"Maaf mas, Allah lebih sayang kepada ibu anda," jawab Dokter dengan tatapan penuh iba.
"Ibu saya sembuh?" tanya Arman dengan senyum getir di bibirnya. Sedangkan Angga dan Danang yang mengerti maksud dari ucapan dokter itu hanya bisa adu pandangan.
"Nggak mas, ibu Ida sudah pulang ke surganya Allah." Dokter itu menjelaskan sehalus mungkin karena dia tahu Arman sedang tidak baik-baik saja. mental Arman sedang terguncang.
"Man, yang ikhlas yang tabah." Danang mencoba menenangkan Arman yang belum bisa menerima kenyataan.
"Apa sih, ibu gue sembuh kok. kenapa kalian sedih? kalian ngga suka ya ibu aku sembuh?" Arman menyangkal kenyataan bahwa ibunya telah tiada.
"Silahkan di urus surat-suratnya," salah satu perawat menyodorkan sebuah lembaran kertas kepada Arman. namun Arman tidak menerima kertas itu sehingga Angga mengambil kertas itu. sedangkan Danang menelepon kerabat yang dekat rumah Arman agar menyiapkan persiapan pemakaman.
"Kalau begitu saya pamit dulu. sekali lagi saya turut berduka cita atas berpulangnya Ibu Ida."
"Enggak-enggak. Dokter itu pasti bohong." Arman meronta dari dekapan Angga untuk menyerang dokter tersebut
"Man, Lo harus sadar." Angga mengguncang tubuh Arman.
"Gue sadar, Ngga." Arman menatap tajam ke arah Angga dengan mata berkaca-kaca.
"Siapa yang nggak sakit hati kalau ibunya di katakan meninggal. padahal ibu gue sembuh kok."
"Pasti itu Dokter abal-abal," umpat Arman engan menunjuk-nunjuk ke arah Dokter yang telah berlalu.
"MAN..." Angga teriak tepat di depan wajah Arman. sehingga membuat Arman tersadar dan mulai bersimpuh di hadapan Angga. seketika Arman lemas tangisnya pun pecah memenuhi seluruh ruangan itu.
"Man gue tau lo sedang terpuruk. tapi lo jangan kayak gini." Angga mencoba menenangkan Arman. namun Arman hanya terisak dan mulai berdiri saat seorang perawat mendorong tempat tidur Ida keluar dari ruangan tertutup itu.
"Bu, bangun bu." Arman mengguncang tubuh Ida dan membuat perawat itu menghentikan langkahnya dan tangis Arman semakin pecah saat dia membuka penutup wajah Ida. semua orang melihat ke arah Arman denan tatapan kasihan. tak ayal ada yan meneteskan air mata walaupun mereka tidak saling kenal.
"Mas, segera urus dokumen untuk almarhumah." perawat itu memaksa Arman agar menjauh dari jenazah Ida karena mereka akan memindahkan di ruang jenazah.
Angga yang melihat Arman tidak mau melepaskan tangannya dari jasad Ida meminta ijin agar Arman ikut mengantar Ida mengantar ke kamar jenazah.
"Pak, biarkan teman saya ikut mengantarkan ibunya," ucap Angga dengan menatap penuh harap kepada kedua perawat itu.
setelah kedua perawat itu saling menatap beberapa saat akhirnya mereka mengijinkan Arman ikut mengurus jenazah ida. sedangkan Angga mengurus segala administrasi dan dokumen yang di perlukan oleh pihak rumah sakit.
"Nang, Lo ikut Arman ya. kau ada apa-apa hubungi gue." Angga meminta Danang menemani Arman .
Danang tidak sanggup mengeluarkan suaranya dia hanya mengangguk menandakan bahwa dia setuju.
***
Angga yang sedang mengurus administrasi melihat ponselnya menyala tanpa suara. dan terlihat di layar ponselnya beberapa pesan dan panggilan tak terjawab dari ayahnya dan Bunga.
"Assalamualaikum, yah." ucap Angga saat dia menjawab panggilan dari ayahnya.
"Wa'alaikumsalam," sahut Agus, ayah dar Angga.
"Bagaimana di sana nak?" tanya Agus yang terdengar khawatir dengan keadaan di rumah sakit.
"sudah Angga urus sama Danang. yah," jawab Angga.
"Di rumah Arman juga sudah Ayah siapkan bersama tetangga."
"Terima kasih, yah." suara Angga terdengar bergetar karena sedari tadi menahan tangis di depan kedua sahabatnya tadi.
"Angga, yang sabar. cepat selesaikan di sana ayah akan selesaikan yang disini." Agus memilih menghadiri panggilan tersebut. Agus tahu anaknya sedang menahan tangis.
"iya yah, Assalammualaikum." Angga mengucapkan salam dan terdengar Agus menjawab salam dari Angga "Waalaikumsalam."
Tut...
suara panggilan mereka terputus. dan Angga meletakan ponselnya di dalam tas kembali.
"Keluarga nyonya Ida!" suara dari bagian administrasi. seketika Angga bergegas menuju ke sumber suara.
"Ya, saya!" sahut Angga yang mempercepat langkahnya.
"Silahkan tanda tangan disini beserta nama terang," ucap pegawai rumah sakit seraya menyodorkan beberapa lembar kertas dan sebuah bolpoin.
"Sudah," kata Angga setelah menanda tangani berkas tersebut.
****
Arman yang berada di samping ibunya tidak mempunyai tenaga untuk berdiri, untung Danang memiliki tubuh sedikit besar sehingga mampu membantu Arman yang beberapa kali pingsan.
"Man, gue bingung harus gimana. lihat Lo kayak gini, gue jadi ingat almarhum ibu ku," gumam Danang di tengah-tengah Isak tangisnya.
Arman sudah mulai tenang, sebelumnya dia sangat kehilangan kendali akan dirinya, meronta sekuat tenaga, menangis histeris dan memukul dirinya sendiri karena merasa bersalah.
"Mas, ini jenazahnya sudah siap. ada yang mau ikut mobil jenazah?" tanya seorang perawat laki-laki yang tadi membantu membawa jenazah Ida.
"Saya dan teman saya ikut mobil jenazah," jawab Danang seraya menyeka matanya yang sedari tadi tidak berhenti menangis.
"Baik!" kedua pemuda yang berseragam putih itu segera pergi setelah mendengar jawaban Danang. Sedangkan Danang mencoba menenangkan Arman agar bisa berjalan menuju mobil jenazah tersebut.
"Man, yuk antar ibu pulang," bujuk Danang dengan suaranya yang bergetar. namun Arman tidak menjawab dan tidak bergeming. tatapannya kosong ke depan hanya air mata yang mengalir tanpa henti dari matanya dan membasahi kedua pipinya.
Saat Danang sedang mencoba membujuk Arman, Angga datang dengan nafas terengah-engah.
"Kenapa?" tanya Angga saat melihat kedua sahabatnya pucat.
"Arman dari tadi nggak sadarkan diri, sekarang udah sadar kayak linglung begini," jawab Danang yang terdengar menahan tangisnya.
Mendengar itu Angga segera menghampiri Arman yang masih lemas dengan tatapan kosongnya.
"Man... Arman!" panggil Angga seraya menepuk pelan kedua pipi Arman. namun tidak mendapatkan respon apapun dari Arman. hanya Air mata yang mengalir tanpa henti di dari pelupuk matanya dan membasahi pipi.
"Man!" Angga memegang kedua pipinya dan menghadapkan tepat di depan wajahnya.
"Lo harus kuat, gue tahu rasanya jadi lo saat ini. dan Lo juga yang kasih support ke gue," kata Angga dengan pelan dan tatapan bergetar.
Perlahan mata Arman membalas menatap mata Angga yang berkaca-kaca di depannya. seketika Arman memeluk erat Angga yang berjongkok di depannya.
"Ngga, setelah ini aku harus bagaimana?" tanya Arman di sela isak tangisnya.
"Masih ada gue, masih ada Danang dan masih ada Bokap gue. lo nggak sendirian Man," jawab Angga seraya menepuk pelan bahu sahabatnya tersebut.
perlahan Arman mulai tenang. sopir mobil jenazah yang bertugas mengantar jenazah Ida datang dan memberitahu bahwa semua sudah siap. Arman dan Danang berada di dalam mobil jenazah. sedangkan Angga mengemudi mobilnya sendiri dan berada tepat di belakang mobil jenazah.