***
Enam bulan berlangsung.
Kemampuan Evan meningkat dengan pesat. Tak hanya ketahanan tubuhnya, tetapi keterampilan berpedangnya juga ikut berkembang. Jophiel yang melatihnya secara langsung takjub dan puas dengan perkembangan Evan.
"Bagus juga! Cobalah hindari ini," tegas Jophiel, ia melayang di udara seraya mengangkat bola tanah yang kini dilapisi elemen api, sehingga jika terkena, maka tubuh Evan akan segera terbakar hebat.
Intuisinya tumbuh dengan cepat, indra pendengaran dan penglihatan ia fokuskan untuk menangkis serangan dari Jophiel. Ia berdiri di atas medan lapangan berlumpur, sehingga pergerakannya tidak selincah dirinya ketika di atas pasir.
Kaki-kakinya penuh otot dan kuat, lumpur bukan masalah berat bagi Evan. Masalah terberatnya adalah ketika titik fokus latihan buyar karena terpikirkan satu dua hal. Hal itulah yang menjadi masalah besarnya.
Evan berhasil menghindari bola-bola api itu dengan keadaan dirinya masih berada di atas lumpur. Tidak ada satu pun bola api yang tersisa di belakang punggung Jophiel, tanda kalau Evan berhasil dalam latihan tersebut.
"Kita akan berlanjut ke pedang. Apa kau siap?" tanya Jophiel.
Evan keluar dari lumpur dan mengangguk pelan menjawab pertanyaan Jophiel, "Tolong, jangan menahan diri."
"Aku tidak akan."
Jophiel menjentikkan jarinya dan seketika muncul satu pedang di hadapan Evan, begitu juga dengan Jophiel. Mereka tak lagi memakai pedang kayu, tetapi mulai memakai pedang besi, bahkan Evan bisa melihat cerminan dirinya di bilah pedang tersebut.
"Siapa yang menyerah, maka dia yang kalah," tegas Jophiel.
Seketika cahaya mulai bersinar di tempat itu, terlihat Evan dan Jophiel sama-sama sudah mengenakan zirah militer yang terbuat dari besi dengan berat lebih dari 5kg.
"Kali ini, akan kubuat kau bertekuk lutut dihadapanku, Evan!" sambung Jophiel, bersemangat.
Evan tersenyum, kaki-kakinya segera melangkah mendekati Jophiel. Pemuda itu langsung mengayunkan serangan pertamanya dan Jophiel segera menangkisnya. Dentingan dua besi yang sama kuat menimbulkan efek angin yang tercipta di sekeliling mereka.
Jophiel menendang perut Evan dan berbalik mulai menyerang pemuda tersebut. Serangan bertubi-tubi dan Evan mampu menangkisnya dengan baik, hal itu membuat Jophiel berdecak kesal.
"Kau bisa mengimbangiku ternyata," ucap Jophiel, memuji kemampuan Evan.
Pemuda itu hanya tersenyum simpul dengan dua tatapan tajamnya terus mencoba mengintimidasi Jophiel, "Kau jauh lebih hebat dari dugaanku."
Mereka melompat mundur dan menarik jeda untuk mereka beristirahat, pertempuran singkat yang tercipta membuat keduanya sama-sama kelelahan.
"Kenapa kau tidak menggunakan sihir penguatan yang kuajarkan?" tanya Jophiel, menunjuk pedang besi yang digenggam Evan.
"Aku tidak akan melakukannya sebelum kau melakukannya lebih dulu," pinta Evan, ia menjunjung tinggi prinsip keadilan dan sportifitas.
"Aku suka dengan sikapmu," puji Jophiel, ia menancapkan pedangnya ke tanah dan terdengar merapalkan mantra sihir penguatan, "Amplifi Elementum."
Evan menjulurkan pedangnya di depan dadanya dengan memiringkan benda tersebut, tangan kirinya bergerak mengikuti bentuk pedang hingga ke ujung bilahnya.
"Amplifi Elementum."
Bilah pedang Jophiel bersinar berwarna merah maroon, sedangkan Evan berwarna biru laut. Tekanan sihir yang berada di tempat itu berubah drastis, begitu terkumpul dan menyesakkan.
"Seseorang bisa saja terbunuh," ucap Evan.
"Haha pasti akan sangat mendebarkan, bukan?" tanya Jophiel, Evan hanya tertawa lantang mendengarnya.
Keduanya langsung berlari dengan cepat menghampiri satu sama lain. Evan segera mengayunkan pedangnya, begitu juga dengan Jophiel.
Kedua pedang itu kembali beradu dan kini menimbulkan tekanan sihir yang bercampur dengan elemen yang digunakan keduanya. Mereka saling menatap satu sama lain dengan tetap memegang pedang mereka, meskipun darah mulai menetes dari telapak tangan Evan.
"ARRGH!"
Tekanan sihir yang besar membuat kedua pedang itu terbelah. Jophiel dan Evan terpental sejauh 25 meter dengan keadaan zirah besi yang mulai rusak dan penyok.
Jophiel terluka di bagian pundak dan tangan kanannya meskipun dia seorang Malaikat Agung, sama halnya yang terjadi dengan Evan. Pemuda itu masih mengerang kesakitan di bagian telapak tangan kanannya yang mulai memerah dan lebam.
"Aku anggap ini seri," ujar Jophiel.
"Haha!" teriak Evan tertawa menutupi rasa sakit yang ia terima.
Keduanya kembali ke rumah dengan keadaan saling panggul satu sama lain. Melihat perkembangan Evan yang hampir setara dengan kemampuan malaikat membuat Gabriel gusar. Melalui mata Tuhan miliknya, ia bisa melihat semua hal yang ada di dunia ini tanpa terkecuali, termasuk kegiatan latihan Evan.
Pemimpin para malaikat itu masih belum memercayai Evan sepenuhnya. Ia hanya khawatir jika kekuatan dan kemampuan yang diberikan Jophiel justru dipergunakan untuk melawan ras Jophiel itu sendiri.
"Apa yang sedang kau lihat, Gabriel?" tanya Raphael.
Gabriel tidak menjawab dan memilih turun dari kahyangan untuk pergi menemui Jophiel dan Evan. Ia perlu memastikan posisi Evan dalam peperangan kali ini.
***
Evan pergi ke atap rumah dan memandang aliran sungai yang berada di depan hutan ilusi. Suasana yang menenangkan membuatnya rela untuk menghabiskan waktu di tempat tersebut.
Jophiel sudah tertidur lelap setelah makan malam dan mengganti pakaiannya, kegiatan latihan hari ini cukup ketat dan sengit sehingga keduanya merasa begitu kelelahan.
"Hari yang sulit hari ini," gumam Evan.
"Sangat sulit, bahkan untuk memutuskan sesuatu sekali pun."
Mendengar suara pria lain di belakang Evan membuat pria itu bersiaga penuh, ia langsung berbalik dan menyerang pria misterius itu dengan menggunakan senjata kecil yang selalu berada di pinggangnya.
"Siapa kau dan apa yang kau lakukan di sini?" tanya Evan, Gabriel tertawa mendengarnya.
"Sepertinya dia kurang melatihmu tentang kepekaan, yah?" ungkap Gabriel, ia masih mengangkat tangan kanannya dan membuat penghalang sihir mencegah dua benda tajam yang Evan lempar mengenai dirinya.
Evan terdiam, ia memasang kuda-kuda kakinya dengan kuat mencegah jika sewaktu-waktu pria itu hendak menerjangnya dengan keras.
"Kuda-kudamu kurang kuat."
Gabriel bergerak dengan cepat menghampiri Evan, kakinya berhasil menjatuhkan pemuda itu dengan mudah hingga membuat Evan melongo tak percaya.
"Bagaimana kau bisa melakukannya lebih baik dari Jophiel?" tanya Evan, masih tak percaya.
"Karena akulah yang mengajarkan wanita itu teknik bela diri," ungkap Gabriel, spontan Evan langsung berdiri dan menundukan kepala, memberi hormat kepada Pemimpin Malaikat Agung, Gabriel.
Gabriel datang untuk melihat kemajuan dari latihan yang dilakukan Evan bersama Jophiel. Ia yakin latihan Jophiel berhasil dilihat dari kesigapan Evan dan bentuk tubuh pria itu yang semakin atletis hari ke hari.
"Apa kau tidak keberatan?" tanya Gabriel, Evan tidak tahu apa maksudnya.
Seketika Gabriel membuka gulungan kertas yang selalu ia bawa, waktu tiba-tiba berhenti dan bunyi-bunyi kicau burung khas hutan mulai menghilang meninggalkan kesunyian untuk mereka.
"Apa kau baru saja menghentikan waktu?" tanya Evan, kaget.
Gabriel mengangguk, ia masih menggenggam gulungan kertas yang terbuka dengan tangan kanannya dan terlihat tulisan di dalam gulungan tersebut yang tak diketahui oleh Evan.
"Itu salah satu keahlianku. Duduklah," pinta Gabriel, memersilakan Evan untuk duduk.
Evan menolak dengan alasan tidak ada kursi untuknya duduk, tetapi sesuatu mengejutkan Evan ketika melihat sofa single yang empuk tersedia di belakang punggungnya.
"Tadi benda itu tidak ada di situ, kan?" tanya Evan, memastikan.
"Aku mengendalikan ruang dan waktu di tempat ini. Itu hanya muncul karena sugesti dari alam bawah sadar kita bahwa kita duduk butuh kursi, maka gulungan ini mengkonversi sugesti tersebut menjadi kenyataan."
Evan mendengarnya seperti ia tengah mengobrol dengan pria dari zamannya sendiri. Ia benar-benar takjub dengan kekuatan Gabriel, bahkan ia bisa mengubah dunia dan seisinya sesuai kehendaknya.
Evan duduk di sofa tersebut begitu juga dengan Gabriel. Keduanya mengobrol satu sama lain, mulai dari basa-basi hingga hal-hal yang menjurus kepada peperangan.
"Perang tak lama lagi akan meletus di tiga benua. Dengan kekuatanmu, kau akan mudah menjadi sosok penting di antara mereka," ungkap Gabriel.
Gabriel menuangkan teh hijau hangat yang muncul dari sugestinya, memberikannya kepada Evan dengan gelas berlapiskan emas. Semua yang terjadi membuat diri Evan sekali lagi merasa kagum.
Keduanya menyeruput teh hijau tersebut dengan perlahan, merasakan aliran yang menyegarkan melewati kerokongannya hingga terasa hati Evan begitu damai malam itu.
Gabriel meletakan gelas miliknya seraya menatap Evan tajam, "Aku hanya ingin bertanya sesuatu padamu. Siapa pihak yang kau bela di perang yang akan datang?"