Hampir setengah hari Arman tidak kembali. Angga dan Danang mencoba menghubungi Arman, akan tetapi tidak ada jawaban dar Arman. Danang dengan imajinasinya yang tinggi menghayal yang tidak-tidak tenang Arman.
"Ngga, kenapa Arman belum juga balik ya?" tanya Danang yang terlihat gelisah.
"Positif thinking aja, kali aja emang belum selesai urusan dia. toh sudah gede juga kan dia." Angga menutupi kekhawatirannya di hadapan Danang.
"Bukan karena udah gede atau belum, suasana hati dia sedang labil," sahut Danang dengan nada sedikit ngegas.
"tumben-tumbenan lo kok agak bener hari ini," ledek Angga.
"Menurut lo biasanya gue nggak bener gitu?" sarkas Danang.
Saat Danang dan Angga terlibat percakapan panjang tanpa mereka sadari ada sepasang telinga yang mendengar percakapan mereka. Amel yang sedari tadi diam-diam mendengar percakapan mereka memberanikan diri untuk bertanya keberadaan Arman. "Mas angga!" panggil Amel.
"Ya!" sahut Angga dan menoleh ke arah Amel.
"Memangnya mas Arman dimana ya?" tanya Amel.
"Nggak tahu, Mel. tadi pamitnya keluar sebentar pake mobilku," jawab Angga.
Saat Angga dan Amel sedang telibat percakapan tiba-tiba Danang dengan santainya menuduh Amel menguping percakapannya. "Eh... lo kok tahu kita lagi ngomongin Arman? lo nguping ya?"
Mendengar itu Angga segera menginjak kaki Danang. "Aw..." pekik Danang kesakitan karena kaki Angga yang menginjak kakinya.
"Mata lo kemana bego," umpat Danang seraya mengelus-elus kakinya.
"Maaf, Mas. saya tidak sengaja mendengar tadi." Amel meminta maaf karena tidak berniat menguping pembicaraan mereka berdua.
Angga mengabaikan Danang yang masih kesakitan dia malah melanjutkan pembicaraannya dengan Amel.
"Abaikan saja dia," bisik Angga kepada amel.
"Jangan gitu Mas," sahut Amel.
"Mas Danang ngga apa-apa kan?" tanya Amel pada Danang.
"Enggak," jawab Danang ketus. namun melihat Angga dia memberikan kode agar Danang menjawab dengan senyuman. sehingga Danang mengikuti dan memberikan senyuman walaupun terpaksa.
****
Sedangkan Arman yang baru saja keluar dari kantor Arip tidak henti-hentinya dia bersyukur. dan kebetulan jam menunjukan pukul 13:00. Dia memilih mampir di sebuah masjid yang tak jauh dari kantor Arip. Dia menunaikan ibadah dhuhur.
Saat selesai menjalankan sholat, Arman melihat seorang kakek yang tertidur dengan posisi duduk di depan masjid dengan jajanan yang masih banyak. Arman segera mendekati kakek itu. belum sempat menyentuh kakek itu. Dia sudah terbangun dengan sendirinya.
"Maaf nak, apa kakek menghalangi jalanmu?" tanya kakek itu dengan suara yang bergetar.
"Oh, tidak! Justru saya yang mengganggu tidur kakek," jawab Arman. Kemudian duduk di samping pedagang tua itu.
"Tidak nak, kakek tidak berniat tidur. hanya saja kakek merasa lelah jadi tertidur." kakek itu terlihat menjauh dari Arman karena takut Arman tidak nyaman karena terlalu dekat dengannya.
"Kakek jualan apa?" tanya Arman.
"Ini jajanan sama minuman," jawab kakek itu dengan tatapan penuh harap kepada Arman agar membeli dagangannya.
"Kakek sudah makan?" tanya Arman.
Tidak menjawab kakek itu hanya menggelengkan kepala dengan senyuman di bibirnya. seketika hati Arman tersentuh. Kakek itu masih bisa tersenyum di keadaannya yang begitu sulit.
Arman melihat sekeliling dan melihat gerobak bakso dan mie ayam. Arman segera memanggil pedagang itu yang kebetulan baru saja keluar dari masjid.
"Satu bakso dan satu mie ayam," ucap Arman. Dia memilih memesankan mie kakek itu karena dia takut jika kakek tidak bisa lagi mengunyah bakso tersebut.
"Kakek tinggal dengan siapa?" tanya Arman.
"Sendiri nak, anak kakek pergi semua tidak ada yang pulang. bahkan ibunya meninggal tidak ada yang tahu." mendengar itu Arman teringat akan ibunya yang baru saja meninggal.
"Kakek nggak tahu dimana mereka?"
"Nggak, dulu di kasih alamat tapi di datangi nggak ada."
"Alamat palsu?" tanya Arman untuk memperjelas ucapan kakek tersebut.
"Entah mereka pindah atau gimana, yang jelas alamat dan nomor hp mereka tidak ada yg bisa di hubungi."
Arman hendak menanyakan lebih lanjut, namun bakso yang dia pesan telah datang.
"Terima kasih," ucap Arman kepada pedagang bakso itu.
"Kakek ayo makan dulu!" Arman menyodorkan semangkuk mie ayam kepada kakek itu. dengan tangan gemetar kakek itu menerima mangkuk itu dengan senyuman bahagia. Dan terlihat jelas di pelupuk matanya dia menahan air matanya.
Beberapa menit kemudian Arman selesai makan dan melihat kakek itu menyisihkan sayur dan ayam suwir yang ada di mienya. karena penasaran Arman menanyakan hal itu. "Kakek kenapa menyisihkan itu?"
"Mau kakek bungkus buat makan nanti di rumah, nanti kakek beli nasi di depan tiga ribu cukup," jawab kakek itu. seketika air mata yang tadinya masih bisa dia bendung kini tumpah membasahi pipinya. Arman membalikkan posisi duduknya agar tidak terlihat sedang menyeka pipinya.
Setelah selesai menyeka air matanya Arman berbalik lagi dan mengatakan. "Kek tidak perlu di sisihkan, makan saja. akan saya belikan lagi lauk untuk makan."
Arman segera beranjak sebelum kakek itu menyangkal ucapan Arman. Arman membeli lauk di warungnya yang tak jauh dari masjid itu.
Sesaat kemudian dia kembali dengan membawa sekantong lauk dan nasi untuk kakek tadi.
"Loh kok balik lagi, nak?" tanya kakek tua itu.
"Iya, kan tadi saya bilang mau beliin lauk kakek," jawab Arman dengan penuh senyum di bibirnya.
"Oalah, Nak. Kakek sudah biasa seperti ini membagi makanan siang untuk makan malam juga." Kakek terlihat memaksakan senyum dibibirnya dalam keadaan yang getir seperti ini.
"Sudah, Kek. Ini untuk kakek." Arman menyodorkan sekantong plastik nasi lengkap dengan lauknya kepada kakek.
"Kok banyak sekali, Nak. Kamu ambil buat makan kamu dulu. Kakek sisanya." Kakek menyodorkan kembali kantong kresek itu. namun di tolak oleh Arman.
"Sudah kek, saya sudah kenyang. Ini untuk kakek." Arman tersenyum lebar untuk meyakinkan kakek tersebut.
"Alhamdulillah... Ini bisa untuk makan dua hari sampe besok, Nak," ucap syukur kakek itu dan tak terasa air mata kakek membasahi kulit pipi yang keriput dan kempot.
Armanpun mendengar suara kakek yang bergetar seketika terenyuh dan kembali meneteskan air mata.
"Kek, ini kalau besok bisa basi. besok kakek bisa beli lagi. Ini ada sedikit rejeki untuk kakek." Arman bersalaman dengan kakek dan memberikan beberapa ratus uang kepada kakek itu. sempat terjadi penolakan. "Nak, ini sudah cukup. Ini untuk kamu sendiri saja."
Namun Arman yang tidak bisa menahan air matanya segera berpamitan sebelum terjadi perdebatan dengan kakek yang ingin menolak pemberiannya.
Arman segera masuk kedalam mobil. dalam hatinya tidak henti-hentinya dia bersyukurlah karena dia ternyata lebih beruntung dari beberapa orang di luar sana. contohnya seperti kakek itu. Walaupun kini kakak hidup sebatang kara.