Chereads / Battle of Heaven / Chapter 14 - Latihan manusia dengan malaikat

Chapter 14 - Latihan manusia dengan malaikat

***

"Pertama, aku akan melatih kelincahan tubuhmu terlebih dahulu," ungkap Jophiel.

Dalam sekejap, pakaian yang dikenakannya berubah menjadi pakaian olahraga. Berbeda dengan Evan yang hanya bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana pendek saja.

"Baiklah. Apa yang akan harus kulakukan?" tanya Evan, penasaran.

Jophiel meminta Evan untuk berdiri di tengah lapangan pasir di dalam hutan tersebut dan menyuruh pemuda itu untuk bersiap.

"Aku sudah siap."

Jophiel memejamkan kedua matanya, tubuh ringannya terangkat dengan dibantu oleh kedua sayap putih miliknya.

Kedua tangan Jophiel yang terbentang perlahan menaik seperti tengah mengangkat sesuatu. Benar saja, tanah bercampur bebatuan dengan ukuran bola basket terbentuk dan melayang di belakang punggung Jophiel.

"Apa yang hendak kau lakukan?" tanya Evan, terkejut.

"Berusahalah menghindar."

Tangan kiri Jophiel terjulur ke depan dengan cepat, segera bola tanah dan batu di sebelah kiri Jophiel meluncur cepat menghujam lapangan berpasir itu dengan menyasar tubuh Evan.

Pemuda itu terkejut, beberapa kali melompat dan menghindar, bahkan ia terpaksa membenamkan wajah dan tubuhnya di atas lapangan tersebut demi menghindar dari terjangan Jophiel.

Kecepatan dari bola batu itu sangat cepat hingga Evan tidak mampu mengimbangi kecepatan mereka. Alhasil, ia terbentur keras hingga terpental beberapa kali karena terkena serangan Jophiel.

Dari total dua puluh bola tanah yang Jophiel buat, hanya lima buah bola tanah yang utuh sampai di atas lapangan. Hal ini menandakan kalau Evan masih belum cukup lincah untuk mencapai standar yang Jophiel inginkan.

"Akh, apa latihan ini akan berhasil?" tanya Evan, mengerang kesakitan dengan telentang di atas pasir.

"Tentu. Ini berguna untuk melatih kelincahan dan kewaspadaan dirimu, karena kau tidak akan pernah tahu serangan dari musuh seperti apa," ucap Jophiel, kembali menginjakkan kakinya di tanah dan menarik dua sayap putih miliknya.

Evan menghela napas seraya memejamkan matanya, tubuhnya cukup jarang melakukan olahraga, sehingga beberapa latihan saja sudah membuat kaki dan tangan Evan keram.

Jophiel menjulurkan tangannya, membantu Evan untuk berdiri. Ia tetap menyemangati pemuda tersebut dengan kalimat yang penuh arti, meskipun Jophiel memberikan latihan kepada Evan melebihi latihan-latihan pada umumnya.

"Aku akan berusaha semaksimal mungkin," ucap Evan, bersemangat.

"Harus. Kau harus melakukannya," timpal Jophiel.

Seketika cahaya putih muncul di diri Jophiel, membuat kedua mata Evan begitu silau melihatnya. Tak lama, sinar itu meredup dan terlihat sesuatu yang berbeda di hadapan Evan.

Jophile melapisi tubuhnya dengan seragam militer berlapiskan perak yang mengagumkan. Sebuah pedang terselip di pinggangnya membuat tampilan wanita itu seperti panglima perang yang terlatih.

Evan tidak bisa menyembunyikan rasa kagum yang menerpa dirinya. Ia tidak pernah seumur hidupnya melihat Jophiel dalam tampilan yang berbeda, sesuatu yang berharga untuk dilihat.

"Kenapa kau mengenakan pakaian seperti itu?" tanya Evan, kaget sekaligus khawatir.

Jophiel berjalan menghampiri salah satu pohon dan memegang batang pohon dengan pelan. Tiba-tiba, batang pohon itu berubah bentuk dan memuncul dua buah pedang kayu yang sama panjangnya.

"Ambillah." Jophiel melempar salah satu pedang kayu itu ke arah Evan, pemuda itu menangkapnya dengan cekatan dan bersiap dengan memasang kuda-kuda yang ia ketahui.

Evan merasa cukup percaya diri, pasalnya ia sudah tidak asing dengan pedang berkat pelatihan singkat dari Ponrak. Namun, ia perlu waspada. Kemampuan antara manusia dengan malaikat sungguh berbeda.

"Kemarilah," pinta Jophiel, mengayunkan tangan mengajak Evan mendekat.

Evan dengan sigap segera berlari dengan keadaan tangan kanannya yang memegang pedang kayu. Pemuda itu berusaha untuk memberikan kemampuan berpedangnya yang terbaik agar Jophiel mau mengakuinya.

Ia berusaha mati-matian menyerang kepala dan tubuh bagian atas Jophiel, tetapi wanita itu sama tangkasnya dengan Evan, bahkan lebih.

Evan semakin kesal, ia menyerang Jophiel dengan membabi buta meskipun semua serangnya tertangkis oleh wanita tersebut.

Perbedaannya terlihat, napas Evan mulai memburu karena lelah yang ia dapatkan, sedangkan Jophiel tidak sama sekali.

"Apa hanya segitu kemampuanmu?" tanya Jophiel meledek.

"Berisik! Aku akan mengalahkanmu. Lihat saja nanti," ungkap Evan, kesal dan geram.

Jophiel memundurkan langkahnya dan memersilakan Evan untuk menarik napas terlebih dahulu. Wanita itu sadar kalau kemampuan Evan dengannya sungguh berbeda, sehingga melihat Evan yang kelelahan adalah hal wajar.

"Aku akan menunggumu, Evan."

Tak lama, Evan kembali melangkah dan mencoba menyerang tubuh Jophiel, bahkan dalam satu serangan kecil. Namun, ia kembali dihadapkan dengan kemampuan wanita itu yang terus menangkis serangannya.

"Kini, giliranmu untuk menangkis seranganku, Evan," pinta Jophiel.

Tubuhnya condong ke depan dan ia memasang kuda-kuda yang kuat dan sejajar. Kedua tangan Jophiel memegang pedang kayu dengan erat dan langsung menghujam ke arah tubuh Evan dengan keras.

Kekuatan yang luar biasa, beberapa kali Evan terjatuh dan terdorong akibat kuatnya tekanan dari ayunan pedang Jophiel. Lelah kembali menghampiri dan kini membuat Evan lengah, Jophiel berhasil mendaratkan pukulan telak dengan pedangnya ke punggung, wajah, dan perut Evan.

Evan terjatuh di atas tanah dengan keadaan tubuh penuh memar. Ia menarik napas mencoba menengkan hatinya, tetapi rasa sakit akibat benturan itu membuat fokusnya hilang.

Jophiel mendekati Evan yang telungkup lemas, pakaiannya kembali ke pakaian kasual sehari-harinya.

"Kurasa latihan hari ini cukup sampai di sini," ucap Jophiel.

Evan mengangguk lemas, tangannya terangkat dan memberikan tanda jempol kepada Jophiel sebagai bentuk apresiasi karena sudah mau melatihnya.

"Baiklah, karena kau sudah mau kerja keras, maka aku kan memasakkan makanan istimewa untukmu," balas Jophiel, Evan tersenyum puas, hanya masakan Jophiel yang mampu mengembalikan kondisinya ke semula.

Jophiel pergi meninggalkan Evan seorang diri terbaring di atas tanah. Untung bagi Evan, hutan ilusi buatan Jophiel tidak selalu hujan, sehingga tanah yang ia tiduri saat ini tidaklah basah.

Apa yang ditakutkan oleh Evan pun tiba, hewan buas bermunculan dari dalam hutan yang gelap. Ia segera bangkit dan berlari dengan kencang menghindari terkaman mereka.

"Wah, kau pulang lebih cepat dari dugaanku," ungkap Jophiel, menyambut kedatangan Evan dengan penampilannya layaknya seorang istri muda.

"A-Ada macan."

"Macan? Oh mereka palsu, mereka tidak akan membunuhmu. Kau tahu itu, kan?" tanya Jophiel.

Ujung bibir Evan tersungging naik. Ia sudah berlari sekuat tenaga dengan harapan hidup yang kecil menghindar dari terkaman macan yang ternyata hanyalah ilusi semata.

"Haha aku sudah setengah mati menghindari mereka. Apa kau tidak bisa menghilangkan mereka saja dari ekosistem ini?" tanya Evan, kesal.

"Tentu saja tidak. Sama halnya seperti pohon yang membutuhkan cahaya matahari, maka ekosistem pendukung di dalamnya harus ada untuk mempertahankan realitasnya," ungkap Jophiel, tetap melanjutkan kegiatan memasaknya.

"Oh begitu yah? Apa aku juga nanti bisa mempelajari hal tentang ilusi dan sebagainya?" tanya Evan, memastikan.

Jophiel terdiam sejenak, matanya termenung memandang sup mendidih yang berada di atas panci. Hanya suara didih air saja yang menghiasi percakapan kedua orang tersebut.

"Apa aku tidak boleh melakukannya?" tanya Evan, membuyarkan lamunan Jophiel.

Jophiel tersentak dan tersenyum sembari merasakan masakan yang ia buat, "Kau akan mempelajarinya suatu hari nanti."