Altair, bertanya tentang keberpihakan mereka.

"Apa kalian akan berperang untuk kami? Atau memerangi kami?" tanya Selena, tanpa basa-basi.

"Entahlah. Tergantung tujuan kalian," ungkap Altair, tersenyum meledek.

"Siapa pria itu?" tanya Selena kepada Evan, kebingungan.

"Dia Pendeta Agung, Altair," balas Evan, menunjukan wajah tampan dan muda Pendeta Agung kepada Selena.

Putri kerajaan itu tak mampu menyembunyikan keterkejutannya, ia tidak menduga kalau Altair akan kembali muda selama pengasingannya. Selena curiga, ia mengadakan perjanjian atau melakukan ritual terlarang tentang kondisinya.

"Kau terlihat seperti seumuran dengan Kak Leon," balas Selena, menatap penuh kekaguman dan kecurigaan dalam satu waktu.

"Jangan terlibat dengan perang mereka. Kau tidak akan diuntungkan," ujar Jophiel.

"Apa kau yakin?"

"Aku yakin."

Evan berdiri tepat di depan Selena, kedua mata mereka beradu pandang dan Putri Raja Alexandre itu tersenyum lebar. Ia melihat pria yang dikatakan adalah utusan Jophiel memiliki tubuh yang lemah, Selena yakin, dia mampu mengelabui Evan untuk kembali ke sisinya.

"Ada apa?" tanya Selena.

"Kami tidak akan terlibat dalam perangmu!" tegas Evan.

Selena tersentak kaget, ia tidak menduga kalau Evan mengatakan hal demikian. Awalnya, Selena tidak keberatan dengan itu. Namun, hati wanita itu semakin geram ketika Altair dan Sophie menolak bergabung dalam perang.

"Kalian semua menolak bergabung? Kami akan menganggap kalian sebagai pembelot jika begitu!"

Putri Raja itu pergi dengan memalingkan wajahnya, kasar. Ia memberitahukan apa yang ia dengar kepada Leon, membuat Pangeran Mahkota tersebut kesal dan memandang bukit Apache dengan penuh kebencian.

"Siapkan trebuchet," titah Leon, Selena segera bergerak memerintahkan pasukan untuk melakukan penyerangan.

"Ke mana kita akan menyerangkan?" tanya Selena, memastikan.

"Arahkan semuanya ke dunia iblis, dan satu buah ke pucak Bukit Apache."

Di sisi lain, Evan melihat adanya pergerakan yang masif di pasukan manusia. Mereka mendorong sebuah alat mirip ketapel dalam ukuran besar. Altair menemani Evan dan menyaksikan formasi perang Leon menggunakan sihir Straight Vision-nya.

"Gawat! Satu trebuchet mengarah ke kita," ungkap Altair, kaget dan ketakutan.

"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Evan.

"Gunakahlah kekuatanku," ucap Jophiel berkata ke diri Evan.

"Tapi bagaimana caraku melakukannya?" tanya balik Evan.

Jophiel terdiam dan orang-orang di tempat itu sudah mulai ketakutan. Lemparan pertama dilakukan dan batu besar itu mengarah ke tempat pengasingan Altair. Pendeta Agung itu langsung berlari ke ujung tebing dan mengangkat tongkat sihirnya tinggi-tinggi.

Altair memikirkan bentuk sihir yang ingin ia buat. Setelah kuat, ia mengarahkan ujung tongkat tersebut dan munculkan bola api berukuran besar yang segera menghantam batu besar tersebut hingga jatuh sebelum mengenai mereka.

"Bagaimana kau melakukannya tanpa merapal?" tanya Sophie, terkejut dan kagum.

"Itu berkat kekuatanku. Kau diberkahi untuk menciptakan sihir apapun dengan elemen bumi tanpa harus mengingat dan merapal mantra tertentu," ungkap Jophiel berbicara hingga terdengar oleh seluruh orang di tempat tersebut.

"Dengan begini, akan mudah untuk menghancurkan mereka dalam beberapa serangan," balas Altair, bahagia.

"Namun perhatikan juga. Berbeda dengan merapal, sihir tanpa rapalan akan menguras mana sihirmu lebih banyak. Jadi, bijaklah menggunakannya," balas Jophiel, tetapi sepertinya tidak didengar oleh Altair.

Mereka kembali melancarkan serangan ke arah bukit Apache. Namun, Altair kembali melakukan penyelamatan dengan menggunakan kekuatan airnya membelah batu besar tersebut menjadi dua.

Arah serangan tidak berubah dan membahayakan orang di belakang pria tersebut. Evan segera berlari ke hadapan mereka semua dan meletakan kedua tangannya di atas tanah, hingga membentuk tanah tinggi yang menghalang laju batu besar tersebut.

"Lakukanlah dengan benar, Ayah!" bentak Sophie, kesal.

"Maafkan aku. Aku tidak menduga kalau serangan tadi sama sekali tidak merubah arah serangan," balas Altair.

Selena memutuskan untuk melakukan penyerangan sendiri ke tempat tersebut. Dengan menaiki kudanya, Putri Raja itu melesat secepat kita menghampiri Altair, Evan, dan yang lainnya. Melihat dari kejauhan Selena berusaha membunuh mereka semua, Evan menyuruh mereka semua untuk melarikan diri.

"Turuni bukit di sebelah sana," ujar Evan, menunjuk daerah yang cukup terjal untuk dituruni.

Sophie dan Ponrak berjalan lebih dulu, sedangkan Altair dan Evan mencoba memperlambat gerak Selena dengan menghujani wanita itu dengan sihir. Lama kelamaan, mana yang dimiliki Altair menipis, membuat pria itu terduduk lemas dengan wajah memutih.

"Bukankah ia sudah bilang untuk tidak berlebihan?" tanya Evan, kesal.

"Maafkan aku. Aku terlalu bersemangat," ungkap Altair, sikapnya ikut berubah seiringan dengan wajah dan tubuhnya yang kembali muda.

Evan menarik jubah Altair dan mengangkatnya untuk menyuruhnya pergi. Ia memerintahkan agar Altair membantu Ponrak dan Sophie yang pasti mengalami kesulitan ketika hendak menuruni bukit.

Selena bisa sampai di atas bukit dan berhadapan langsung dengan Evan. Wanita itu benar-benar memiliki kepribadian yang buruk, buktinya ia tidak segan membunuh Evan meskipun ia adalah utusan malaikat yang sama pentingnya.

"Jangan terus menghindar! Lawan aku seperti seorang lelaki!" bentak Selena, Evan memilih terus menangkis serangan yang ditujukan kepadanya.

"Tetaplah seperti ini, aku sedang menyiapkan sihir yang akan melumpuhkannya dalam sesaat," ucap Jophiel, Evan mengangguk.

"Haha! Kau menjadi bonekanya sekarang. Apakah menyenangkan menjadi pesuruh seorang malaikat pengkhianat?!" bentak Selena, memaki Evan dan Jophiel dalam satu waktu.

Seraya menunggu Jophiel selesai merapal sihir yang akan ia gunakan, Evan terus menerus menghindar, menangkis, dan sesekali melancarkan serangan kepada Selena, tentu tidak menggunakan pedang, tetapi sihir yang langsung terbentuk ketika ia terpikirkan sesuatu.

"Biar kutebak! Kau sama sekali tidak memiliki kemampuan berpedang, Evan?" tanya Selena.

"Aku memang tidak memiliki kemampuan itu, tetapi aku pandai dalam satu hal."

"Apa itu?" tanya Selena, penasaran.

Evan meletakan tangannya di atas tanah bersalju dan mengurung wanita itu di dalam sebuah bola yang terbuat dari campuran tanah dan batu. Jophiel mengatakan ia sudah menyiapkan sihir tersebut, segera Evan menjulurkan tangannya dan membentangkan telapak tangannya lebar-lebar mengarah kepada bola tanah yang mengurung Selena.

"Symphoni of God!"

Gelombang suara terpancar dari telapak tangan Evan dan menyeruak masuk ke bola tanah tersebut. Selena yang berada di dalamnya tidak kuat menahan kekuatan simphoni dari tuhan yang diberikan oleh Evan. Suara tersebut berisikan teriakan dari penderitaan manusia pendosa di neraka, siapa saja yang mendengarnya, akan tak sadarkan diri dalam beberapa hari.

"Kenapa kita harus mengurungnya?" tanya Evan kepada Jophiel, penasaran.

"Agar suara itu tidak bocor ke luar. Jika kita tidak mengurungnya, maka setiap makhluk yang mendengar suara itu akan jatuh pingsan."