"Apa yang terjadi, Dok?" tanya Arman dengan nada bergetar karena di selimuti rasa khawatir.
"Kami harus melakukan pemeriksaan lebih lanjut. untuk sementara waktu pasien berada di ruang observasi," jawab pria berjas putih tersebut.
"Bukankah tadi sudah di nyatakan baik-baik saja?" tanya Arman dengan nada protes bahkan matanya mulai berkaca-kaca.
"Saya curiga ada penyakit lain yang ada di dalam tubuh pasien, jadi untuk memastikan kami menunggu hasil lab dan melakukan pemeriksaan lebih lanjut," jelas dokter itu. dan dokter tersebut segera meninggalkan Arman yang masih dalam keadaan bingung, panik, dan khawatir.
Arman lemas. Dia duduk di lantai dengan tangan yang memeluk kedua lututnya. tanpa dia sadari air mata membasahi pipinya. dia tidak peduli dengan lalu lalang para pasien, suster, dokter bahkan kerabat pasien yang lewat di depannya. dan tidak sedikit yang memandangnya dengan tatapan aneh.
Tiga puluh menit berlalu, Arman masih dalam posisi yang sama. tiba-tiba sebuah tangan menepuk bahunya dan memberikan sebuah kantor plastik berisikan makanan.
"Man!" panggil Danang. Arman yang mengenal suara itu segera mendongak.
"Lo kenapa, Man?" tanya Danang yang terlihat bingung dengan kondisi Arman saat itu.
Arman tidak menjawab, dia kembali menunduk dan semakin deras air matanya. Danang yang bingung segera menghubungi Angga yang sedang melayani pembeli.
"Hallo!" ucap Danang saat melihat tanda waktu panggilan di mulai.
"Wa'alaikumsalam," sahut Angga dengan kesal karena Danang selalu saja tidak pernah mengucapkan salam.
"Assalamualaikum, Ngga. Lo yakin ini Arman baik-baik saja?" tanya Danang setelah mengucapkan salam.
"Tadi telepon baik-baik saja, emang kenapa dia?" tanya Angga yang berubah panik.
"Dia nangis dan duduk di lantai, gue tanya malah nggak jawab," jelas Danang.
"Wah, ada yang nggak beres ini." Angga segera mengakhiri panggilan dan segera membersihkan kedainya.
"Kalau gue yang nggak salam di marahi, kalah dia yang gak salam sah-sah aja!" umpat Danang kepada Angga yang mengakhiri panggilan begitu saja.
Danang menghampiri Arman dan mengajaknya duduk di kursi yang tak jauh dari tempat mereka berada.
"Man, Lo minum dulu gih." Danang menyodorkan air mineral kepada Arman. Dan Arman meminumnya sedikit untuk menghargai Danang.
"Man, Lo sudah makan?" tanya Danang.
Arman tidak menjawab, dia hanya menggelengkan kepalanya dan tatapannya kembali kosong.
****
Disisi lain Angga menyelesaikan pesanan kebab untuk sepuluh porsi. Dan dia merubah gantungan dari 'open', menjadi 'close'. Banyak yang kecewa karena Kedai kebab tutup lebih awal.
Walaupun kebab dan burger Pati tidak seterkenal merk yang ada di dalam mall itu, namun rasanya tidak kalah enaknya. Sehingga banyak yang kecewa saat kedai itu tutup lebih awal.
"Mas Angga!" panggil Amel dengan pelan.
"Ya, Mel!" sahut Angga dnegan tangan yang masih bekerja.
"Ada Masalah apa kok tutup lebih awal?" tanya Amel sedikit ragu.
"Mau ke rumah sakit, ibunya Arman kayaknya sedang kritis," jawab Angga.
Mendengar itu Amel sedikit kaget dan seperti orang bingung, bahkan dia kembali duduk di balik stand nya tanpa mengucapkan terima kasih atas informasi dari Angga. Anggapun tidak peduli dengan hal itu, dia fokus membuat keban dan burger dan ingin segera pergi ke rumah sakit.
Entah apa yang di pikirkan Amel, saat itu dia tidak fokus dengan pekerjaannya. Bahkan dia memberikan pesanan yang salah kepada pelanggannya.
"Kak, ini kok taro? Kan aku pesan yang cappucino!" protes seorang wanita yang terlihat kesal dengan Amel.
"M-maaf, akan saya ganti." Amel segera meraih gelas itu dari tangan pelanggannya dan segera membuat minuman yang baru.
Angga yang melihat itu ingin sekali membantu, namun karena Arman membutuhkannya sehingga dia memilih pergi ke rumah sakit. Amel yang melihat Angga pergi ingin sekali menanyakan dimana ibunya Arman di rawat. namun karena dia sedang mengganti pesanan yang salah sehingga tidak sempat untuk bertanya.
Angga mengendarai mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata karena dia merasa tidak enak dengan perasaannya. Bahkan dia hampir menabrak penggunaan jalan uang lain. namun karena ke lihaiannya dalam mengendarai mobil membuatnya cepat membanting stir dan tidak menimbulkan Masalah.
"Ini kenapa tidak di jawab sama si gentong," umpat Angga kepada Danang yang tidak menjawab panggilannya.
Tiga puluh menit Angga sampai di Rumah sakit, segera dia menuju Ruang Sekar. namun di beritahu oleh perawat Yang sedang jaga bahwa pasien bernama Ida berada di ruang observasi berada di lantai tiga.
"Terima kasih," ucap Angga setelah mendapatkan informasi.
Perasaan Angga semakin tidak karuan, segera dia menaiki lift dan tak butuh waktu lama Angga menemukan Danang dan Arman duduk dengan keadaan nangis terisak. Bahkan Arman nampak lemas seperti tidak ada tenaga bersandar di bahu Danang.
"Dan, gimana?" tanya Angga.
Danang tidak menjawab dia hanya menggelengkan kepala. menatap sahabatnya dengan prihatin.
"Lo jangan bikin gue serangan jantung, kenapa?" desak Angga yang belum bisa mencerna situasi yang ada di hadapannya. bahkan dia tidak sanggup bertanya kepada Arman yang terlihat lemas.
"Panjang ceritanya, mending Lo bantuin gue ngebujuk Arman biar mau minum atau makan dulu," sahut Danang.
"Sialan Lo," umpat Angga.
Angga melihat lalu lalang para suster dan dokter. Dan dia mulai berfikir yang tidak-tidak sedang terjadi.
"Ada yang tidak beres ini," gumam Angga.
Angga segera menghentikan perawat yang baru saja keluar dari ruang observasi.
"Sus, bisa katakan apa yang terjadi?" tanya Angga dengan tegas.
"Silahkan tunggu sampai dokter selesai melakukan tindakan, terima kasih." suster itu tidak memberikan jawaban yang memuaskan kepada Angga.
Bahkan beberapa orang yang lewat di hadapan ketiga pemuda itu menatap kasihan, terutama saat melihat Arman.
Dan saat Arman hanya menatap kosong ke arah atas dan air mata tetap mengalir ke pipinya membuat Angga merasakan sakit di hatinya. Angga sudah menganggap Ida sebagai ibunya sedangkan Arman sebagai adiknya.
"Man, apapun yang terjadi gue yakin Lo kuat. dan gue yakin ibu bakal sembuh." Angga mencoba meyakinkan Arman.
Tiba-tiba Arman bangun dan menatap tajam ke arah Angga. dan beberapa detik kemudian dia menangis di bahu Angga. Angga yang awalnya terlihat paling tegas ikut meneteskan air mata. Danang yang baru saja diam dari tangisnya ikut terisak kembali.
Saat mereka bertiga sedang larut dalam kesedihan pintu yang tadinya terkunci tiba-tiba terbuka.
Jegreekk....
Suara pintu terbuka dan di ikuti pria berjas putih keluar dari ruangan tersebut. Angga dan Arman segera menghampiri dokter itu.
"Bagaimana dok?" tanya Arman dengan nada serak.
"Apa ibu saya baik-baik saja?" Arman menyerang dokter itu dengan banyak pertanyaan bahkan dia menarik tangan dokter itu.
Dokter itu menatap tajam Arman dan menepuk bahu Arman bahkan tatapan dokter itu tidak bisa di artikan dengan baik.
"Kenapa dok?" Arman mengguncang tubuh Dokter itu.