"Aku ... aku hanya pandai menebak," ujar Evan.
"Tebakan yang beruntung," balas Sophie, tersenyum seraya berdiri dan berjalan melangkah menuju ruang kamarnya.
Wanita itu pergi dengan senyum yang terukir di wajahnya, bahkan ketika ia sudah berada di kamar. Ia merebahkan dirinya di atas kasur sembari menutup wajah cantiknya dengan bantal empuk, beberapa kali tertawa kecil mengingat pembicaraannya dengan Evan
Evan mendengar suara dari dalam kamar Sophie, dinding yang cukup tipis dan suasana rumah yang sepi membuatnya mudah mendengar bunyi sekecil apa pun.
"Dia benar-benar wanita yang menarik," ungkap Evan, hatinya berdebar tak menentu akibat pertemuan mereka yang sering terjadi.
Evan benar-benar menyukai Sophie dan sifat baiknya sebagai seorang wanita. Ia adalah gambaran yang sempurna dari sosok wanita yang sangat diinginkan Evan. Namun, setiap kisah cinta yang tumbuh selalu mendatangkan masalah baru.
Jophiel, malaikat wanita yang berada di tubuh Evan tidak menyukai kedekatan pemuda tersebut dengan Sophie. Ia terbakar api cemburu setelah pemuda itu lebih banyak memberikan perhatian kepada pendeta suci itu ketimbang dirinya.
"Apa kau menyukainya?" tanya Jophiel.
"Sepertinya begitu. Bagaimana menurutmu, Jophiel?" tanya Evan.
"Aku tidak ingin ikut campur dalam urusanmu." Jophiel benar-benar cemburu dan iri dengan kedekatan keduanya. Kecantikan Sophie tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengannya, bahkan seorang manusia bisa berubah keputusan hatinya ketika mendengar suara nyanyinya yang merdu.
Ketika Evan tengah menikmati momen tersebut, seorang anak kecil datang ke rumah kecilnya dan memberitahu pemuda tersebut. Ia mengatakan kalau prajurit istana datang ke desa ini dengan jumlah yang banyak, hal itu membuat Evan terkejut hingga sedikit memundurkan langkahnya.
"Apa? Prajurit istana datang?" tanya Evan.
Pemuda itu segera keluar rumah bersama anak kecil tersebut dan melihat dari kejauhan kalau rombongan tersebut dipimpin oleh Selena, wanita yang selalu berada dekat dengan Putra Mahkota Leon.
"Cepat beritahu aku di mana keberadaan Evan!" teriak Selena, putri bungsu Raja Alexandre itu berubah dari wanita yang ramah menjadi seseorang yang bengis dan tak kenal ampun.
Seluruh warga desa berlutut tepat di depan Selena yang masih duduk nyaman di atas kuda miliknya, terlihat Altair juga ikut tertangkap dan ikut duduk di barisan terdepan.
"Kami sama sekali tidak tahu apa pun tentang Evan," ungkap tetua desa.
"Aku dapat informasi kalau pemuda itu berada di desa ini," balas Selena, tetua itu tak mampu membantah ucapan darinya.
Selena turun dari atas kuda dan berjalan menghampiri Altair. Wajahnya yang kembali muda seketika membuat wanita tersebut jatuh hati hingga ingin memiliki Altair sepenuhnya, meski ia mengetahui umur dari Altair jauh lebih tua darinya.
"Kau jauh lebih tampan dengan tampilanmu yang sekarang. Apa kau bisa memberikan rahasianya kepadaku, Pendeta Altair?" tanya Selena, menggoda.
Semua warga desa serentak membelalakkan kedua matanya, terkejut melihat keberadaan Altair yang ada di tengah mereka. Tetua desa yang berlutut tepat di samping Altair berekspresi sama terkejutnya dengan seluruh warga desa.
"Kau? Apa kau Pendeta Agung Altair?" tanya tetua desa, memastikan.
Altair menghela napas pelan seraya menatap kedua mata tetua desa, "Maafkan aku sudah membohongimu dan seluruh warga desa."
"Tapi jika kau berada di sini, maka—"
"Geledah desa ini. Cepat!" titah Selena dengan lantang menyela perkataan dari tetua desa.
Evan semakin terpojok, ia tidak bisa meninggalkan Altair dan membuatnya tertangkap begitu saja. Namun, prajurit istana yang cukup banyak membuat ruang gerak Evan untuk melarikan diri cukup tipis.
Sophie keluar setelah mendengar keributan di luar rumah. Wanita itu melihat Evan bersama seorang anak laki-laki tengah berdiri mengendap-endap seperti tengah memerhatikan sesuatu.
"Ada apa, Evan?" tanya Sophie, kebingungan.
Evan berbalik badan dan menggenggam kedua pundak Sophie erat, wanita itu terkejut seraya membulatkan kedua matanya lebar-lebar.
"Kita harus bersembunyi," tegas Evan.
"Tapi bersembunyi dari apa?" tanya Sophie, ketakutan.
"Prajurit kerajaan. Mereka datang dan menangkap Altair, identitas pria itu sudah diketahui," ungkap Evan.
Sophie tidak mampu menyembunyikan rasa terkejutnya. Tubuhnya memberontak ingin lepas dari genggaman Evan, ia ingin berjalan ke sana dan melindungi ayahnya. Namun, Evan mencegah Sophie untuk pergi dengan alasan keamanan dirinya.
"Aku tidak bisa membiarkan ayahku dihukum tanpaku untuk kedua kalinya!" bentak Sophie.
Melihatnya marah membuat Evan hilang keseimbangan hingga terjatuh. Sophie lepas dari genggaman Evan dan pergi dengan berani menghampiri mereka.
"Pendeta Suci? Suatu kehormatan bagiku bisa bertemu denganmu di sini," ucap Selena, berkelakar.
"Lepaskan ayahku!" pinta Sophie, tetapi Selena menolak.
"Aku akan melepaskannya jika kau memberikan Evan kepadaku," ungkap Selena.
"Evan tidak datang bersama dengan kami. Ia pergi seorang diri berlatih seorang diri di gunung," balas Sophie.
Ucapan wanita itu membuat Selena gundah, pasalnya orang yang ia temui adalah seorang Pendeta Suci yang selalu memegang teguh prinsip kebenaran.
"Tapi bukankah kalian datang berempat tiga bulan yang lalu?" tanya tetua desa, ucapannya yang terlalu jujur membuat Sophie murka hingga wajahnya memerah padam.
Selena tertawa dan menepuk pelan pundak tetua desa tersebut. Ia memuji secara langsung kontribusi yang diberikan pria tua itu kepada pihaknya.
"Kemarilah dan duduk tepat di sebelah ayahmu," pinta Selena.
Sophie tertangkap, begitu juga dengan Altair. Situasi yang dialami Evan sungguh merepotkan, ia sungguh dilema apakah harus menyelamatkan mereka atau menyelamatkan dirinya sendiri.
"Evan," panggil Jophiel.
"Aku mendengarmu. Ada apa?" tanya Evan seraya mengangkat tangan kanannya.
"Kita harus melarikan diri," ucap Jophiel, tegas.
"Lalu bagaimana dengan mereka?" tanya Evan, cemas.
"Jangan khawatir. Sihirku berada di tongkat Altair, sehingga aku akan tahu apa yang dilakukan para prajurit terhadap mereka berdua," jelas Jophiel, ucapannya membuat hati Evan cukup tenang.
Evan mulai berlari menuju kedalaman hutan, tetapi seorang prajurit melihat dirinya dan mulai mengejar seraya berteriak memanggil prajurit yang lainnya.
"Buat mereka buta, Evan."
Evan mengangguk, sembari berlari ia mengangkat tangan kanannya, membuka telapak tangannya dan secara cepat mulai mengepal seraya membayangkan cahaya terang yang menyilaukan.
Sihirnya berhasil, cahaya itu keluar dari punggung tangan Evan membuat beberapa prajurit kerajaan terjatuh dan menabrak pohon karena terganggu pengelihatannya.
Beberapa prajurit tersisa, mereka mengejar seraya menebakkan panah beracun yang bisa membius apa pun, bahkan hewan sebesar gajah.
"Buat tembok yang besar, Evan."
Evan kembali mengangguk, ia berlari lebih cepat untuk menjaga jarak dengan para prajurit tersebut. Langkahnya terhenti setelah dirasa cukup jauh antara jaraknya dengan kejaran prajurit kerajaan.
Kedua tangan Evan diletakan di atas tanah dan pikirannya mulai membayangkan tembok besar yang terbuat dari bebatuan dan tanah.
Panah-panah dari prajurit istana terus melesat mengarah kepada Evan, tetapi Jophiel berhasil membantu mengalihkan arah panah dengan sihir angin miliknya.
Tiba-tiba, tanah di hutan itu bergetar hebat dan muncul dari kedalaman tanah, sebuah tembok besar yang menjulang setinggi 5 meter dan panjang sekitar 100 meter menghalangi arah para prajurit tersebut.
Evan kembali berlari menjauh disaat prajurit kerajaan harus berjalan memutar untuk menyusul pemuda tersebut. Evan dihadapkan dengan sebuah pilihan yang sulit, yaitu tebing curam yang berada di batas akhir hutan tersebut.
"Akhirnya, sebuah klise dari pengejaran di sebuah hutan. Terima kasih, referensi filmku."
Evan berbalik badan dan memerhatikan sekeliling tempat tersebut, tidak ada jalan lain selain melompat dari atas tebing tersebut.
Para prajurit semakin banyak berdatangan selagi Evan menunggu untuk terjun atau tidak. Tinggi tebing sekitar 50 meter dengan aliran sungai berwarna biru pekat membuat Evan semakin ragu.
"Apa yang harus kulakukan, Jophiel?" tanya Evan, ketakutan.
"Lompat saja."
"Lompat? Apa kau pikir ini lompatan ringan untuk berenang?" tanya Evan, berkelakar.
Kini, para prajurit itu sudah berada di hadapan Evan. Mereka memegang busur dan panah, pedang serta tombak, hampir semua senjata lengkap di penyergapan tersebut.
"Menyerahlah, Evan!" teriak seorang prajurit.
"Apa yang akan kalian lakukan jika aku menyerah?" tanya Evan.
Mereka saling pandang satu sama lain, tidak tahu apa jawaban yang tepat untuk pertanyaan tersebut.
"Entahlah, tapi kami akan memenjarakanmu atas tuduhan pengkhianatan."
"Tepat! Sejak awal, aku tidak pernah mendukung kalian dan tiba-tiba kalian menuduhku sebagai pengkhianat," ucap Evan kesal.
"Lompat sekarang, Evan!" teriak Jophiel.
Evan memundurkan langkahnya dengan perlahan, ia masih ketakutan dengan ketinggian tebing dan aliran sungai berwarna biru pekat.
"Melompat tidak semudah yang kau pikir, Jophiel."
"Sudah, tembak dia sekarang!" perintah salah satu prajurit istana.
Segera Evan melompat dengan membelakangi sungai tersebut, ia tidak ingin melihat secara langsung sungai yang berada tepat di bawahnya.
Evan terjatuh di sungai tersebut dan pikirannya benar-benar tenggelam dalam ketidaksadaran. Jophiel keluar dari tubuh Evan dan membantu pemuda itu untuk menepi dari tengah sungai.
Tubuhnya berukuran sama dengan Evan, hal ini karena kekuatan yang sudah terkumpul sejak tiga bulan berada di persembunyian.
"Kau keras kepala, Evan!" kesal Jophiel.
Ia membiarkan Evan telentang di atas tanah kering di pinggir sungai, beberapa prajurit di atas memilih kembali dan melaporkan apa yang mereka lihat kepada Selena.
Untuk sementara, Evan aman dari kejaran prajurit kerajaan. Kini, Jophiel hanya perlu mengembalikan kesadaran Evan dan membuat luka di punggung pemuda itu sembuh.
Jophiel memandang ke langit seraya memejamkan kedua matanya, "Raphael, jika kau mendengarkanku, datanglah kemari. Aku membutuhkan bantuanmu."