***
Evan berhasil melarikan diri setelah mengurung Selena di dalam bola besar yang ia ciptakan. Wanita itu terkapar tak berdaya dengan keadaan kedua mata membelalak merah, ia sepertinya terlalu banyak mendengar sihir suara yang dikeluarkan Jophiel.
Fokus pasukan manusia terbelah, Leon dilanda dua dilema, antara menangkap Evan dan gerombolannya, atau melawan iblis-iblis itu dan meraih kemenangan pertamanya.
"Tinggalkan mereka," tegas Leon.
Salah satu ajudannya berjalan mengahampiri pangeran muda itu dan bertanya alasan ia meninggalkan Evan untuk melarikan diri. Leon menjawabnya dengan tenang.
"Setidaknya mereka melarikan diri ke dunia manusia, sehingga kita bisa menangkapnya setelah perang dengan iblis berakhir."
Leon menunjuk kurungan bola tanah yang hancur di tas bukit, tempat Selena tergeletak lemas tak sadarkan diri. Ia meminta ajudannya menjemput Selena dan membawanya pergi ke paramedis.
Melihat pertempuran yang semakin sengit, akhirnya Leon terpaksa mengangkat pedang panjang dan tajam miliknya serta ikut turun membantu.
Melihat perang sia-sia yang dilakukan manusia dengan iblis membuat panglima perang pasukan malaikat, Michael, tersenyum senang melihatnya. Ia tidak perlu membunuh ratusan hingga ribuan iblis jika manusia bisa melakukannya sendiri.
Gabriel tiba di kahyangan, ia disambut dengan baik oleh para malaikat, tanpa terkecuali. Ia bersama dengan ketujuh malaikat agung lainnya berdiri di sisi awan surga dan melihat pertempuran berdarah yang terjadi di kedua benua tersebut.
"Begitu banyak darah, begitu banyak kebencian yang ditampilkan," ungkap Raphael.
"Peperangan hanya akan menimbulkan kekacauan, penyebab dari hilangnya suatu peradaban," timpal Uriel, tetap memegang buku pengetahuan di tangannya.
"Apa yang akan kita lakukan, Gabriel?" tanya Michael, bersiap dengan pedang yang ia genggam.
Awalnya Gabriel terdiam, matanya terus melirik ke arah Evan dan rekan-rekannya yang berhasil melarikan diri. Ia melihat aksi Evan yang memukau, menjebak seorang wanita dengan menggunakan kekuatan dari Jophiel.
"Gabriel!"
Kedua matanya kini memandang Michael, terlihat wajah malaikat itu terlihat kesal karena Gabriel tidak menanggapi pertanyaannya.
"Jawab pertanyaanku. Apa yang akan kita lakukan saat ini?" tanya Michael.
"Kita tidak akan ikut campur dalam pertempuran mereka. Tidak ada untungnya bagi kita," jelas Gabriel.
Ia berbalik badan, meninggapkan sisi tepi awan surga bersama Raphael yang berjalan di sisi Gabriel. Michael tidak senang, ia belum puas jika belum membunuh iblis di keadaan kacau seperti itu.
"Tch! Kita hanya menjadi penonton di tengah keasikan mereka."
"Tenanglah, Michael. Kita berada di posisi yang menguntungkan saat ini," ucap Uriel, menenangkan Michael.
Michael mengangguk, ia mengubah pakaiannya yang semula bersegaram perang menjadi gaun panjang berwarna putih dalam sekejap mata. Kedamaian tercipta di benua malaikat, berbeda dengan benua manusia dan iblis yang saling memulai kekacauan satu sama lain.
***
Tiga bulan kemudian.
"Pendeta Agung dan Pendeta Suci berkhianat terhadap Kerajaan Liviel?"
"Sangat disayangkan, padahal mereka adalah orang dengan sihir terkuat di benua manusia."
Evan terus menerus mendengar isu tentang pengkhianatan keduanya terhadap istana. Ia berada di Kota Nafheim, kota terbesar kelima di kerajaan. Jarak ke ibukota kerajaan begitu jauh sehingg informasi yang diberikan istana terkadang telat didapatkan oleh warga
"Apalagi Evan. Aku tak kenal dia siapa tetapi menurut informasi prajurit istana, pria itu sangat berbahaya."
Evan mengemasi barang-barang yang telah ia beli dan berjalan meninggalkan pasar untuk melarikan diri dari kerumunan orang yang membicarakannya. Rumah persembunyian mereka berada di sebelah selatan kota, tepatnya di Desa Nihem.
Altair dan Sophie bekerja sebagai tabib desa, sedangkan Ponrak dan Evan bekerja sebagai petani. Mereka melakukan penyamaran yang sempurna untuk menutupi identitas mereka dari para penduduk desa.
"Bagaimana?" tanya Sophie ketika dirinya melihat Evan datang dengan menaiki kuda seraya menenteng barang bawaan di tas keranjang miliknya.
"Para warga kota sudah mendapatkan informasi tentang kita, tetapi mereka tidak dapat gambaran wajah kita seperti apa," ucap Evan berbisik, turun dari atas kuda dan berjalan berdampingan dengan Sophie.
"Kita harus mulai waspada! Jangan sampai seorang pun tahu siapa kita, bahkan warga desa sekali pun," ujar Sophie, tegas.
Evan mengangguk pelan, itulah yang ia pikirkan saat ini. Pemuda itu terus memikirkan bagaimana konsekuensi yang akan dihadapi jika tertangkap, mungkin saja ia akan dijadikan kelinci percobaan.
"Di mana Ponrak?" tanya Evan.
"Entahlah, sejak pagi aku tidak melihatnya di desa," ungkap Sophie, ia membantu Evan membawakan barang belanjaannya pagi itu.
Kami berdua masuk ke dalam rumah kayu yang dibeli oleh Altair, rumah tua yang cukup untuk tempat tinggal sementara bagi keempat orang tersebut. Di belakang rumah, terdapat hutan lebat yang sering digunakan oleh Evan untuk melatih kekuatan sihir Jophiel.
"Bagaimana latihan sihirmu? Apa kau sudah menguasai sepenuhnya?" tanya Sophie, berjalan menghampiri Evan seraya meletakan gelas kayu berisikan teh hijau yang menyegarkan.
"Tidak sepenuhnya. Aku belum mempelajari ilmu tentang sihir gabungan beberapa elemen, termasuk gabungan elemen cahaya dan suara," balas Evan, menyeruput teh hijau dengan perlahan.
"Tapi untuk ilmu sihir dasar kau sudah menguasainya, kan?" tanya Sophie, memastikan.
Evan mengangguk pelan, ia beberapa kali melirik wajah Sophie dengan seksama, label Pendeta Suci yang tersemat padanya berpotensi gugur jika ia banyak berinteraksi dengan Evan.
Umur Evan lebih tua dibandingkan Sophie, tetapi wanita itu sama sekali tidak tahu soal itu. Kedekatan yang terjadi di antara keduanya menciptakan perasaan nyaman di hati Evan, rasanya seperti lelah yang terangkat ketika melihat wajah Sophie dalam satu kali pandang.
"Tunjukan padaku sesuatu, Evan," pinta Sophie, penasaran.
Evan mengiyakan, ia menjulurkan tangannya ke depan, Sophie yang penasaran mulai mendekatkan diri ke samping Evan. Pemuda itu bisa merasakan wangi keharuman parfum alami yang digunakan oleh Sophie, wangi natural yang menenangkan.
Segera Evan menjentikkan jari dan muncul api kecil dari ujung jari telunjuk Evan, Sophie bertepuk tangan tanda suka cita atas keberhasilan Evan memunculkan sihir tanpa merapal.
Tiba-tiba tangan Sophie memegang tangan Evan, membuat pria itu terkejut hingga tak sengaja membakar meja kayu di depannya. Sophie terkejut dan panik, sedangkan Evan mulai mematikan api dengan elemen air yang ia miliki.
"Maafkan aku," balas Sophie, pelan.
"Aku juga. Aku kira kau tidak berani memegang tangan seorang pria, karena itulah aku begitu tersentak kaget," ungkap Evan.
Sophie terdiam ketika aku berkata demikian, kedua matanya terus memandang meja kayu yang terbakar hangus. Ia beberapa kali menghela napas, mencoba menenangkan dirinya agar tidak diliputi kesedihan ketika berkata yang sebenarnya kepada Evan.
"Aku sudah berdiskusi dengan ayahku, dia tak keberatan jika aku menanggalkan gelar pendeta suci yang kumiliki," ucap Sophie, lirih.
Itu sungguh mengejutkan. Sophie sudah memegang gelar pendeta suci tersebut sejak berusia 14 tahun dan ketika usianya menginjak 22 tahun, ia memilih untuk menanggalkannya karena situasi yang tak menentu.
Rasa sedih begitu menghantuinya, ia tidak lagi bisa membantu menguatkan mental para prajurit, ia juga tidak lagi bisa memimpin upacara penebusan dosa. Semua hal baik yang sebelumnya ia lakukan, kini ia tidak bisa melakukannya.
"Tapi kenapa? Apa karena kau terlibat denganku?" tanya Evan, merasa bersalah.
"Tidak. Aku justru bersyukur karena aku bisa melihat utusan malaikat agung untuk pertama kalinya, ini murni keputusanku dan hatiku," ungkap Sophie.
"Hatimu?"
Sophie tertawa kecil ketika Evan bertanya tentang pernyataannya tadi, tampaknya Evan sama lugunya dengan Sophie yang tidak mengenal apa itu cinta lawan jenis sejak kecil.
"Iya, hatiku," ungkap Sophie.
"Apa itu seperti sesuatu yang nyaman datang menghampiri?" tanya Evan.
Sophie membelalak, kedua matanya beradu pandang dengan Evan. Ia sungguh kaget bagaimana Evan mengetahui apa yang tengah ia rasakan saat ini.
"Bagaimana kau bisa tahu?"