Pameran sudah hampir satu bulan, Arman, angga dan Danang mulai memdapatkan pelanggan tetap. Bahkan mulai mengepakkan sayap usahanya melalui online. Dan hal itu membuahkan hasil yang sempurna. Setelag masa pameran itu selesai. arman memutuskan menyewa sebuah tempat untuk melanjutkan usahanya.
Namun berbeda dengan kisah percintaan Arman dan bunga, di mana bunga tidak bisa menerima keputusan Arman yang memutuskannya secara sepihak karena orang tua bunga yang tidak menyetujuinya.
Hingga suatu hari bunga nekat mendatangi tempat Arman berjualan, dan saat itu hari masih pagi hanya beberapa orang yang ada di sana termasuk Arman dan Amel.
"Arman!" panggil bunga secara tiba-tiba, Hal itu membuat Arman kaget akan kedatangan bunga. Begitu pula amal yang berada di stan sebelah milik Arman. Pandangan Amel tidak lepas dari wajah bunga.
"Kenapa kamu disini?" Tanya Arman.
"Aku mau kita bicara," jawab Bunga.
" aku rasa sudah tidak ada yang harus dibicarakan, Bukankah keputusan Ibumu itu sudah mutlak?"
" Apa kau tidak ingin berjuang sedikit demi aku, semudah itukah kamu menyerah?"
" Jangan pernah tanyakan perjuanganku, seandainyapun aku berhasil mempertahankanmu saat ini, tidak menjamin suatu hari aku akan di hina lagi jika ku berada di titik rendah."
Dengan keras tangannya memghempaskan tangan Bunga yang hendak memegangnya. Sedangkan amel yang berdiri tak jauh dari mereka hanya bisa memandangi dan mendengerkan perdebatan mereka.
Hingga akhirnya Arman meninggalkan Bunga yang masih terpaku di depan standnya. Dam kebetulan Amel hendak mengambil barang di Parkiran. Dan melihat Arman berdri tak jauh dari mobil milik temannya tersebut. Dan saat bersamaan Muncu bunha dari belakangnya. Dan terlihat akan melanjutkan perdebatan. Namun saat Amel hendak pergi tiba-tiba sebuah tangan menahan langkahnya dengan memegang lengannya.
"Dia," ucap Arman tiba-tiba.
"Tidak mungkin, aku yakin kamu hanya asal. Bahkan tidak mengenal dia kan?" bantah Bunga.
"Memang belum, tapi akan." Arman memalingkan wajahya dan menatap erat Amel.
"Kenapa?" tanya amel dengan kebingungan
"Amel," pangil Arman dengan tatapan gugup.
"Aku menyukaimu, bisakah kamu menjadi pacarku?" tanya Arman tanpa basa basi, membuat kedua wanita itu mematung tak bergeming.
"Amel," hingga akhirny suara arman membuat Amel kaget.
"I-iya," jawab Amel dengan gugup.
"See, apa masih kurang jelas?" tanya Arman pada Bunga.
"Keterlaluan kamu man," sahut Bunga dengan nada bergetar.
Bunga hendak meninggalkan Amel dan Arman namun langkahnya masih terhenti saat melihat Danang dan Angga yang berdiri tak jauh darinya. Dan kemudian Bunga melanjutkn langkahnya. Karena tak sanggup menerima kenyataan bahwa orang yang dia perjuangkn memilih orang lain.
Saat melihat bunga telah pergi meninggalkan dirinya dan Amel, seketika tangannya melepaskan genggamnya dari tangan Amel. Dan ia melihat Angga dan Danang datang menghampirinya.
"Sejak kapan kalian disana?" tanya Arman dengan gugup.
"Sejak tadi," jawab Angga dengan ketus.
"Kalian beneran jadian nih?" tanya Danang.
"Nggak, aku hanya ingin membuat Amel pergi." Arman menatap Amel.
"Mel, terima kasih atas bantuannya," ucap Arman
"I-iya," jawab Amel dengan gugup. Ia sangat kecewa saat mendengar jawaban arman. Berbeda dengan Angga. Angga terlihat sangat lega.
Amel yang sangat kecewa memilih meninggalkan Arman, Angga dan Danang yang masih terpaku di area parkiran.
Begitu pula dengan atman yang mengajak teman-temannya kembali stand setelah kepergian amel.
***
Beberapa hari terakhir Angga diam-diam memperhatikan setiap gerak-gerik Amel karena ia merasa kagum dengan sosok Amel. Dan saat ia melihat Arman meminta Amel menjadi pacarnya hatinya terasa sakit. Dan ia sempat membenci Arman. Sedangkan Arman yang saat itu ingin bunga segera pergi ia memanfaatkan kehadiran Amel untuk membuat bunga segera pergi.
"Aku kira tadi benaran," ucap Danan saat menuju ke standnya.
"Enggaklah," jawab Arman dengan cepat seakan acuh tak acuh ia tidak memperhatikan kekecewaan yang dirasakan oleh Amel.
"Lah nanti kalau dia baper beneran gimana?" ledek Danang. Ledekan Danang membuat Angga dan Arman berubah mimik mukanya, di dalam benak mereka berdua seketika melintas bayangan jika amel benar suka sama Arman.
"Heh, aku cuma becanda. Kenapa kalian serius?" tanya Danang dengan menyenggol kedua sahabatnya tersebut.
Sesampainya di Stand, Arman melihat email yang sudah membersihkan mejanya. Begitu pula dengan Angga yang melihat Amel sedang sibuk. Sejak saat itu Amel merasa canggung untuk menyapa mereka bertiga. Namun berbeda dengan Danang ya tetap akrab dan selalu menyapa Amel seperti biasa.
"Amel," panggil Danang.
"I-iya, kak." Amel menatap sekejap sumber suara dan segera mengalihkan pandangannya.
Arman segera menyibukkan diri dengan melanjutkan pekerjaannya yang tertunda karena kedatangan Bunga. Dan Angga membantu Arman. Danang merasa ada yang aneh dengan sikap mereka berdua. Namun ia abaikan untuk saat ini.
***
Di sisi lain bunga yang sedang berada di dalam perjalanan untuk pulang tidak henti-hentinya meneteskan air mata di dalam taksi. Ia mulai putus asa untuk mempertahankan hubungannya dengan Arman.
"Haaaaah," teriak Bunga yang frustasi.
"Mbak, mbaknya nggak apa-apa?" tanya sopir taxi.
"Sudah, bapak nyetir aja yang bener," bentak Bunga.
Sopir itupun tidak bergeming dan segera mengantarkan Bunga ke tempat tujuannya. Dan tak butuh waktu lama. mobil taxi itu berhenti di halaman rumahnya. Dengan keras Bunga menutup kembali pintu taxi itu setelah ia membayar dan keluar dari mobil itu. Dengan langkah kasar dan wajah yang marah ia memasuki rumahnya. Dan ibunya melihat akan hal itu. Segera ia mengikuti anaknya hingga ke kamarnya. Namun saat hendak ikut masuk pintu kamar Bunga sudah tertutup dengan cepat.
"Bunga, kamu kenapa?" tanya ibu bunga dengan menempelkan telinganya di pintu kamar bunga.
"Bunga," panggilnya. Namun tetap tidak ada jawaban.
'tok.. tok.. jeglek jeglek'
Bu Antok mencoba membuka paksa pintu kamar anaknya namun tetap tidak bisa.
"Bunga, cepat buka." Bu Antok mulai kehilangan kesabaran.
"Kenapa ma? Mama mau apa? Puas sekarang sudah hancurin semua yang bunga inginkan dan bunga punya?" Serangan pertanyaan dari dalam kamar Bunga membuat Bu Antok merasa bingung.
"Nak, kita bicara baik-baik dulu. Ada apa?" Bu Antok mencoba membuat Bunga membuka pintunya.
"Tidak ma, percuma. Mama nggak pernah dengar apa yang bunga Minta."
"Kamu minta apa?"
"Mas Arman," jawab Bunga.
"Tidak untuk hal itu. Kamu bisa minta yang lain tapi jangan itu."
"Tapi bunga tidak minta apa-apa selain itu."
Perdebatan antara ibu dan anak itu sedikit panjang, namun Bu Antok memilih pergi dan membiarkan Bunga menenangkan dirinya.
Hingga matahari di ujung barat, bunga tidak keluar kamar, hal itu membuat Bu Antok dan pak Antok merasa khawatir. Ia mencoba mengetuk pintu namun tidak ada jawaban.
"Pa, bagaimana jika kita minta pak satpam mendobrak pintu ini," usul Bu Antok
"Jangan ma," tolak pak Antok.
"Tok tok..tok, bunga, ini papa. Tolong buka ya nak."
"Tidak, bunga tidak mau pa."
Setelah mendengar suara Bunga rasa khawatirnya sedikit berkurang. Hal itu di biarkan oleh Antok untuk memberi sedikit waktu lagi untuk Bunga. Ia lebih sabar dari pada istrinya sehingga ia bisa meredam ambisinya untuk memaksa Bunga untuk membuka pintu.